The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #5

Tragedi 4

Danielle mandi keringat sudah setiap tiga hari sekali. Bahkan bisa dihitung kali ke sekian ia menghabiskan waktu bersama dengan Ayahnya di tepian hutan. Ayahnya bilang, kalau hutan ini merupakan hutan lindung yang jarang didatangi orang. Jadi mereka bisa bebas berlatih bahkan sampai hari berganti.

Pohon pinus yang ada di balik tubuh Danielle kadang membuat dirinya sendiri tergelitik untuk bersandar barang sebentar. Di atas tubuhnya, tetes embun masih sering jatuh ke tanah seperti memberi tanda bahwa hari terlampau pagi untuk memulai kegiatan.

Matahari belum kelihatan dari ufuk timur tapi cahaya terang sudah menguasai langit dan menyebabkan pendar kebiruan di angkasa. Siluet-siluet pohon pinus dan beberapa rerumputan tinggi, semakin jelas bentuk serta warnanya. Ada yang hanya hijau dedaunan, ungu bebungaan, dan beberapa tanaman lain bahkan beberapa jenis ilalang.

“Sudah menyerah?”

Tubuh Alan ngos-ngosan, tidak ada bedanya dengan anak perempuan nya sendiri. Dengan hanya balutan setelan hitam, Ayah Danielle kelihatan seperti petarung alih-alih pimpinan klan yang jadi Tangan Kanan Raja. Sosoknya kelihatan lebih cocok untuk ada di perbatasan dan memimpin pertempuran dibanding disini, duduk diam sambil merumuskan masalah-masalah kerajaan.

“Belum,” jawab Danielle sambil tersenggal-senggal.

“Danielle.”

“Aku tidak mau kembali sampai aku bisa memunculkan satu elemen saja,” katanya. “Aku mohon, Yah. Pemilihan Ratu nya sudah dekat.”

“Tapi kita sudah mencoba dari jam satu malam.”

Benar.

Batin Danielle jadi tidak nyaman karena merepotkan orang lain. Ayahnya juga punya tugas yang tidak bisa ditinggalkan sebagai Tangan Kanan Raja. Alan bahkan sudah dikategorikan kalau tidak bertuan. Menjalankan misi lebih besar untuk menjaga kestabilan Emrys tanpa bantuan siapa-siapa. Tapi disinilah Ayahnya sekarang. Pukul setengah enam pagi, berpeluh keringat, dan bersedia menyanggupi demi masa depan anak perempuan nya.

“Maaf.” Danielle membenahi posisi tubuhnya. Dari kuda-kuda siaga menjadi lebih santai. “Aku seharusnya tidak memaksakan diri.”

“Ayah tidak keberatan,” sanggah Alan. “Tapi pikirkan juga kesehatan badan kamu.”

“Aku tahu. Maaf.”

Ayahnya kini berpose serupa seperti Danielle sambil meregangkan setiap ototnya. Menimbulkan bunyi bergemelatuk antar tulang dan sendi. Setiap gerakan kadang membuat Danielle ngeri bukan main. Untung saja tidak ada geser tulang atau otot yang tidak sengaja terjepit.

“Coba kamu tarik napas dalam-dalam, lalu praktekkan seperti aku tadi,” kata Ayahnya. Ia kini berkacak pinggang sambil memandangi Danielle.

Seperti apa yang dititahkan, Danielle menurut. Menghirup napas banyak dan dalam sampai rongga rusuknya tidak lagi berasa. Kuda-kuda yang semula ditinggal, kini ia gunakan lagi. Merasakan seluruh udara baru di dalam tenggorokan dan paru-paru. Ketenangan itu datang lagi pada Danielle dalam bentuk terpaan angin. Sembari kedua tangannya mencengkeram benda tidak kasat mata, ia berusaha merasa. Menajamkan indra sampai ke titik dimana ia menyatu dengan sekitaran. Setiap pori-pori tubuhnya menerima terpaan udara yang sama dengan tempo berbeda. Ada yang cepat, lambat, sampai ada yang tidak kena sama sekali.

Suara lain membuyarkan konsentrasi Danielle. Kali ini bukan longlongan Cerberion atau panggilan darurat dari istana. Nadanya tinggi melengking dan membikin kuping Danielle sakit. Ini bukan dari arah barat, tapi justru dari timur arah laut membentang.

“Hippocampus.” Ayahnya bicara. “Katanya masih ada di perairan Theoplous.”

“Bagaimana bentuknya?”

“Bukannya diajarkan di sekolah?”

Danielle memanggil semua memori dari sekolah dasar, menengah, sampai sekolah kelanjutan. Nama Hippocampus saja sudah kedengaran aneh di telinga Danielle, kini justru ia disuruh mengingat-ingat.

“Kuda, ya?” Tanya Danielle ke udara kosong.

“Kamu benar-benar tidak tahu bentuknya?”

“Kedengaran seperti kuda.”

Jemari Alan meminjat pelipisnya sendiri, menahan gemas. “Iya. Kuda. Tapi punya ekor ikan. Hampir mirip bentuknya seperti duyung.”

“Kok, Ayah mengatai aku ‘kuda’?”

Telapak Ayahnya kini mengantikan jari-jarinya di dahi. Menepuknya seakan pimpinan Stephenson itu salah mendidik anak. “Bukan begitu,” sanggahnya. “Iya, memang bentuknya kuda, cuma punya ekor ikan.”

“Oh.” Danielle manggut-manggut. “Kuda laut?”

“Kuda, Danielle. Bukan kuda laut.”

“Kan, ada di laut?”

Ya, tapi bentuknya beda dengan kuda laut kecil yang selalu menempel di karang.”

Danielle menarik napas panjang. “Tidak tahu, ah. Pusing.”

Tubuh Ayahnya kembali ke posisi siaga. Meladeni perempuan Stephenson yang beranja dewasa di hadapannya. Dilihat dari jarak dua meter, ayahnya masih kelihatan punya kumis tipis-tipis bekas cukur tidak rata.

“Buat diri kamu berguna, Danielle,” bisik Ayahnya pelan-pelan seperti memanjatkan doa supaya lebih manjur.

Kalimat itu mengundang hasrat tersembunyi di dalam pikiran Danielle untuk bangun. Ia tidak bisa pastikan kalau ini buruk, apalagi baik. Mungkin di antara keduanya. Atau bahkan tidak sama sekali. Perkataan Jackson beberapa waktu yang lalu, mulai membumbung naik. Ketika kakak laki-laki nya berkata kalau Danielle jangan-jangan berdarah Kronos. Ia bahkan sudah menyumpah-serapahi Jackson dan membuat pemuda itu merasa bersalah. Sekarang bukan lara hati yang Danielle rasa, tapi justru kekuatan untuk bangkit. Lukanya seakan sembuh sedikit-sedikit dan siap menerima hal baru di masa mendatang.

“Ayah,” tegurnya.

“Ada apa?”

“Sepertinya aku tahu sesuatu.”

Kasur ruang perawatan istana ditata terlampau banyak dalam satu ruangan. Meski cukup untuk beberapa orang berkunjung dan masih sehat untuk ukuran pasien supaya tidak panik, tetap saja nuansanya jadi sesak. Lampu-lampu serta cahaya terpendar kaca dari matahari di luar, membuat Danielle bisa melihat serbuk-serbuk debu kecil di udara. Melayang-layang seakan mereka ditarik benang ke sana-kemari.

Lampu kristal utama di tengah ruangan belum menyala tapi sudah memantulkan cahaya lain dari nyala lilin sekitaran. Bayang-bayangnya jatuh ke kasur dengan selimut putih yang sekarang sedang membalut tubuh Aindita Calypso. Ia dibalut gaun tidur putih gading dengan lipatan-lipatan membentuk simpul tertentu di dada. Kini ia sudah bukan lagi Aindita yang tidak mau ada di sini. Perempuan Calypso itu kelihatan masih pucat tapi sudah tersenyum sehangat yang ia bisa usahakan.

“Maaf membuat kalian repot-repot kemari,” katanya dengan suara sedikit serak akibat tidak bicara di waktu yang lama.

“Tidak perlu sungkan. Aku yang mengajak kamu ke ruangan itu, jadi aku harus tanggung jawab.”

Tubuh Jessica dibalut warna ungu klan Maya dengan brokat merah jambu di sekitaran dada. Lengkap pula dengan sarung tangan yang tidak pernah lepas. Sanggul di atas kepalanya berbentuk menyerupai mahkota bebungaan. Saat cahaya matahari mengenai kulit oranye Jessica, lencana air dan bumi di bandol gelangnya seakan menyala-nyala terang.

“Apa kalian sudah mempersiapkan untuk Pemilihan ratu?”

Pandangan Danielle bertabrakan dengan Jessica yang ternyata sudah memperhatikannya duluan, entah sejak kapan. Rahasia di antaranya harus dijaga baik-baik sampai Kontes Pemilihat Ratu selesai. Bahkan Danielle masih ingat betul bagaimana anak Maya itu memberitahunya tentang sesuatu yang sangat tidak ingin ia dengar.

Kalau nanti kamu terpilih menjadi Ratu, janji padaku kalau kamu mampu memperbaiki sistem ini.

Setelah mengerjap-ngerjap gelisah, Jessica lebih dulu memutus pandangan guna menanggapi Aindita yang sudah kelihatan curiga.

“Tentu,” jawab Jessica cepat-cepat. “Pemilihan Ratu bakal diadakan di waktu dekat, jadi kami sudah siap-siap untuk itu.”

“Bagaimana dengan kamu, Aindita?” Danielle menyambar, terkesan tidak mau kalah. “Sudah ada rencana, mau menampilkan apa, nanti waktu di arena koloseum?”

Wajah gadis Calypso itu mulai muram. Manik mata hijaunya berubah pucat dan bergerak-gerak gelisah seperti mencari jawaban yang tidak ada di sini. “Ya..” Kalimatnya menggantung. “Seperti kelihatannya.”

Dan kamu kelihatan tidak siap sama sekali.

Baik Danielle maupun Jessica, sama-sama tidak mau mengungkit masalah ini. Keduanya jadi merasa bersalah, mungkin terlebih Jessica karena ia yang punya ide menjerumuskan mereka ke ruang laboratorium untuk mencuri lihat. Jika Jessica bisa melihat beberapa celah masa depan, bagaimana bisa ia kecolongan? Danielle tidak mau menguak masalah ini lebih lanjut lagi.

Manik hazel nya beralih memandangi sepatu berhak dalam balutan gaun keperakannya. Mengintip-intip seperti maling di dalam korden. Melihat refleksi dirinya sendiri yang memantul di dalam keramik ruangan, membuat Danielle sadar kalau ia juga main kucing-kucingan. Mencoba lari dari sesuatu untuk bisa mendapatkan hal lain. Lari dari lara hati untuk bisa mendapat kekuatan batin.

“Apa kalian bertemu dengan yang lain?” Aindita seperti membaca atmosfer yang mulai tidak enak. “Sonya belum datang dan aku cuma dirawat beberapa orang Leander di sini.”

“Jumlahnya memang tidak banyak, kan, mereka,” jawab Jessica. “Beruntunglah kamu tidak terbentur parah, jadi mereka masih bisa mempersingkat waktu untuk menyembuhkan kamu.”

Lihat selengkapnya