The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #4

Tragedi 3

Napas Danielle mengepul di udara pagi yang masih dingin. Matahari sudah menyongsong fajar untuk naik meski sinarnya terhalang pepohonan yang ada di hutan.

Ini masih pukul enam pagi dan Danielle sudah kelelahan. Keringat mengucur di pelipis serta helai rambutnya yang menempel di sekitaran wajah. Hawa dingin dan panasnya tubuh beradu menjadi satu menyebabkan sensasi tidak enak di perut.

Manik mata hazel nya menangkap simpul tali sepatu bootsnya yang lepas. Dengan cekatan segera membenahi dan kembali pandangannya berpaku pada suasana sekitar. Akar pohon meranti yang tumbuh menjulang bisa Danielle jadikan tempat bersandar untuk sementara. Ranting yang ditumbuhi daun lebat di atas, membuat suasana jadi sejuk dan menenangkan. Meski Danielle tidak merasakan efek tenang sama sekali.

Ia dibalut pakaian sederhana. Kemeja putih tulang yang sedikit kebesaran dengan lengan yang dilipat dan rompi cokelat tua yang terbuat dari kulit. Celananya hitam legam sengaja supaya menghalau noda agar penampilannya tetap kelihatan rapi meski duduk di sana-sini. Surai cokelat madu Danielle disanggul ke atas kepalanya. Helai yang tidak sengaja lolos dari untaian, disampirkan di balik daun telinga supaya tidak mengganggu.

“Bagaimana? Sudah menyerah?”

Ayahnya duduk di sampingnya dengan kemeja hijau botol yang mengkilap. Celana hitam serta sepatu pantofel tidak pernah absen meski Danielle sudah bilang kalau latihan ini lebih enak di tepian hutan.

“Belum,” jawabnya cepat-cepat. “Ayah sudah capai, ya?” Nada suara Danielle khawatir. Alan punya tugas yang lebih penting ketimbang harus membantu anak perempuan nya memunculkan elemen bawaan klan Stephenson. Meski sudah tiga jam berlalu dan tidak membuahkan hasil sama sekali.

“Aku belum juga. Tapi masih ada sesuatu yang harus diselesaikan.” Ayahnya mendekat ke samping Danielle dengan pandangan masih tertuju ke langit, menunggu sinar matahari menerpa kulit atau wajah barang cuma setitik.

“Boleh aku coba lagi?”

“Tentu saja.”

Danielle menegakkan tubuh kembali ke posisi siaga. Kaki kanannya melangkah lebih dulu di depan kaki kiri seperti orang yang hendak berlari. Kedua matanya terpejam dengan tujuan untuk memfokuskan diri. Sebenarnya gerakan itu juga tidak terlalu penting karena Danielle bahkan tidak bisa merasakan sensasi apa-apa dari dalam bumi. Jangankan magma atau lahar, tanah yang ia pijak saja tidak berarti apa-apa selain tempat untuk berdiri.

Napasnya mulai diatur kembali. Tarik, tahan sebentar, lepas. Tarik, tahan sebentar, lepas sampai tiga kali. Setelah tubuhnya terasa lebih enteng, kedua tangannya direntangkan dengan telapak menghadap ke tanah. Angin ketenangan menerpa wajahnya jarang-jarang, membawa ketentraman yang membuat Danielle semakin gigih memacu diri. Ia tajamkan indra perasa sekuat yang ia mampu. Kata ayahnya, gerakan bumi bisa dirasakan Stephenson melalui saraf-saraf indra perasa yang ada di telapak kakinya. Sampai ke atas dan diterima oleh otaknya sehingga raganya bisa memunculkan pengaruh pada tanah di sekitaran.

Tidak terasa apa-apa.

Satu-satunya yang bisa Danielle tangkap adalah debar jantungnya sendiri yang mulai merasakan kepanikan. Otaknya bersusah payah mengatakan kalau semua bakal baik-baik saja. Kalau ia cuma butuh waktu untuk beradaptasi dengan alam.

Tanah disekitaran Danielle bergerak-gerak seperti hendak membelah diri mereka sendiri. Menyebabkan gempa bumi kecil ketika serpih-serpih tanah kering terangkat dan tidak sengaja terkena lengan Danielle yang tidak berbalut kain. Alisnya mengernyit, berpikir. Ia bahkan tidak merasakan sensai apa-apa di dalam tubuhnya sendiri. Bagaimana bisa ia membuat tanah di samping kiri dan kanannya bergerak tidak nyaman? Tidak mungkin.

Kedua matanya dipaksa terbuka untuk mencuri pandang pada apa yang sebenarnya terjadi. Momentum pertama yang bisa Danielle tangkap adalah ayahnya di depan tubuhnya tengah menerbangkan serpih tanah ke udara. Partikel-partikel kecil yang ditimbulkan dari energi bumi yang melayang-layang, membuatnya kelihatan seperti bubuk susu cokelat yang jatuh pelan-pelan. Bedanya ini tidak jatuh, justru ditarik ke atas.

“Ayah.” Danielle menegur.

Alan seperti tidak menggubris. Ia memejamkan mata pula dengan kedua tangan yang terentang. Berbeda dengan Danielle yang menghadapkan telapak tangan ke tanah, ayahnya sudah berhasil membawa elemen bumi. Jadi ia mengeratkan jari-jari seperti mencengkeram sesuatu yang tidak kasat mata. Alis Si Tangan Kanan Raja berkedut-kedut menahan energi. Sekilas ayahnya seperti orang yang menahan marah sambil memejamkan mata supaya lebih dramatis.

Serpih tanah itu sekonyong-konyong jatuh kembali ke bumi ketika longlongan bisa Danielle dengar dari kejauhan. Suaranya bukan dari hutan karena tidak menggema. Ini dari arah istana.

“Ayah!”

Danielle memekik sambil mendekat ke ayahnya yang sudah menoleh ke belakang, jalan menuju kembali ke istana. Tubuhnya sengaja bersembunyi di balik tubuh besar ayahnya dan disambut baik oleh kedua lengan Alan yang langsung mampir ke pundak Danielle.

“Cerberion,” kata ayahnya.

Cerberion?” Danielle mengulang sambil sedikit terbata. Setiap suku katanya sengaja dipanjangkan semasa otaknya juga mulai bekerja. Kalau-kalau informasi di sekolah menengah yang punya materi soal istana bisa membantu.

“Anjing perliharaan orang Athanasius. Tapi cuma mau menurut ke Putera Mahkota saja.”

“Oh.” Pundak Danielle yang semula menegang, kini merosok. “Aku kira kita bakal dimakan binatang hutan seperti serigala atau harimau.”

Ayahnya memandangi Danielle seperti anak perempuan nya berubah jadi rubah. Aneh, tidak percaya, dan sedikit mengejek. “Kamu tidak tahu Cerberion?” Tanyanya dengan nada orang tua yang bakal menggurui anaknya sebentar lagi.

“Anjing, kan?” Kini jadi Danielle yang kebingungan. “Ayah tadi bilang kalau itu anjing peliharaan Putera Mahkota Emrys.”

“Demi klanku, kamu tidak tahu anjing Putera Makota?”

Danielle semakin tidak mengerti. “Ayah berkata begitu seperti anjing itu punya ekor ular, saja.”

Dan benar.

Setelah ditinggal ayahnya sendirian di pinggir hutan dan ditarik-tarik untuk memasuki beberapa lorong, Danielle bertemu dengan ruangan yang berisikan bangku bermeja marmer, beberapa buku yang ditumpuk sembarangan di meja, serta pena bulu yang masih meneteskan tinta tanda baru selesai digunakan.

Cerberion yang sempat dikatakan ayahnya memang berekor ular. Lebih mengerikan lagi ketika Danielle berhadapan dengan kepalanya yang ada tiga buah. Tiga otak dalam satu badan. Lehernya menyambung ke tubuh dengan empat kaki yang kelihatan bercakar tajam. Seperti cakar harimau atau bahkan singa.

“Ini Cerberion?” Danielle hati-hati merapalkan kalimat. Bersuara sedikit, bisa-bisa ia habis dengan binatang tiga kepala mirip serigala yang sekarang memandanginya antusias. Hewan itu tidak kelihatan buas meski punya tinggi hampir mencapai dada Danielle.

Ayahnya berdiri di samping Pangeran utama, Alceon Athanasius. Wajahnya tidak berbeda dari yang ada di koran atau berita televisi. Dari jarak yang lumayan dekat, Alceon masih punya wajah garang dan jenggot berbulu pitis. Sepertinya baru saja dicukur. Ini menurun ke adiknya. Surainya kelam dan ikal yang sengaja tidak dipangkas. Disibakkan ke belakang dengan sebuah mahkota api yang ada di atas kepalanya.  Bermata setenang lautan dalam yang tidak terbaca.

Baru kali ini Danielle melihat mahkota api hitam yang ditulis di banyak berita. Nyala apinya tidak besar, tidak mungkin membakar kepala Si Putera Mahkota sampai botak. Bahkan pangkalnya tidak menempel ke atas rambut tapi melayang seperti diganjal oleh sesuatu yang janggal. Lidah apinya bergerak-gerak ketika kepala Alceon terayun seperti ditancap di atas sana. Jadi kelihatan layaknya tanaman yang dicabut hingga akar. Batang dan tanamannya adalah mahkota melayang sedangkan tanah yang dicabut adalah kepala Alceon. Aneh kalau dari dekat. Mahkota itu memang hasil elemen yang diciptakan wangsa Athanasius pembakar. Danielle duga, ia masih bakal tercengang nanti ketika melihat semua keturunan mendiang Raja Ryan Athanasius mengenakan mahkota masing-masing.

“Dia tidak berbahaya.” Alceon membungkuk dan menyebabkan mahkotanya berekor panjang mirip seperti bintang jatuh dengan induk di kepalanya. “Cerberion, beri salam ke Lady Stephenson.”

Anjing mengerikan itu menggonggong bersautan. Suara ke tiga nya yang berat menggema di ruangan dan menyebabkan Danielle sempat menghuyungkan tubuh ke belakang. Entah apa yang berusaha ia hindari. Lidah-lidah Cerberion terulur seakan mengucapkan selamat datang seramah yang mereka bisa.

“Apa tiga-tiganya punya nama Cerberion atau setiap kepala punya nama yang berbeda?” Danielle membungkukkan badan dan bertumpu di satu kakinya yang ditekuk. Takut-takut ia mendekat dan mulai mengusap puncak kepala salah satu kepala Cerberion.

“Tubuh mereka cuma satu. Jadi waktu dipanggil Cerberion, ya, mereka bakal berlari untuk mencari siapa yang memanggil.” Alceon masih memakukan pandangan pada anjing piaraannya yang abnormal.

“Benar juga.”

Manik mata setiap kepala punya warna yang berbeda. Dari kiri ke kanan adalah perunggu, merah yang mirip buah cherry, dan kuning terang seperti bunga matahari. Kendati punya bulu yang sama dengan anjing husky, Cerberion memang kelihatan seperti bantal berjalan yang berwarna abu-abu gelap. Orang bisa salah kira kalau Cerberion adalah boneka yang bisa menemani tidur nyenyak.

“Baru dari mana?”

Alceon kembali berdiri dan memandangi Tangan Kanan mendiang ayahnya bergantian dengan Danielle. Rupa keduanya memang berantakan dan Danielle tidak sempat berganti baju dengan gaun. Tatanan rambutnya bahkan masih tidak keruan dan cenderung terlalu tidak sopan digunakan untuk menemui Putera Mahkota.

“Maafkan saya yang tidak mengenakan pakaian dengan benar, Yang Mulia.” Danielle buru-buru membungkuk dan menghadap ke lantai marmer putih yang berserat kehitaman. “Kami baru saja berlatih untuk Pemilihan Ratu yang akan segera diadakan.”

“Sejak kapan aku bilang ke paman kalau kita pakai Bahasa formal?” Alceon seakan bergumam sendiri. “Santai saja, Danielle. Aku tidak akan menghukum kamu kalau kamu tidak pakai bahasa yang digunakan waktu rapat dewan.”

Hembusan napas lega baru saja Danielle lepaskan. “Jadi aku bisa pakai bahasa yang tidak kaku?”

“Tentu. Kenapa tidak?”

“Terimakasih,” kata Danielle sambil kembali mengangkat wajahnya untuk bisa bertemu tatap dengan calon raja.

“Ngomong-ngomong, aku kaget. Ternyata paman memilih anak paman sendiri untuk jadi kandidat calon Ratu.”

Alan menolehkan pandangan pada Alceon yang sekarang sedang berjalan menjauh. Kembali ke balik meja marmer hitam yang sarat akan kertas dan tumpukan dokumen penting. Pemuda itu sepertinya belum selesai dengan urusannya dan menyempatkan serta berbaik hati menyambut Danielle di ruangan.

“Ada beberapa kandidat, memang, Yang Mulia. Tapi, ya, aku tidak bisa temukan yang sesuai kriteria,” jawab ayah Danielle. Tubuh ayahnya sudah tinggi dan Danielle mengira tidak bakal ada orang yang menandingi. Tapi ternyata Alceon lebih tinggi lagi. Entah berapa tinggi anak emas Athanasius itu.

“Sebenarnya yang cari Ratu itu aku atau paman?”

Alceon tertawa dan ditanggapi pula oleh Alan. Keduanya seperti kepokanan dan paman sungguhan, di mata Danielle.

Ruangan yang ia pijaki kelihatannya bukan ditujukan untuk orang awam. Beberapa sisi kelihatan tidak rapi dan cenderung tidak tersentuh. Bendera Emrys di pojok ruangan dihinggapi debu meski tipis. Tempatnya bersebelahan dengan tungku berisi potongan kayu yang masih menyala-nyala merah. Jendela di seberang ruangan berhadapan langsung dengan satu bangku yang sekarang dihuni oleh Putera Mahkota. Ia dikelilingi banyak tumpukan buku yang ditata di rak. Menempel ke dinding dari atas sampai bawah. Beberapa buku ada yang bersampul tua, keras, bahkan ada yang hampir lapuk. Semuanya ditata seadanya dengan bagian-bagian rumpang dan dibiarkan kosong. Danielle menduga kalau ada lebih banyak buku yang sebelumnya ditata melihat banyaknya tumpukan yang oleng ke kanan dan ke kiri, menabrak buku yang lain.

“Masih tidak menemukan jawaban untuk perjanjian baru dari dewan pemerintahan, Yang Mulia?” Tegur Alan pada calon Raja nya yang sekarang kembali memandangi beberapa lembar kertas di atas meja.

Alis Alceon bertaut seperti memikirkan masalah tersulit sepanjang hidupnya. Kalau dihitung, masalah Emrys ada yang di dalam negara dan ada yang di luar. Dekat Sungai Mata, Perbatasan Emrys dan Protolico di bagian barat. Perang antar perluasan dan pertahanan wilayah sudah berlangsung jauh sebelum Athanasius ke 90 naik takhta. Kini sisa peninggalan yang ada adalah masalah.

Cerberion berbesar hati untuk meninggalkan Danielle beserta awak yang ada di dalam ruangan. Anjing itu berjalan ke balik pintu, dekat dengan rak buku yang terbuka sedikit tapi masih di balik selambu merah. Jadi tidak ada yang bakal tahu ada apa di balik korden.

Tugas Danielle sekarang adalah mendengarkan. Semua informasi berguna untuk kelangsungan hidupnya menghadapi ajang Pemilihan Ratu sebentar lagi. Setiap cela yang janggal dan patut diperjelas, bisa Danielle tanyakan nanti.

“Belum.” Putera Mahkota menyahut tanpa mendongak. “Orang-orang masih berselisih paham dengan Dewan Kecil yang paman pimpin.”

“Maaf kalau aku tidak bisa membantu banyak,” jawab Alan.

“Tidak apa-apa, tentu saja. Aku tidak mau mereka mengira kalau paman menghasut aku atau bagaimana. Masalah sudah terlalu banyak. Aku tidak mau menambah beban pikiran dengan omongan-omongan tidak penting.”

Setuju, batin Danielle.

“Kalau begitu aku undur diri.”

Ayah Danielle membungkuk diikuti pula oleh dirinya. Memberi penghormatan sebelum keluar dari ruangan dan kembali ke rutinitas masing-masing.

“Tadi itu, ruang kerja Putera Mahkota, Yah?” Danielle menyempatkan bertanya untuk memuaskan rasa penasarannya waktu masih melewati beberapa koridor.

“Itu kamar pribadinya.”

Kelopak mata Danielle mengerjap beberapa kali untuk menghalau rasa tidak percaya. “Apa ayah sudah gila membawaku ke sana?” Suara Danielle hampir-hampir meninggi sebelum ia ingat kalau di istana, aturannya sebagai seorang lady masih sangat berlaku.

Tawa membahana membuat koridor yang Danielle lewati terasa angker. Belum lagi suara ayahnya yang menggema sampai ke beberapa tikungan yang mereka tinggalkan. “Mungkin sedikit,” jawabnya.

Benar-benar gelap. Sunyi.

Kalimat itu belum selesai. Masih ada paragraf selanjutnya yang harus Danielle selesaikan di buku bacaan. Piring yang berisi cairan madu di atas meja, diraba-raba oleh telunjuk Danielle. Berusaha menemukan isinya tanpa berpaling dari buku yang sedang ditumpu oleh tangan kirinya. Meski duduk sopan dengan kedua kaki yang masih menatap di atas karpet, punggung Danielle sudah bersandar ke sofa empuk. Memanjakan dirinya sendiri pumpung tidak ada jadwal untuk berlatih dengan sang ayah.

Sinar matahari siang masih membentang di kasurnya akibat korden jendela yang sudah terbuka. Gaun hijau botol, perak, dan hitam bercecer sembarangan di kasur. Menyebabkan keadaan kamar jadi berantakan. Ia berencana untuk mengisi hari dengan jalan-jalan lagi di taman. Tapi badannya seakan menolak untuk bergerak dan pikirannya berkata kalau tidak ada yang bisa ia lakukan di luar kamar.

Sisa tenaga Danielle tidak banyak selepas ia menjalani sesi latihan di pagi buta bersama ayahnya. Ia seorang Alexander dan fakta itu membuatnya jadi pengangguran di dalam istana. Semua kandidat Ratu pasti bakal saling unjuk kemampuan dengan pelatih mereka masing-masing. Danielle anak dari Tangan Kanan Raja yang entah bagaimana, tidak disiapkan seorang tutor. Mungkin mereka beranggapan kalau Alan Stephenson sudah lebih dari cukup tanpa tahu kenyataan bahwa orang itu selalu sibuk dengan Dewan Kecil nya. Merumuskan masalah kerajaan yang tidak ada habisnya.

Lihat selengkapnya