“Kamu sarapan dulu, kan?”
Jackson datang dari dapur lengkap dengan apron dan spatula penggorengan. Mungkin laki-laki itu habis masak sesuatu. Ditelaah dari harumnya, Danielle bisa mencium telur dan nasi goreng. Dua paduan berminyak untuk memulai hari.
Tubuh Danielle dibalut gaun dengan warna kebanggaan Stephenson; hijau botol dan hitam. Ia mengenakan kalung dengan warna perak untuk meletakkan lencana api dan tanah di sana. Surainya disanggul seluruhnya dengan bebungaan yang jadi hiasan supaya menampilkan kesan segar untuk siapa saja yang melihat.
“Apa yang kamu buat?” Tanya Danielle setelah selesai meletakkan koper terakhir nya di samping tangga. Dengan bantuan sepatu, tinggi Danielle bisa mencapai leher Jackson meski masih harus tetap mendongak.
“Nasi goreng. Kamu suka makan itu tapi sepertinya tidak pagi-pagi begini, ya.”
“Aku bungkus di kotak saja, kalau begitu.” Danielle menjinjing ujung gaunnya dan melangkah pelan-pelan ke rak piring. Mulai mencari-cari kotak aluminium yang biasanya digunakan Jackson untuk bekal. “Kalau aku pakai, nanti kamu bawa bekalnya ke kantor bagaimana?”
“Bisa beli.”
“Sedang banyak uang, ya?” Manik mata Danielle memincing. Memberi tatapan seolah Jackson menyembunyikan sesuatu yang kini sudah Danielle ketahui.
“Mau bagaimana lagi, kan.”
“Jackson, aku mau roti juga. Tolong taruh di plastik saja dan masukkan ke tas yang sama dengan kotak bekalnya.”
Kakaknya cekatan memenuhi permintaan Danielle yang sekarang sedang mengincip beberapa sendok sisa nasi di penggorengan. Warnanya merah muda menggoda seperti daging yang matang sempurna. Ditaburi dengan beberapa potong ayam kecil-kecil dan sayuran. Rasanya setengah pedas, membuat Danielle terlena.
“Jangan dihabiskan. Aku juga mau, tauk.” Nada suara Jackson seperti mempertingatkan. Tas bekal yang sudah siap dengan isi sempurna kini ia jinjing. “Keretanya sampai jam berapa?”
“Enam.”
“Sebentar lagi, dong,” pekik Jackson sambil buru-buru meletakkan apron di punggung kursi dan mengibas-ibaskan bajunya seolah kain itu kusut. “Kamu benar, tidak mau aku ikut mengantar sampai Southares?”
Sendokan terakhir sudah Danielle telan sebelum ia menggeleng. “Tidak, terimakasih. Pekerjaanmu lebih penting ketimbang mengantar aku yang belum tentu terpilih jadi Ratu.”
“Aku bisa ijin.”
“Jackson.” Danielle jengah. “Aku sudah besar. Di Southares juga ada Ayah yang bakal langsung menyambut. Tidak perlu khawatir.”
Kakak laki-laki nya menghela napas berat. “Maaf. Aku keterlaluan, ya?”
“Lumayan,” aku Danielle sambil mulai mendekat ke tubuh Jackson. “Tapi aku kadang bersyukur karena itu.”
Tubuh Danielle yang lebih pendek, dipaksa berjinjit untuk bisa menggapai leher Jackson yang terasa hangat. Memeluknya seperti laki-laki itu adalah sumber tenaga Danielle yang tersisa. “Terimakasih. Sumpah,” bisiknya. Kalimat itu mulus terujar dari hatinya.
“Iya.”
Kakaknya hanya balas memeluk seakan waktu sedang berhenti. Seperti momentum kepergian adiknya cuma mimpi. “Kamu sudah janji kalau kamu bakal baik-baik saja disana.” Pelukannya dilepas bebarengan. “Awas saja kalau sampai bohong.”
“Kalau aku tidak aman dan itu bukan salahku, bagaimana?”
“Tetap saja kamu yang bakal aku hajar.”
“Jahat sekali.”
“Memang.”
“Ralat.” Danielle berjalan mendekat ke koper-kopernya. “Jackson sekali.”
Manik mata Jackson mengerling menahan geli. Sambil tersenyum maklum setelahnya, ia mulai membantu adik perempuan nya menggotong koper yang tersisa.
Danielle bisa dengar suara kereta di depan pagar rumah. Kerikil memantul-mantul dan beradu dengan tanah lain, membuatnya tahu kalau kereta itu hendak berhenti.
Setelah pintu rumah dibuka, barulah nampak seperti apa wujudnya. Seorang kusir duduk di bagian depan dengan pakaian hitam lengkap dan sebuah topi. Dua ekor kuda melihat-lihat sekitar seperti antusias dengan ekor yang dikibas-kibaskan. Kereta beronamen rumit dan terbuat dari kayu unggulan, entak apa jenisnya.
Tiga buah koper milik Danielle sudah naik ke atap kereta dengan ikatan kuat supaya tidak jatuh ke tanah ketika ada jalan yang tidak mulus. Ia masuk ke dalam dan disambut oleh ornamen dalam kereta yang serba cokelat. Warnanya lebih gelap dari manik mata hazel nya yang sekarang mengerjap-ngerjap.
“Kamu benar tidak apa-apa?”
Suara kakaknya muncul dari balik jendela di sisi kanan. Rambut Jackson memantulkan cahaya matahari pagi yang pelan-pelan mulai bangun. Warnanya jadi lebih hidup.
“Kelihatannya bagaimana?” Danielle menahan diri untuk tidak bergetar.
“Grogi.”
“Nampak sekali.”
Jackson menahan kekehan sampai menyembur sedikit.
“Dasar tidak sopan di depan lady,” kata Danielle sambil berjengit untuk menghindar. “Aku berangkat dulu, Jacky.” Ia berbisik sambil sedikit mendekat ke kakak laki-lakinya. Memandang wajah keturunan Stephenson lain yang juga dialiri darah sama dengan Danielle. Kadang ia bertanya-tanya, apakah Jackson juga masih memendam duka serupa selepas kematian ibunya? Pemuda itu punya kesadaran penuh untuk menggendong Danielle kecil yang menangis sesenggukan di tanah kuburan.
“Hati-hati. Kamu sudah berjanji.”
Kereta sedikit bergerak waktu Si Kusir duduk di tempat yang disediakan. Membuat Danielle jadi menghindar dari jendela supaya tidak terbentur.
“Aku janji.”
Ujung tangan Danielle yang menumpu pada jendela, dikecup pelan oleh kakaknya. Baru kali ini Danielle merasa begitu berharga. Dibalik cerewetnya Jackson menyimpan kasih tiada tara yang dilimpahkan pada Danielle. Entah ia yang tidak pernah tahu atau memilih untuk menutup mata.
Lambaian tangan dan senyum pemuda itu menjadi pengantar terakhir yang bisa Danielle ingat sebelum kereta mulai berjalan. Ia tidak tahu bakal bertemu dengan orang seperti apa nanti ketika sampai di Southares.
Ibu, tolong beri tahu Dewa dan Dewi untuk selalu di sisiku.
…
Tembok awal yang menyambut Danielle berupa bangunan beratap kotak dengan ujung-ujung tombak api di setiap sudutnya. Meski buatan dari batu berlian hitam, setiap sisi yang dibentuk menimbulkan bias cahaya, membuat semburnya seolah menyala. Mirip api Athanasius pembakar, Athanasius yang dialiri darah Hades.
Istana Janji Hitam dikelilingi laut dalam dan berdiri di atas tebing. Menjulang tinggi seperti hendak menggapai langit. Dari jalanan besar menuju istana dibangun jembatan beton yang berdiri bahkan sebelum Janji Hitam rampung. Setidaknya itu ditulis di buku sejarah yang digembor-gemborkan guru Danielle di sekolah. Beruntunglah ia dididik seperti orang biasa. Pergi ke sekolah untuk orang biasa-biasa saja, dan menjalani hidup untuk orang yang biasa pula. Tidak ada yang spesial. Kecuali momentum yang satu ini.
Ujung-ujung kaki Danielle mulai meregang pelan. Perjalanan dari Daerah Gugur ke Southares menempuh waktu hampir lima jam, sedang Danielle harus tetap di posisi duduk atau kadang bersandar.
Setelah masuk, barulah Danielle menyadari bahwa ia tidak membawa atribut Stephenson lain kecuali warna hijau botol yang menempel di gaunnya. Hampir semua kereta berjejer rapi di halaman punya bendera masing-masing. Ungu dari Maya, abu-abu tua dan mustard dari Calypso, bahkan sekelebat ia bisa lihat warna merah dari Athanasius. Mungkin ada kerabat kerjaan yang mampir untuk menyambut acara Pemilihan Ratu pula.
Bangunan sejajar menyambung dua pilar yang terpisah di sisi kanan dan kiri. Ujungnya runcing dengan bendera Emrys, punya warna merah dengan lambang mahkota api hitam di tengahnya. Warnanya yang gagah kadang membuat Danielle sedikit terintimidasi.
Sepatu boots selutut Danielle menginjak halaman istana Janji Hitam untuk pertama kalinya. Menimbulkan bunyi mengatuk akibat hilang keseimbangan tubuh dari dalam kereta sampai Si Kusir mengantarnya turun. Laki-laki itu tidak mengomeli Danielle yang kelihatan cepat-cepat ingin segera keluar dari dalam kereta. Uluran tangannya berbalut sarung putih, disambut Danielle dengan senyum formal yang bakal banyak ia tunjukkan ketika ada di dalam istana.
Di berita, tidak kelihatan seluas ini, pikir Danielle.
Ruangan pertama yang Danielle lewati berisi lukisan-lukisan wangsa Athanasius. Ada beberapa orang Stephenson, ikut perang perluasan dan punya pangkat tinggi. Mereka dianugerahi gelar pula dengan membawa emblem-emblem dan warna kebanggan klan di dalam foto lukisan. Para Pangeran Athanasius yang sekarang menjejakkan diri di istana Janji Hitam, belum dilukis. Mungkin belum saatnya dipajang sebelum naik takhta. Dinding bercat putih tulang dengan warna hitam mengkilap di beberapa sudut, membuat ruangan jadi terkesan usang dan jarang dilalui orang. Padahal ini lorong utama menuju ke bangunan yang lain. Satu-satunya yang kelihatan ningrat adalah sudut-sudut ruangan yang punya ukiran melikuk dan berlapis emas. Mengkilap seperti sepatu yang baru saja disikat.
Boots Danielle mengatuk, menggema ketika ia melewati lorong yang lebih sempit. Ayahnya sudah memberitahu peta menuju ruangan pribadi atau paling tidak, tempat-tempat yang biasa Alan kunjungi. Kini Danielle mengikuti petunjuk ke ruang takhta. Sebagai Tangan Kanan Raja mungkin ayahnya bakal ada di sana sekarang. Ruangan rapat Dewan Kecil ada di samping singgasana.
Dua pengawal Dafandra yang ada di balik pintu ruangan, menarik sisi pintu meski kelihatan berat. Mempersilakan Danielle yang tidak punya mendamping, untuk masuk.
Manik hazel nya menunduk. Takut-takut kalau yang menyambutnya adalah orang berkedudukan lebih tinggi di ruangan. Sedikit-sedikit ia mulai mengangkat pandangan dari lantai marmer putih yang sudah dimakan usia. Satu menjadi daya tarik Danielle adalah kursi takhta yang tinggi. Ada sekitar lima belas anak tangga yang harus dilewati untuk sekadar bisa mencapai kaki seseorang yang bakal duduk di atas sana. Kursi Janji Hitam sesederhana namanya, terbuat dari batu akik hitam berserat-serat putih, diukir hingga membentuk kursi layak untuk raja. Bagian punggungnya berukir hampir sama persis dengan lidah api betulan. Sisi-sisi yang mengelilingi kursi juga terbentuk dari marmer. Entah bagaimana bisa seseorang menapakkan kaki di sana tanpa tergelincir.
Selain kursi singgasana, ruangan kosong momplong. Cuma ada enam pilar penyangga dari beton yang menjunjung atap dengan jendela kaca membayangkan matahari. Dari sini, Danielle bisa lihat kalau di sebelah kanan kursi, terdapat ruangan tidak berpintu yang sekarang sedang disinari mentari pula dari jendela. Memantulkan bayangan meja dan kursi dengan seseorang di atasnya ke lantai.
Sadar atau tidak, Danielle nyatanya tersenyum. Menanti-nanti untuk bertemu Ayahnya di balik dinding. Mungkin ia sedang mengerjakan sesuatu. Kentara dari bayang tangan serta kertas yang menari-nari.
“Permisi, my lord,” Suara Danielle sengaja ditinggi-tinggikan. Khas perempuan yang biasa dididik di bawah pengaruh istana.
Ayahnya dibalut jubah hijau botol khas klannya. Dengan bantuan setelan hitam dengan lencana Api dan Tanah, perawakannya kelihatan lebih muda. Tidak ada tumpukan kertas seperti apa yang sempat Danielle bayangkan. Ia duduk di sisi paling ujung sambil membawa pena. Sisa kursi yang ada dibiarkan kosong dan sedikit berantakan. Mungkin baru saja dihadiri beberapa orang untuk ikut rapat. Bagian-bagian rambutnya yang sudah mulai beruban, membuat Alan justru kelihatan lebih tampan.
“Danielle,” kata laki-laki itu setelah mendongak.
“Ayah.”
“Kenapa tidak bilang kalau kamu datang?”
“Ini saja aku baru turun dari kereta.” Tubuh Danielle merunduk pelan untuk memberikan salam formal kepada Ayahnya.
“Jangan seperti itu,” sanggah Ayahnya. “Karena tidak ada orang, jadi kamu dijinkan untuk bersikap biasa saja.”
“Aku bahkan tidak tahu biasa saja itu seperti apa.”
Alan melewati Danielle sambil membawa selembar kertas bekas dilipat. Masih ada segel lambang yang belum lepas menandakan kalau masih baru.
“Sudah tahu dimana kamar kamu?” Tanyanya.
Setengah mati Danielle mencoba untuk mengatur suaranya supaya tenang, tidak terkesan mendesak. “Ayah, kan, belum tunjukkan.”
“Aneh sekali.”
Danielle diam saja. Dengan segala keterbatasan yang bisa ia lakukan di sini. Lebih baik menghindari pertikaian tidak perlu. Istana Janji Hitam bukan rumahnya. Ia tidak bisa bebas menyanggah Ayahnya atau berkomentar ini-itu soal keadaan. Sekali ada kata yang tidak enak, bisa-bisa kepalanya berakhir dipajang dan diarak keliling kota. Ngeri.
“Melihat kamu tidak banyak bicara.” Ayahnya melanjutkan. “Pasti susah, ya, jadi seorang lady.”
Kedua tangan Danielle meremas satu sama lain. “Sesusah ayah untuk tidak memancing aku sekarang.”
Ayahnya menahan tawa. “Sekalipun kamu dikekang, mulutmu memang tidak akan berubah.”
“Terimakasih sudah mengingatkan.”
Lorong-lorong mereka lewati, berisi banyak orang lalu-lalang dengan warna-warna berbeda di setiap helai pakaian yang mereka kenakan. Banyak dari kalangan klan yang tidak Danielle ketahui. Atau mungkin ia lupa menghapal. Cuma klan-klan terkemuka yang nama dan warnanya bisa Danielle ingat.
Sesekali Danielle mencuri pandang ke punggung ayahnya yang jalan duluan. Koper-koper pasti sudah diantarkan ke tempat yang diberitahu pelayan. Memang tidak ada yang menyambutnya di pintu utama tapi pasti beberapa pelayan menanyakan siapa yang punya kereta. Kusirnya tinggal bilang kalau kopernya punya kerabat Stephenson, beres. Semoga saja memang begitu.
“Kamu sudah tahu, kan, Pangeran mana yang bakal kamu nikahi nanti?” Ayahnya tiba-tiba bersuara.
“Koreksi,” sanggah Danielle dengan suara sengaja ia kendalikan. Tidak tinggi dan tidak direndah-rendahkan. “Aku belum dinyatakan sebagai pemenang. Jadi aku masih ada kesempatan untuk tidak menikah dengan dia.”
“Yang Mulia Putera Mahkota. Kamu tahu yang mana, kan?” Alan bersikuku.
“Pangeran Alceon Athanasius.” Tubuh Danielle kembali tegap. Memandang lurus ke lorong yang ia lewati dengan ayahnya. “Anak ke dua dari empat bersaudara. Punya dua api Athanasius pembakar. Biru pelindung dan hitam penghancur.”
“Selain itu?”
“Apa masih ada lagi yang harus aku tahu?”
Ayahnya dipapari sinar dari jendela, silih berganti dengan gelap. Setiap lorong memiliki beberapa jendela yang bertatapan langsung dengan sinar matahari di luar. Sepertinya sudah mulai sore karena cahayanya condong ke arah barat, menyinari Alan. “Pribadinya?”
“Tugasku adalah naik dan jadi Ratu, bukan jadi istrinya.”
“Kamu tetap tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, ya?”
“Apa? Cinta?”
Alan diam saja.
“Ayah tahu sendiri,” bisik Danielle. “Kalau mahkota sudah ada di atas kepala seseorang, orang itu tidak akan bisa merasakan emosi hangat. Cuma dingin atau panas.”
“Kalau kamu bisa merasakan emosi itu, bagaimana?”
Danielle memandangi tubuh ayahnya yang kelihatan lebih tinggi akibat sinar matahari mengubah tubuhnya jadi bayangan saja. “Emosi itu sudah dibawa pergi seseorang. Jauh.”
Agaknya Si Tangan Kanan Raja tahu siapa yang Danielle maksudkan. Seseorang yang membawa pergi dan menguras semua isi hati Danielle semenjak ia mangkat. Orang berharga dan tidak akan tergantikan di hidup anak Stephenson, ibunya.
“Sebaiknya kamu berkeliling,” saran ayahnya.
Pintu berkayu dengan ukiran rumit di hadapan Danielle sudah bisa memberitahu dimana ia sekarang. Keadaan sekitar masih senyap. Meski Danielle yakin kalau semua Putri yang disiapkan untuk kontes Pemilihan Ratu, seluruhnya tidur di lantai yang sama.
Tapi Danielle masih saja ingin bertanya. “Aku tidur sendirian disini atau bagaimana?”
“Kamu butuh teman tidur?”
“Bukan begitu.” Manik mata hazel Danielle mengerling, jengah. Beruntunglah di lorong ini tidak ada orang sama sekali. Ia bisa bernapas dengan lega sejenak tanpa harus membusungkan dada sambil senyum sana-sini. “Aku tidak merasa ada orang lain yang menghuni lorong.”
“Kalau kamu tidak terlambat, mungkin kamu bisa ikut upacara pembukaan dan bertemu mereka.”
Danielle membelalak. Tidak ada yang bilang kalau bakal ada pembukaan. Bahkan ayahnya saja tidak memberitahu apa-apa. Ia cuma diutus untuk ke istana dan memenuhi permintaan. Pikiran Danielle mulai berputar-putar, kacau. Pelan namun pasti.
Bagaimana kalau mereka menyangka bahwa Stephenson sok berkuasa? Bagaimana kalau mereka mengira Stephenson tidak patuh aturan? Mentang-mentang punya kedudukan tinggi di klan jadi semena-mena.
Reputasi Stephenson akan hancur karena aku.
“Danielle.”
Kedua lengannya dicengkeram oleh Alan. Berusaha menyadarkan anak perempuan nya kembali ke kenyataan.
“Tenang,” katanya. “Tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa, bagaimana?” Danielle melepaskan diri dari genggaman sang Ayah. “Kalau saja Ayah bilang, aku harus sampai pukul berapa. Kalau saja aku berinisiatif tanya soal persiapan-persiapan. Kalau saja aku punya otak lebih cerdas dan cepat.” Tubuhnya mondar-mondir di depan pintu kamar yang sebentar lagi bakal jadi miliknya. Seperti otaknya, Danielle tidak berhenti merasa cemas diikuti oleh tubuhnya yang mulai mengggil.
“Itu lambang peresmian saja.” Ayahnya masih mencoba menggapai Danielle. Menangkup kedua tangannya dan menyalurkan sensasi hangat ke kulit anak perempuan Stephenson. “Banyak yang tidak ikut. Stephenson sudah ayah wakilkan.”
Aku selalu menyusahkan orang lain. Pikirannya bicara lagi.
“Maaf.” Cuma kata itu yang bisa Danielle ucapkan sekarang. “Maaf,” ulangnya.
“Ini masalah kecil. Kamu tidak perlu merasa cemas.”