Pengeras suara radio yang disediakan di kedai kopi, membuat Danielle bisa dengar siaran berita terkini dari sana. Suara ditimbulkan sejelas sendok yang sedang Danielle gunakan untuk makan krim sup, pagi ini.
Tiga bangku kosong di depannya kadang membuat ia berpikir betapa nelangsanya tidak punya kawan karena jarang keluar rumah. Para tetangga Stephenson juga cuma bertegur sapa tanpa ada niatan mengajaknya mengobrol.
Krim sup di atas meja ditemani secangkir teh melati hangat menyegarkan tenggorokan serta pikiran Danielle yang kacau karena pekerjaan. Deadline maju dan beberapa kendala yang ia hadapi, kini musnah pelan-pelan. Tidak ada yang bisa mengalahkan tenangnya gang-gang kecil di Daerah Gugur. Berbeda keadaannya dengan jalan besar yang dekat dengan kompleks rumahnya. Penuh sesak asap pabrik dan kereta yang lalu lalang. Kadang kesunyian tidak membawa kesepian, malah ketenangan.
Kedai di sampingnya punya satu pintu kaca dan jendela raksasa berhias tanaman bunga. Ada berbagai jenis dan kelihatan sehat karena disiram setiap hari. Daun-daunnya juga hijau cerah. Di samping kedai, gang yang lumayan besar, dipilah sebagian untuk parkir sepeda. Salah satunya milik Danielle, dekat dengan tembok supaya bisa ia pastikan keadaannya yang duduk di bangku teras.
Lonceng tanda pengunjung berbunyi beberapa kali. Menandakan akan ada pengunjung baru dan bakal menemani Danielle di teras terbuka. Ia mendongak, mendapati dua orang laki-laki yang punya tinggi hampir sama dengan Jackson, sedang mencari-cari tempat duduk kosong. Warna merah, putih, dan emas membuat Danielle sadar bahwa mereka kawanan istana, klan Athanasius. Wajah mereka juga kelihatan tidak asing. Bangku yang mereka pilih memberi kesempatan Danielle untuk memperhatikan keduanya. Satu dengan perawakan tinggi langsing dan lainnya dengan tubuh tegap sempurna dan potongan batok kelapa. Surai keduanya sama-sama disibakkan, tanda bahwa di atas sana pasti sering disematkan mahkota.
Diam-diam Danielle membayangkan hal yang tidak seharusnya melintas di otak. Bagaimana jika ia terpilih menjadi seorang Ratu di acara Pemilihan Ratu dan diutus untuk menikai salah satunya. Tapi sepertinya tidak. Di antara keduanya tidak ada yang berwajah galak dengan jenggot tipis dan surai ikal yang agak panjang. Salah satu dari mereka bukan Putera Mahkota Emrys, Alceon Athanasius punya dua api sempurna Hades yang murni. Nyalanya sebiru lautan dan selegam arang. Satu bertujuan untuk melindungi dan yang lainnya bersifat menghancurkan. Kalau dibayangkan, ngeri juga.
Mungkin Danielle sedang bertatap muka dengan dua orang Pangeran lainnya. Itulah mengapa ia merasa pernah melihat di suatu tempat.
Danielle beralih memandangi cangkir teh yang sekarang sedang ia genggam. Meniupnya sesekali dan menyeruputnya. Biarkan dua anak Athanasius itu makan, ia di sini cuma punya tugas menenangkan diri.
Lonceng berbunyi lagi beberapa kali. Dua orang lain duduk di samping bangku Danielle. Memesan dua piring kentang tumbuk dan jus. Dari cara mereka memperlakukan satu sama lain, Danielle bisa simpulkan kalau mereka sepasang kekasih.
Keduanya punya warna selaras yang melekat di badan. Biru pupus dan abu-abu terang. Si lady mengenakan gaun panjang dengan renda menutupi dada. Lencana klan Arquemedes dengan lambang tiga garis lurus horizontal, dijadikan kalung. Surainya disanggul separuh tapi disibakkan semua ke belakang. Pemuda di sampingnya pakai celana kain, disetrika licin sampai bergaris. Kemeja lengan panjang dan jas, serta mantel. Mau tidak mau, Danielle jadi mendengarkan mereka berdua bercakap-cakap.
“Aku mau ceritakan sesuatu,” kata Si Lady.
“Apa lagi, kali ini?”
Pemuda itu kelihatan menanti-nanti dan menghadap ke wajah Sang Kekasih yang menampilkan raup serius.
“Saudaraku.” Suara perempuan itu lirih hampir berbisik. Mungkin tidak mau ada orang yang curi dengar. Seperti yang Danielle lakukan sekarang. “Bergabung dengan pasukan terror Kronos.”
Setengah mati Danielle berusaha untuk tidak terbelalak. Acara meenyeruput teh nya memang sempat berhenti untuk mengendalikan emosi wajahnya yang hampir tidak bisa ditahan.
“Hei,” tegur Si Kekasih Pria. “Kamu tidak seharusnya, kan, bicara itu di tempat umum.”
“Aku juga tidak bisa membahas ini di rumah.”
Keduanya diam. Sama-sama tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
Cangkir yang Danielle genggam, kini kembali bergerak. Mengalirkan cairan teh yang sudah mendingin untuk bisa sampai ke kerongkongan Danielle yang juga menanti informasi gratis.
Gadis itu melanjutkan, “Awalnya, dia selalu pulang malam. Tapi lama-lama jadi tidak kembali. Mungkin sudah betah.”
Apa kalian tidak sadar, ya, kalau ada Pangeran Athanasius di sini?
Danielle jadi beralih ke dua Pangeran yang sekarang tengah bercakap ringan sambil sesekali tertawa. Si langsing lebih banyak bicara. Wajahnya kelihatan lebih dewasa ketimbang yang satunya. Atau mungkin memang Si Batok Kelapa memang lebih muda.
“Apa tidak dicari dulu? Siapa tahu dia kabur ke tempat lain.” Si Pemuda kedengaran mulai panik.
“Sudah,” jawab kekasihnya. “Karena dua minggu sebelumnya memang keluarga besar bercanda keterlaluan. Menyinggung soal orang yang tidak berkerja dan lama ada di rumah.”
“Apa yang dia lakukan, memangnya?”
“Menghancurkan tangan tanteku.”
Danielle kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak membelalak kaget di tempat tanpa menoleh.
Apa-apaan?
Dua orang Athanasius di hadapan Danielle kini berdiri sambil membawa piring serta gelas bekas mereka makan. Menghilang di balik pintu kaca dan berjalan meninggalkan kedai. Sekarang pasangan kekasih di samping Danielle baru bisa diam. Kaget.
“Itu tadi Denes Athansius?” Si Perempuan Arquemedes bertanya ke udara kosong. Memastikan kalau ia tidak salah lihat.
“Benar. Dan yang diam saja itu Abyss Athanasius, adik paling terakhir.”
Kali ke sekian Danielle bersyukur kalau ia yang anak dari Tangan Kanan Raja, sulit dikenali.
…
“Semua orang tumbuh dengan luka. Tinggal kita yang menentukan bagaimana akhirnya.” Kalimat terakhir dari paragraf yang bisa Danielle baca, membawa getaran lain dan membuatnya bungkam di depan sofa televisi. Wajahnya menengadah, bertatap dengan langit-langit. Novel yang sudah selesai ia baca, kini diseimbangkan di antara dahi dan hidungnya yang bengir.
“Kamu waras, kan?”
Kakaknya menyahut dari dapur. Laki-laki itu tadi pamit untuk memotong beberapa buah dan kembali dengan membawa sepiring apel. Sekarang diletakkan di atas meja.
“Lihat saja wajahku yang capai ini. Apa masih kelihatan waras?” Danielle menanggapi malas sambil meletakkan novelnya di samping piring buah Jackson.
“Tidak, sih.”
“Itu tahu.”
Televisi di jam delapan malam cuma ada siaran film berseri yang giat ditonton Jackson sebelum berita malam pukul sembilan. Kalau ditanya apa pemuda itu mengikuti jalan ceritanya, ia bakal mengelak. Biarkan saja Jackson berbuat semaunya asal tidak mengganggu.
“Aku besok mau lembur,” kata Jackson tanpa melepas pandangan dari televisi. Nyalanya memantul di manik matanya.
“Kamu lembur hampir setiap hari, tauk.” Danielle melipat kaki ke atas sofa, menyembunyikannya ke balik gaun sebatas lutut. “Sekarang alasannya apa?”
“Kantorku bakal kedatangan dua Pangeran Athanasius.”
“Pangeran Athanasius ke pabrik gula? Yang benar?”
“Kamu bisa dapat dua ratus rean, kalau aku bohong.” Punggung Jackson disandarkan ke sofa. “Sebenarnya, ada beberapa karyawan yang selalu dapat bayaran lebih tinggi dan tidak sesuai pekerjaan.”
“Bagaimana bisa begitu?”
Manik mata Jackson kini beralih ke Danielle. “Aku juga tidak tahu.”
“Lalu Pangeran itu, kamu suruh untuk ikut campur tangan?”
“Mana bisa begitu.” Surai Jackson sudah hampir melebihi garis matanya. Kini bergerak-gerak gelisah akibat gelengan kepala cepat yang Jackson lakukan. “Mungkin dengan datangnya Pangeran bisa membuat mereka berasumsi kalau ada orang yang minta bantuan istana.”
Danielle menahan gelak beberapa detik sampai tawanya pecah memenuhi ruangan. “Kamu bohong,” katanya.
“Apa, sih?”
“Tapi masuk akal, masuk akal.” Setelah berhenti tertawa, Danielle kembali ke posisi tegap semula. “Aku bahkan tidak kepikiran.”
Jackson memandangi adik perempuannya seperti mencari jawaban. Wajahnya masam bukan main. “Apa yang mau kamu bicarakan?”
“Tidak ada.”
“Ada.”
“Sebentar.” Danielle melahap satu potong apel dan mulai mengunyah. “Kalau menurutku, kedatangan orang istana tidak ada pengaruhnya buat mereka. Kecuali kalau kamu bilang ke Pangeran untuk menyinggung soal ketidak setaraan itu.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Tunggu dulu. Kamu yakin, kalau kamu juga bebas dari campur tangan orang yang dibayar lebih besar?”
“Kenapa kamu jadi meragukan aku?”
“Bukan begitu,” sanggah Danielle. “Bakal membikin malu sekeluarga kalau ternyata kamu ikut andil.”
“Aku cuma menejer, tidak ada yang spesial.”
“Tapi kamu menejer utama, lho. Kamu yakin, kalau kamu bersih?”