Terang lampu kamar jatuh pada benda-benda berserakan di meja. Ukurannya sekitar satu setengah meter persegi dengan empat kaki menapak lantai. Pensil dan pernghapus, juga rautan tidak urung meramaikan kondisi dengan suasana senyap. Cukup seorang perempuan dengan rambut dicepol yang bolak-balik dari sisi meja satu ke yang lain. Membuat garis demi garis, mulai membentuk gambar bangunan tampak depan, atas, dan samping.
Dinding kamar penuh dengan kertas tertempel hampir tidak teratur. Setiap gores yang ditimbulkan kadang membuat sebuah mahakarya untuk dirinya sendiri. Dari pojok kanan sebelah pintu di tutup oleh kertas-kertas materi yang selalu mendapat nyala lampu bantuan. Membuatnya seolah-olah paling penting di antara deret gambar lain. Beranjak ke samping kanan, berisi kumpulan gambar sketsa wajah yang belum selesai ataupun sudah. Sengaja ditempel di atas punggung kasur untuk bisa memerhatikan langit-langit sambil mengingat bahwa ia melahirkan mahakarya setiap harinya.
Cangkir hitam beling yang diletakkan di meja lain, diraih oleh Danielle. Menyeruput cairan di dalamnya berupa teh manis. Selalu membuatnya dengan madu untuk menemani menyelesaikan proyek. Beruntunglah cuma punya tugas untuk membantu tanpa turun tangan. Mungkin karena dia perempuan yang dibesarkan di klan terkemuka.
Di atas hidungnya bertengger kacamata yang selalu digunakannya ketika bekerja. Menggambar desain demi desain untuk membuat dirinya sendiri berguna.
Di ruang kamar senyap, cuma ada dirinya yang heboh dengan satu kasur di tengah ruangan. Buku dan kertas berserakan pula di atas selimut. Tanda bahwa sang pemilik jarang tidur.
Hempasan napas dilepas di udara kosong setelah garis terakhir beserta keterangannya berhasil ditulis. Sesekali tersenyum puas dan ambil tengok untuk memastikan bahwa ia sudah benar-benar menyelesaikan apa yang menjadi targetnya malam itu.
Suara televisi di bawah, bisa samar-samar Danielle dengarkan. Acara berita malam lagi. Pasti menyiarkan kabar sama soal demo besar-besaran yang dilakukan oleh banyak klan Olympia di Southares. Apa benar mereka membela kaumnya sementara mempermalukan Ratunya sendiri yang punya marga serupa?
Tubuhnya dihempas ke kasur empuk dan memantul sedikit. Pandangan mata hazel nya bertemu tatap dengan langit-langit dan sketsa gambar yang ditempel di dinding. Semua orang di potret tidak bernama. Mungkin orang yang ditemuinya di jalan atau sosok yang datang ke mimpinya setiap malam. Pikirannya selalu kembali pada malam-malam sebelum ia bertumbuh menjadi perempuan dewasa berusia dua puluh tahun. Beberapa pencapaian yang berhasil dicapai, atau soal dirinya yang selalu merindukan sang ibu ketika beliau sudah mangkat duluan. Dunia jadi terasa tidak ada artinya ketika perempuan itu menghembus napasnya yang terakhir. Semoga selalu bahagia bersama Dewa dan Dewi, Rachel Stephenson.
“Danielle.”
Suara orang di balik pintu membuatnya menoleh. Kakak laki-lakinya pasti sekarang sedang berdiri tepat di balik pintu meski ia punya kesempatan untuk tidak dekat-dekat. Tidak ada ketukan atau suara permisi lain. Cuma panggilan nama yang menggantung. Membuat Danielle gemas kenapa Jackson tidak langsung saja masuk ke dalam kamar.
“Apa?” Danielle menyahut sedikit keras.
“Ayah baru saja menelfon.”
“Ya, terus apa hubungannya dengan aku?”
“Ingat, kan, kalau kamu dimintai tolong untuk ikut andil di acara Pemilihan Ratu? Ayah tanya, apa kamu benar-benar tidak mau ikut?”
Manik mata Danielle mengerling, dongkol. Sudah ratusan kali ia katakan bahwa Danielle tidak punya waktu bermain-main dengan orang istana. Bahkan ia, anak dari Tangan Kanan raja saja, sama sekali tidak tertarik mengecap takhta. “Kamu juga sudah bilang kalau aku menolak, kan?” Ia bangkit dan duduk. Kain gaun tidur putih nya yang sewarna gading dan punya panjang selutut, kini dipilin-pilin oleh tangannya dengan bosan.
“Bilang saja sendiri.” Suara Jackson menjauh diikuti dengan langkah tumitnya yang menyentuh tangga kayu.
“Malas, ah.” Merasa tidak ada jawaban, ia sedikit berteriak, “Jackson?” Masih tidak ada respon. “Jackson!”
Danielle bangkit dengan helaan napas kesekian. Rasa lelah dan jengah, membuatnya harus menyusul Jackson ke lantai bawah. Laki-laki itu mungkin sedang menikmati makanan ringan sambil melihat siaran berita malam yang tidak pernah melupakan topik serupa.
Tergesa gesa langkah kaki nya menuruni tangga dan menangkap sosok Jackson tengah duduk di sofa panjang. Di pangkuannya, ia membawa setoples keripik kentang rasa cokelat. Dibawakan Ayahnya dari istana. Masih ada sisa beberapa di lemari persediaan. Kadang Danielle mengambilnya diam-diam tanpa sepengetahuan kakak laki-laki nya.
“Mau sampai kapan kamu bergelantungan di situ? Tidak capai, apa, jadi hantu?” Jackson menegur tanpa menoleh.
Surai Danielle punya panjang hampir mencapai pinggul. Wajar kalau Jackson kadang suka menjambak rambutnya karena sering diurai. Warnanya selaras madu, kesukaan Danielle. Ia menarik diri untuk segera berjalan ke dapur. Membawa segelas teh yang sudah ada di lemari pendingin dan segera duduk di sofa tunggal, di samping kanan Jackson yang bergeming.
“Tolong telfon Ayah lagi dan bilang kalau aku tidak mau ikut di acara Pemilihan Ratu.”
“Alasannya?”
“Karena sama saja dia meminta aku buat jadi kandidat Ratu.”
“Anak pintar. Baru tahu sekarang, rupanya.”
Danielle memandang Jackson tidak percaya. Seperti laki-laki itu tidak bisa melihat kenyataan sejelas ia menonton televisi. “Aku tidak ingat kamu terantuk sesuatu.”
“Pernah, kemarin.”
“Ayolah, Jacky.” Danielle mendesak setengah merengek. Ia membanting dirinya sendiri ke punggung sofa sambil bersedekap. “Aku sudah puas menjadi seorang Alexander dengan lulusan sekolah kelanjutan yang lumayan tinggi. Pekerjaanku tidak mungkin bisa aku tinggalkan.”
“Bilang sendiri sana. Kenapa pula kamu merepotkan aku.”
“Kamu juga tahu sendiri bagaimana Ayah waktu aku bilang kalau tidak mau ikut,” sergah Danielle. “Satu-satunya yang bisa membantuku adalah kamu.”
“Aku tersentuh.”
“Memang harus.”
“Tapi sayangnya aku tidak mau tersentuh lebih lanjut.”
Danielle mengerang frustrasi. Kenyataan bahwa ia memang seorang perempuan dan harus berakhir dinikahkan dengan seorang laki-laki, kadang membuatnya pusing. Kendati dirinya memang dikodratkan untuk ada di dapur dan memasak atau membereskan rumah, memusingkan Danielle sendiri. Berada di klan terpandang Stephenson juga tidak membantu. Kini Ayahnya bakal menjodohkannya, dan bahkan menjadikannya sebagai kandidat Ratu.
“Aku juga tidak bisa membuat Ayah berubah pikiran. Kalian punya ego yang sama besarnya. Kalau salah satu mengalah dan mengaku kalah, baru bisa selesai.” Jackson memandang Danielle sambil sesekali membawa cemilan ke mulutnya untuk dikunyah.
“Dan aku..”
“Dan kalian tidak akan ada yang mau mengalah. Sudah aku duga.” Tangan Jackson meletakkan toples ke atas meja kaca di hadapannya. “Lalu kamu mau aku melakukan apa? Membuat kalian semakin tidak akur dengan memihak kamu, begitu? Lucu!”
Danielle memundurkan kepala sedikit demi menghalau cipratan ludah dari Jackson yang berbicara sambil mengunyah makanan “Ya, tapi tidak usah berapi-api begitu, sih. Kamu pikir, kamu Athanasius?”
Jemari Jackson terangkat ke udara, memberi sekat antar tubuhnya dan Danielle. Ujung-ujung jarinya mulai memercik-mercik dan menimbulkan jelaga merah, masih membara dan jatuh ke sofa ketika redup. Lidah-lidah api seakan keluar dari balik kulitnya yang kelihatan diam saja. Manik mata Jackson sewarna dengan Danielle, memantulkan bayangan api yang pelan-pelan mulai mereda.
“Kamu lihat, kan, barusan? Tidak perlu jadi Athanasius untuk bisa memunculkan api,” katanya percaya diri.
“Dasar tukang pamer.”
Danielle berdecak. Biarkan orang berkata kalau ia iri karena memang itu yang selalu dirasakannya pada setiap orang lalu-lalang di jalan atau pada kakaknya sendiri, Jackson Stephenson. Seluruh klan bakal dikarunai elemen ketika menginjak usia delapan belas tahun dan melepas nama Alexander. Bermutasilah mereka ke nama depan dan nama belakang saja. Sesuatu yang Danielle tunggu-tunggu. Sayangnya tidak kunjung datang. Stephenson superior dengan dua elemen yang jadi lencana. Bisa memunculkan tanah dan api barengan menjadi magma, tidak bisa Danielle rasakan bahkan di usianya yang sudah dua puluh tahun ini.
“Danny.”
“Hm.”
“Jangan-jangan kamu berdarah Kronos, lagi.” Jackson kembali memakan cemilannya. Lelucon itu tidak lagi lucu ketika Danielle dilanda stress yang berat. Justu membuatnya semakin jengkel.
“Kamu suka sekali mendoakan aku yang tidak-tidak.”
“Siapa yang berdoa?”
“Setiap kalimat yang diucap itu doa. Mau kamu bercanda atau tidak.” Danielle beranjak dan meletakkan gelas kosong ke wastafel. “Kalau sampai aku memang berdarah orang-orang penerror itu, kamu bakal jadi orang pertama yang aku salahkan.” Ia kembali ke ruang pribadinya guna melanjutkan tugas. Meninggalkan Jackson dengan perasaan campur aduk.
…
Warna senja tidak mungkin kelihatan dari balik bangunan-bangunan tinggi yang mulai selesai beberapa waktu lalu. Sebagai seorang anak dari klan terkemuka, Danielle ikut andil menyaksikan lika-liku perjalanan dibangunnya gedung bertingkat. Banyak di antaranya sudah mengepulkan asap, tanda bahwa pabrik sudah berjalan dengan baik. Beberapa jadi deret ruko dan ada yang sekadar jadi bangunan untuk menempatkan barang-barang bersejarah.
Danielle keluar rumah untuk mendapatkan teh hangat yang biasa dijual di seberang kopleks. Bisa pilih berbagai rasa. Ia ingin campuran mint yang tidak bisa sembarangan didapat. Tinggal sederet dengan orang-orang dan punya klan berbeda kadang membuat Danielle sungkan karena ia tidak pernah punya waktu untuk keluar rumah. Bersosialisasi. Alhasil menjadikan pribadinya tertutup dan tidak mau diganggu. Lahir dan tumbuh di lingkungan individualis membuat wataknya jadi sekeras batu dengan hati selembut kapas. Aneh.
Entah mendapat urutan keberapa ia sekarang mengantre. Kedainya cukup kecil dengan lubang persegi panjang, dua meter kali satu setengah, menghubungkan pembeli dengan pemilik. Ada dua orang laki-laki yang sedang berjaga dengan warna berbeda. Satu di antaranya menggunakan setelan kemeja, selapis jas dan mantel, seiring berwarna abu-abu tua dan mustard. Ia tidak menggunakan warna khas perunggu yang sangat identik dengan klannya sendiri, klan Calypso. Mungkin itu pakaian terbaik yang ia punya. Tidak lupa pula surai pemuda itu yang berwarna emas memantulkan sinar matahari di ufuk barat.
Laki-laki lain berdiri sedikit lebih santai. Melayani pelanggan datang dengan senyuman ramah. Ia punya surai hitam dan ditata rapi ke belakang. Kali ini yang berwarna emas adalah manik matanya. Setelan sama dikenakan olehnya tapi dengan warna berbeda; abu-abu terang dan biru gelap khas Dafandra. Tidak heran kalau ia dipilih untuk bertatap muka dengan pelanggan. Senyumnya sehangat matahari dan niscaya membuat siapa saja betah ada di dekatnya.
“Terimakasih. Silakan datang kembali.”
Setelah seorang perempuan di hadapan Danielle beranjak dengan gelas ada di genggam tangannya, barulah sekarang gilirannya untuk memesan. Ia melihat-lihat daftar menu yang diletakkan di meja kaca, jadi sekat antara dirinya dengan Si Pemuda Senyum Manis.