Duduk di atas pohon saat terik matahari berada di puncaknya dengan ditemani sebuah apel merah di tangan. Itu yang dilakukan Randolph selama hampir setengah hari terlewati. Dia menggaruk belakang telinga besarnya dengan frustasi.
Ini sudah apel yang kesekian kali dan sosok yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
"Apa sebaiknya aku cari tahu dimana dia, ya?" katanya pada diri sendiri. "Lagi pula, gadis unik yang dimaksud itu memangnya seperti apa?!"
Randolph berdecih, sebal. Dia lantas berdiri di atas dahan pohon besar sambil berpegangan pada bagian batangnya yang tebal. Sesaat ketika ia bersiap untuk melompat turun, tetiba telinga besarnya mendengar suara nyanyian halus.
Sangat halus sampai daun telinganya hampir tak bisa menangkapnya—itu kalau seandainya dia adalah manusia biasa.
Begitu melihat sosok yang melewatinya dengan sempurna, Randolph mengurungkan niatnya. Hanya seorang gadis biasa yang mengenakan gaun putih berlengan panjang dengan korset luar berwarna hitam. Gadis desa pada umumnya. Namun di mata Randolph, dia sedikit aneh.
"Kenapa rambutnya bisa semerah itu?"
Ketika dia menanyakan hal itu pada dirinya sendiri, tetiba saja pijakan kakinya pada dahan pohon tak seimbang. Alhasil dia terjungkal ke belakang dan terjatuh di antara semak-semak sebagai bantalannya. Randolph menyentuh belakang kepalanya dan meringis kecil.
"Siapa di sana?" suara sopran seorang gadis mengalihkannya.
Randolph mengumpat. Ah, sial! Seandainya tadi dia tidak terjatuh, pasti tidak akan ketahuan seperti ini. Dia merutuki kecerobohannya sendiri.
"Tunjukkan dirimu!" suara itu kembali menyapanya, kali ini terdengar lebih lantang.
Apa dia harus menunjukkan dirinya dan kembali membiarkan dirinya dihina lagi oleh manusia-manusia itu? Setelah menarik satu nafas panjang dengan pasrah, Randolph menjatuhkan keputusannya. Dia segera berdiri, tapi begitu matanya menatap kedua bola mata merah milik gadis itu, sang empunya malah berteriak kencang.
Randolph buru-buru membengkokkan telinga besarnya dan menutupnya dengan kedua tangan. "Kau berisik sekali! Apa ini pertama kalinya kau bertemu dengan manusia serigala seperti aku?"
Gadis itu membuka matanya dan menatap Randolph. Dia menatap manusia serigala itu dengan heran. "… kau tidak ingin menyerangku?"
"Untuk apa?" balas Randolph sarkas. "Tidak ada untungnya aku menyerangmu."
Gadis itu mengambil beberapa buah apel yang berjatuhan dan kembali memasukkannya ke dalam keranjang. Ia berdiri dan berhadapan dengan Randolph. "Kenapa? Ingin berteriak lagi?" sahut Randolph dengan intonasi yang sama.
"Kau benar-benar tidak akan menyerangku?" tanya gadis itu kembali.
"Kau ingin aku menyerangmu?"
Gadis itu menelan liurnya dan mengalih-ngalihkan pandangannya dengan asal sebelum kembali mengalihkan eksistensinya ke arah Randolph. "Bukan begitu maksudku, tapi kau sedikit berbeda dari yang kubaca di dalam buku Perpustakaan Kota."
Randolph ber-oh-ria dan memutar tubuhnya kembali setelah membersihkan pakaiannya dari potongan-potongan ranting kecil. Ia berjalan acuh seraya memasukkan kedua tangannya dalam saku seakan tidak peduli pada gadis itu.
"Tunggu dulu, aku serius!"
Randolph bergerak mundur. Tidak! Lebih tepatnya seseorang menahan tangannya dan membuat tubuhnya tertarik ke belakang. Dia menatap lurus manik gadis di depannya. Sebelumnya tidak ada seseorang yang berani menyentuhnya seperti itu….
Terutama seorang gadis.
"Aku pernah mendengar soal manusia serigala. Mereka—"
"—mengerikan dengan taring dan cakar tajam, serta tubuh besar dan siap memenggal kepalamu dalam sekali pukulan, begitu?" tutur Randolph menyela ucapan gadis itu. Gadis itu mengangguk ragu lalu Randolph lanjut berkata, "Aku tahu soal itu. Lalu kenapa? Kau tidak takut?"
Gadis itu menggeleng. "Tentu saja aku takut! Tadinya kupikir kau akan langsung menerkamku, tapi kau tidak melakukannya. Jadi kupikir, kau itu…."
“Kau pikir aku apa?” suara Randolph masih terdengar ketus.
“… berbeda… dari yang kudengar… begitulah….”
Randolph mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu, menatapnya lekat seolah sedang membaca dirinya. Alisnya terangkat penasaran, tapi ia mulai benar-benar malas meladeni gadis ini. "Jadi apa maksudmu itu?"
"Kau bahkan tidak terlihat ingin membunuh seseorang."
"Ya, lalu?"
"Lalu... kau juga seolah tidak peduli setelah dirimu terlihat olehku."
Randolph mengangguk-angguk, menjauhkan kembali wajahnya dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Sudah?"
Gadis itu mengangguk ragu. Lantas Randolph kembali berbalik dan berniat pergi, tapi gadis itu kembali menahannya. "Apa lagi?!"