Meninggalkan gaduh ruang takhta yang sudah disulap jadi arena jamuan makan malam. Ditemani siraman sinar rembulan dan damainya tepian taman. Sepanjang mata memandang memang cuma ijau rumput dan tingginya pohon. Dipotong tanah di ujung dan membentuk sebuah langit di angkasa. Kelam dan ditaburi wijen kemerlap meski tidak menyilaukan.
Pikiran Danielle masih berputar-putar pada kejadian dua malam lalu. Pembunuhan pertamanya dilakukan dengan tidak hormat. Tanpa alasan jelas. kalaupun nanti ia ditanya orang lain, tidak bakal ada jawaban enak keluar. Mau bektara kalau itu kecelakaan, keterlaluan. Bicara kalau itu karena emosinya tidak stabil, kedengaran omong kosong.
Tubuhnya bahkan tidak berhenti bergetar karena ketakutan. Panik serta deru jantungnya tidak lagi bisa dikontrol. Di dalam pikiran, sudah muncul skenario-skenario baru yang mungkin saja tidak bakal terjadi. Dari paling buruk, seperti jatuhnya Stephenson di tangan, atau terbaik seperti Danielle yang dipulangkan saja. Tidak perlu mengikuti ajang pemilihan ratu. Tidak perlu.
Satu-satunya faktor kenapa banyak yang sungkan berbicara dengannya adalah karena ia susah tidur. Menyebabkan kantung luar biasa tebal di bawah mata. Membuat pandangannya yang semula biasa saja, jadi tajam dan dingin. Seperti orang tidak mau didekati siapapun.
Sambil memutar-mutar satu tangkai bunga sedap malam, ia memandang jauh ke kelopak putih. Kalau saja aku masih sesuci ini.
“Dari awal aku selalu bingung, kenapa kamu seperti tidak berpengaruh dengan tanaman itu?”
Saura ini sudah terlampau sering Danielle dengar. Tapi ia sangat tidak berharap untuk bicara dengan orang istana sekarang. Tubuhnya menegang beberapa saat sebelum mengembangkan senyum palsu sambil berbalik. Membungkuk sedikit sebagai salam pernghormatan.
Di hadapan sudah berdiri Pangeran Denes dengan mahkota hitam keabu-abuan melayang di atas kepala. Ia kelihatan seperti malaikat yang ditulis di banyak buku dongeng anak-anak. Dengan lempengan cincin emas bersinar. Bedanya ini justru terbakar. Kadang nyala apinya stabil, kadang juga tidak sengaja ditiup angin.
“Yang Mulia,” sapa Danielle. Berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan keramah-tamahan meski di dalam pikirannya, rasanya ingin lari saja. Mengendalikan diri jadi terasa sangat berat di saat seperti ini.
“Tidak masuk ke dalam? Biasanya kamu dengan Jessica.”
Biasanya. Danielle terkekeh pelan. “Sedang tidak. Kalau terlalu banyak orang, Kepalaku sedikit pusing.”
“Sama.” Denes duduk di salah satu kursi yang terbuat dari batu. Tidak begitu jauh jaraknya dengan Danielle. Memudahkan keduanya untuk berkomunikasi lebih lanjut. “Sepertinya kita punya banyak kesamaan, ya.”
Enggan mengakui, Danielle memilih mengangguk sekenanya. “Sepertinya.”
Di dalam keheningan, ada dampak yang Danielle sadari. Ia sepertinya membutuhkan teman bukan untuk mengobrol. Tapi cuma butuh keberadaannya saja. Tidak perlu saling bertukar informasi, dalam diam sudah cukup.
Cahaya lilin jatuh ke kain roknya yang berwarna perak. Sengaja memang mengenakan yang paling terang untuk menutupi kemurungan. Kalau ia pakai warna hjau botol dengan hitam sebagai penambah, Danielle bakal otomatis jadi arwah penasaran yang tidak sengaja masuk istana. Mungkin membalas dendam atau sekadar main. Selain memantuh ke bayangannya, lilin dari dalam juga membuat pakaian Pangeran Denes seperti berkilau keemasan. Berbekal warna putih bersih dengan selempang merah pekat, ia ojadi seperti lentera. Menyala sambil jadi media gaun Danielle untuk mengelip-ngerlip.
Kedua tangan Denes saling menggosok, mencari kehangatan. Berhias satu cincin berhias batu dengan warna biru terang.
“Cincin Pangeran bagus,” kata Danielle. Setengah berusaha memecah keheningan semata.
“Terimakasih,” jawab Denes. “Kenang-kenangan dari ibu.”
Bodoh. Danielle meruntuki dirinya sendiri yang tidak peka. Biru muda adalah warna khas Arquemedes. Tentu saja Denes bakal pakai karena itu satu-satunya yang bisa mengingatkannya dengan mendiang Ratu sebelumnya, Irene Arquemedes. “Maaf.” Sepertinya tidak cukup. “Aku tidak bermaksud, Yang Mulia.”
Denes bangkit dari duduknya yang sedikit membungkuk. “Kenapa memangnya? Kamu tidak melakukan apa-apa.”
“Maksudnya, aku tidak bermaksud mengingatkan Pangeran dengan mendiang Ratu Irene.”
“Tidak masalah.” Denes menyunggingkan senyum. “Kematian itu pasti. Cuma kita yang tidak tahu kapan dan bakal meninggalkan siapa saja. Tidak ada yang salah, kok.” Cincin di jari manisnya ditarik untuk kemudian di serahkan ke tangan Danielle yang terbuka. “Ini. Kamu mau lihat, kan?”
Awalnya Danielle hendak menggeleng karena memang tidak ada niatan sama sekali. Tapi menolak, sama saja membuatnya semakin menumpuk dosa. Cincin perak dalam genggamannya terasa hangat. Salah satu Pangeran Api baru saja menyematkan ini di jadi tengah. Tentu saja tidak bakal dingin di waktu cepat. “Warnanya bagus. Seperti langit siang.”
“Iya. Seratus persen beda dengan warna Athanasius.”
“Merah juga bagus.” Meski masih memandangi batuan biru di genggaman, Danielle tidak berbohong. Warna merah Athanasius memang mengagumkan. Kelihatan berani dan kuat. Tidak ada yang bisa mengalahkan merah. “Tapi mungkin maknanya berbeda.”
“Benda dari orang yang sudah tidak ada di dunia ini memang terasa lebih berharga.” Denes mengangguk-angguk setuju. “Mungkin sederhana. Tapi buat aku, ini lebih dari sekadar cincin biasa.”
Danielle bisa tahu itu. Ia paham betul bagaimana tersiksanya pikiran ketika setiap benda yang ditinggalkan ibunya merefleksikan Rachel itu sendiri. Setiap piring di dapur, bantal di ruang tengah, atau bahkan gelas yang selallu ada di dalam kamarnya sekalipun. Dulunya pasti pernah dipakai oleh ibunya. Tapi satu-satunya yang masih membayang di dalam pikiran adalah bunga melati. Setiap kali ada yang membawa atau sekelbat saja lewat, Danielle harus tahan-tahan untuk tidak menangis di tempat. “Aku setuju.”
“Maaf karena aku juga baru sekarang sadar kalau kamu pasti tahu bagaimana rasanya.” Ada jeda ke kalimat selanjutnya seakan enggan. “Mungkin rasanya memang hampir sama.”
“Rasanya masih berat untuk sekadar ikhlas.”
Denes berpindah duduk lebih dekat. Dari jarak sekitar satu meter, Danielle bisa rasakan panas elemen yang dibawa. “Kalau kamu setiap malam menangisi kematiannya, ya, memang tidak mudah untuk lupa.”
Hampir Danielle terperanjak. Bagaimana bisa seorang Pangeran Denes seakan membaca pikiran dan mengobrak-abrik ruangan di dalam btin yang selama ini sudah ditutup rapat. Bergembok dua. Tidak ada yang boleh masuk. Sekalem mungkin, Danielle menjawab, “Beberapa orang memang masih susah untuk merelakan.”
“Mungkin bukan beberapa tapi semuanya.” Denes mendongak. “Waktunya yang tidak sama.”
“Mungkin.”
“Lihat, kan? Kita punya banyak kesamaan.”
Malam itu cuma Danielle tutup dengan kekehan. Dalam batinnya sekarang sudah berasa lebih tenang. Paling tidak, ia punya teman sepenanggungan. Tahu bagaimana nestapanya perasaan kehilangan. Meski masih tidak bisa menutup perasaan bersalah atas kematian orang Dafandra malam itu, tapi sekarang batinnya terasa lebih enteng. Mungkin ini rasanya punya kawan.
…
“Lady Danielle.”
Aindita menunduk sebagai salam. Keadaannya lebih hidup ketimbang terakhir mereka bertemu. Dengan tubuh Aindita yang masih merabahkan diri di atas kasur memang membuat siapa saja berpikir kalau anak perempuan Calypso itu masih belum sehat dan pulih dari keterkejutannya. Kini Aindita bahkan sudah berjalan-jalan. Di dalam kamar rumah sakit, gaun mustard nya mencolok di antara warna putih. Warna kulitnya yang gelap bersinar keemasan di terpa cahaya matahari pagi dari jendela. Terlebih dengan surai diurai, Aindita tidak ada tandingan cantiknya.
“Lady Aindita.” Danielle menyambut. “Tidak perlu begitu kalau kita bertemu lagi.” Nampan di atas tangan Danielle diletakkan di meja. Sengaja memang membawa sarapan supaya bisa mengobrol lebih lama dengan anak Calypso. “Apa sudah membaik? Aku lihat kamu lari-lari, tadi.”
“Kurang lebih begitu.” Aindita menoleh ke satu set alat makan yang penuh dengan hidangan. “Tadi ada kupu-kupu tidak sengaja masuk. Jadi aku gatal ingin menangkap dan membantunya keluar supaya tidak tersesat.”
“Warna apa?”
“Kupu-kupunya, maksud kamu?”
“Iya.” Kain rok hijau botol Danielle, ia kibas-kibas sebelum duduk di salah saru sofa panjang. “Sepertinya menarik sekali.”
“Memang. Warnanya biru terang. Kalau tidak salah, ada corak hitam tapi aku tidak terlalu memperhatikan.”
“Sarapan dulu, Lady.”
“Awalnya aku tidak mengira kalau kamu bakal membawa sarapanku kemari.” Aindita duduk di seberang. Talentanya menjaga posisi tubuh dan tata krama, masih terasa. Dari anggunnya ia menarik potongan roti sampai menyisihkan anak rambut di tepi telinga. Semuanya khas orang ningrat. Sesuatu yang dipelajari Danielle tanpa tutor. Seorang diri.
“Obrolan pagi. Sepertinya kita juga belum berkenalan di keadaan yang benar.” Tangan kanan Danielle menarik cangkir. Menghirup aroma teh sambil menyeruput pelan-pelan.
“Setuju,” kata Aindita. “Perkenalkan. Lady Aindita dari Calypso.” Ia mengulurkan tangan.
Danielle menyambut dengan senyum. “Lady Danielle dari Stephenson. Senang bertemu dengan kamu.”
Keduanya terbahak-bahak. Sekilas saja Danielle sudah bisa rasakan kalau Aindita bakal jadi orang yang dekan dengannya. Berbanding dengan sifat awalnya yang kelihatan tidak suka diganggua, ternyata Aindita membawa aura positif. Seperti sinar matahari pagi menyehatkan badan. Danielle butuh orang seterang ini dalam hidup setelah Jackson.
“Lady Danielle.” Tubuh Aindita condong ke depan. Dengan tangan seakan menutup bagian samping wajah, ia kelihatan seperti hendak membisikkan sesuatu.
“Panggil Danielle saja.”
“Okay.”
“Ada apa?” Tanya Danielle sambil ikut mencondong. “Tidak perlu bisik-bisik juga, kan? Tidak ada yang bakal dengar, lagipula.”
“Pengawal di luar saja tidak boleh sampai dengar.”
“Rahasia rumah?”
Aindita menggeleng. “Janji, ya, kalau tidak boleh beri tahu siapa-sapa.”
“Janji.”
Meski kelihatan ragu, Aindita akhirnya bicara dengan suara pelan, “Tahu Pangeran Abyss, kan?”
Danielle mengangguk sekenanya.
“Kok, aku mendengar desas-desus kalau dia ada apa-apa dengan Pangeran Denes, ya.” Aindita mencengkeram lengan Danielle. Tidak begitu keras tapi tetap terasa. “Karena kamu kelihatan dekat dengan Pangeran Denes. Siapa tahu saja, kamu bisa memberitahu aku yang sebenarnya.”
Kedekatan keduanya memang tidak biasa. Danielle bisa rasakan ketika terakhir mereka ketemu. Denes dijemput oleh Abyss untuk bisa berjalan beriringan. Berbeda dengan Nathanael yang sendirian. Awalnya Danielle mengira kalau itu memang cuma perlakuan kakak-beradik biasa. Tapi rumor ini seakan menyegarkan tenggorokan yang sedang kehausan. Meski tidak begitu Danielle buat pusing, tetap saja mengobati penasaran. “Sebaiknya, jangan bicarakan ini dengan orang lain, Lady Aindita. Kalau sampai orang tahu, kamu membuat berita tidak enak. Aku takut dampaknya ke orang Calypso lain.”
“Benar.” Telunjuk Aindita melayang diudara. Tanda kalau ia setuju dengan pernyataan lawan bicara. “Tenang saja. Aku cuma cerita ini ke kamu saja. Awalnya mau aku simpan sendiri. Tapi berhubung kita sudah menjalin hubungan baik, sepertinya tidak apa-apa.”
“Hubungan baik.”
“Sangat baik.”
Danielle menyeruput kembali teh hangat di tangannya.
“Ngomong-ngomong, aku juga sempat dengar ada orang berdarah Kronos lain yang menyusup ke istana,” kata Aindita. “Ada mayat perempuan Dafandra yang sedang diteliti waktu para pengawal datang kemari.”
Cangkir yang tengah Danielle tarik ke udara, berhenti seperti adegan opera ketika narrator harus membacakan naskah. Manik hazel nya kini memandang ke arah salah satu ranjang di dalam ruangan. Sudah sejak pagi ia bertekad untuk menjalani hari dengan biasa saja tanpa dibayangi rasa bersalah di dalam pikiran. Tapi topik ini juga terlampau sesntif untuk Aindita sendiri. Sekuat tenaga, ia menghalau rasa khawatir yang hampir membuatnya tenggelam. Danielle harus menguasai diri sendiri di hadapan Aindita. Kekuatan terkutuk ini tidak boleh sampai ada yang tahu. “Mungkin,” katanya sambil melanjutkan minum teh.
“Rasanya sedikit lega.”
“Kenapa begitu?”
“Aku jadi tidak sendirian.” Aindita memandang langit-langit. “Disini rasanya terasingkan. Untungnya cuma kamu dan Jessica yang tahu.”
“Tidak bisa dipastikan kalau Jessica bakal tutup mulut soal ini.”
Aindita mengangguk. “Mau bagaimanapun, aku ini ancaman negara. Terrornya bisa kamu dengar dari Benteng Katulistiwa sekalipun. Tidak ada yang salah kalau melaporkan.”
Tidak ada kalimat lain terlontar dari Danielle untuk menimpali. Selain karena tidak tahu harus menjawab seperti apa, ia juga tidak boleh terlalu banyak bicara. Kalau sampai tidak sengaja membuka dirinya sendiri dan Aindita bakal tahu siapa dalang dibalik matinya salah satu orang Dafandra, bisa habis.
…
Koloseum yang awalnya tempat bertarung, diubah jadi berpanggung dengan hiasan-hiasan mewah mirip seperti acara pernikahan. Bedanya ini memilih calon pengantinnya dulu.
Lampu digantung seperti tetes hujan yang jatuh ke tanah. Vertikal dengan titik-titik terang menyerupai bintang. Meski sudah terang, orang-orang tetap mengayalakan lilin di setiap meja yang disediakan di setiap sisi pinggiran. Sepertinya memang sengaja belum diisi hidangan karena semua kandidat, bisa saja merusak perabotan. Pihak istana pasti sudah antisipasi untuk tidak ambil risiko. Warna-warna Athanasius membentang di kain dekorasi, bendera Emrys, serta beberapa kain taplak.
Semua perabotan terbuat dari kayu. Tidak ada yang punya tenaga lebih untuk memindahkan meja keramik dari dalam istana ke koloseum cuma untuk satu malam acara. Panggung yang disediakan tidak terlalu tinggi. Mungkin berjarak sekitar enam puluh centi dari tanah. Para Pangeran Emrys bakal duduk di balik meja kayu yang disediakan. Keempatnya bersama dengan Ratu Mariana Olympia. Kadang Danielle bertanya-tanya kenapa klan Olympia tidak bisa berdamai dengan pemerintah saja.
Di bawah kaki Danielle, tanah sudah dilapisi dengan potongan-potongan kayu tipis sebagai pijakan. Kalau tidak, bakal becek dan justru menguntungkan salah satu klan, Calypso. Mereka bisa dengan mudah memunculkan lumpur penghisap dan tidak sengaja menciderai orang tidak bersalah.
Danielle diturunkan kereta di pintu samping kiri. Setelah gerbangnya dibuka, baru ia bisa lihat apa saja yang menunggunya di depan. Pasang mata klan lain, beberapa undangan, para pelayan, dan kamera besar untuk mengabadikan momen. Supaya orang yang tidak bisa melihat langsung, bisa menyaksikannya di televisi. Seperti kakak laki-laki Danielle di rumah. Pemuda itu tidak mungkin keluar kalau tidak bekerja atau membuang sampah menumpuk di dapur.
Sebagai perwakilan dari klan Stephenson, Danielle harus mengenakan gaun dengan warna kebanggaan klannya. Memunculkan ciri khas yang bakal banyak diingat orang. Jadi ia memilih gaun warna hijau botol dengan bebungaan di sekitar dada. Corak warna perak dan hitam, ada di setiap lekuk bunga di gaunnya. Tidak lupa pula lencana api dan bumi di tengah dada. Sekali lihat, orang juga bakal tahu.
Danielle sulit tidur. Kamarnya sudah berubah jadi tempat berdarah, praktis jadi ruangan angker yang sudah memakan korban. Meski Danielle akui kalau itu ketidak sengajaan. Ia terus berpikir apa pula yang menyebabkan darah Kronos di dalam tubuhnya, keluar tiba-tiba. Mungkin ditekan keadaan, dipepet oleh pilihan, atau serangan panik membuat jantungnya tidak keruan. Dari ketiganya, tidak ada yang bisa dihindari. Semuanya selalu mengganggu hari-hari Danielle meski masih di Gugur. Pikirannya jadi semakin berat mengingat-ingat dosanya. Membuat nyawa orang melayang tidak pernah terpikir oleh Danielle selama ini. Terlebih ia adalah anak perempuan dari Tangan Kanan Raja. Selalu bersih dari tuduhan dan tidak pernah menyentuh hal berbau perang.
Sejenak Danielle menyesali keberangkatan awalnya ke Southares.
Sudah terlambat untuk meratapi nasib, pikirnya. Hidup dengan keadaan sekarang adalah yang terbaik. Tidak akan ada habisnya menyesali apa yang sudah terjadi. Menutupi kekurangan dan perbaiki dengan hal baru di masa depan.
Terlalu mudah untuk diucapkan.
Terlebih kesalahan yang Danielle buat bukanlah hal kecil. Pengampunan dari Dewa dan Dewi juga tidak mungkin sepenuhnya. Buktinya Danielle dibuat mendung dengan rasa bersalah sampai sekarang.
Sepatunya mengatuk-atuk di atas kayu selaras jarum jam berdentik. Setiap langkah seberat tahanan yang hendak mengakui dosa. Bahkan untuk berjalan dengan tegap saja, Danielle harus berusaha mati-matian. Menyembunyikan kantung mata hitam di balik riasan, menyunggingkan senyum sepanjang acara, dan selalu bersopan santun pada siapapun. Tidak pandang klan dan status, ia harus melakukannya untuk dirinya sendiri.
“Danielle.”
Suara Ayahnya hampir-hampir membuat Daniell berjengit saking kagetnya. Alan dibalut warna hijau botol pula dengan setelan jas dan mantel. Sekilas Danielle bisa lihat kilap sabuk yang laki-laki itu kenakan. Rambutnya disibakkan ke belakang. Tidak lupa pula lencana tanah dan api juga lambang Tangan Kanan Raja di dadanya. Semua membuat penampilan Ayahnya kelihatan lebih muda dan pantas.
“Lupakan kejadian di kamar kamu itu,” kata ayahnya. Seperti kalimat itu adalah peringatan untuk anak kecil agar tidak main ke luar rumah. “Kalau kamu memaksa untuk tetap kamu ingat, dampaknya bisa lebih besar.”
Alis Danielle mengkerut. Ia sudah berencana untuk menyanggah kalau ia tidak ingat sedang berada di mana dan menjalani acara apa. Helaan napas menjadi pengganti sumpah serapahnya sekarang.
“Tidak semudah yang Ayah katakan,” bisiknya. “Itu pembunuhan pertama yang aku lakukan.”
“Selanjutnya kamu bakal biasa melakukannya.”
“Maksudnya?”
“Kamu bakal tahu, nanti.”
Manik mata Danielle bergerak-gerak gusar. Ayahnya justru seperti punya mahsud tertentu. Entah untuk mengirim Danielle ke medan tempur, membuatnya jadi pembunuh bayaran, atau mengemban misi bahaya lain. Sekuat tenaga ia halau hasrat untuk menyanggah atau mengeluarkan kalimat tidak penting. Itu bakal menghambat dirinya sendiri nanti.
“Ayah,” tergurnya.
“Ada apa? Apa masih ada bercak darah di kamar atau sesuatu membuat kamu tidak nyaman sekarang?”
“Bukan.”
Danielle menundukkan wajah. “Maaf,” ujarnya. “Maafkan aku, sungguh.”
Beberapa detik Ayahnya tidak kunjung menanggapi. Jemari Danielle mulai bergerak tidak nyaman, menekan satu sama lain. Saling bertaut dan semakin erat.
“Maafkan aku. Aku sudah melakukan hal yang sangat tabu dan membikin malu klan Stephenson. Walaupun tidak sengaja, aku tetap harus meminta maaf,” katanya lirih. “Aku mohon, maafkan aku.”
Tidak ada jawaban tapi Danielle dibawa ke dalam pelukan. Rengkuhan hangat yang seketika membuat batinnya tenang. Bukan ketentraman abadi, tapi cukup untuk mengusir semua pikiran buruk. Setidaknya untuk malam ini. Kedua matanya terpejam, menikmati kasih sayang Sang Ayah sampai ke lubuk hatinya terdalam.
“Ayah maafkan,” bisik Ayahnya. “Kamu harus tahu kalau Ayah sangat bangga dengan kamu karena sudah sampai sejauh ini.”
“Aku cuma membawa malapetaka.”
“Tidak ada yang bilang begitu.”
Rengkuhan lengan Alan semakin erat seakan tidak mau dilepas sampai kapanpun. “Ayah bangga punya anak seperti kamu. Memikul tanggung jawab besar dan sudah bertahan sampai sekarang.”
Danielle diam saja mendengarkan.
“Dengarkan Ayah, Danielle.” Bisikan Ayahnya semakin rendah. “Kamu bisa melewati semua ini. Takdir kamu memang tidak akan mulus tapi kamu bakal bertambah kuat. Ayah janji.”
Jemari Danielle yang berbalut sarung, menyapu air di ceruk matanya. Berusaha sebisa mungkin supaya tidak mengobrak-abrik riasannya sendiri.
“Aku tidak tahu, aku sanggup atau tidak,” jawab Danielle akhirnya.
“Sanggup.”
“Apa Ayah yakin?”
“Ayah bakal selalu ada di samping kamu.”
Senyum pelan-pelan tersungging di bibir Danielle. “Terimakasih,” ucapnya. “Terimakasih banyak.”
Bendera kebesaran Emrys ditarik ke atas. Posisinya berada di setiap sekat klan dan diletakkan di punggung tribun. Warna merah serta mahkota hitam di tengahnya kelihatan lebih gagah dari yang Danielle ingat.
Acara bakal dimulai sebentar lagi.
Empat Pangeran Athanasius naik ke panggung rendah dan duduk di kursi masing-masing. Dari kanan, Danielle bisa sebutkan namanya sampai kiri. Denes Athanasius, bermahkota api biru yang menyala terang mirip kompor. Dibalut jas serta celana putih. Warna merah klannya disematkan sebagai garis di sekitaran lengan dan emas di setiap kancing. Di samping kirinya duduklah Alceon, laki-laki yang bisa menjinakkan Cerberon. Berpakaian serba merah gelap dan kancing-kancing keemasan. Warna putih kelihatan setitik-setitik di tubuhnya, cuma berupa emblem dan pangkat di dada. Ia bermahkota sehitam arang dengan lidah api lebih panjang dari ketiga saudaranya. Nathanael Athanasius. Pemuda itu kelihatan jengah. Entah karena ia tidak suka tempatnya, suasananya, atau bahkan orang-orang di sekitar. Kulitnya lebi pucat dari yang lain. Dari tubuh sampai kaki, ia mengenakan warna mirip dengan Alceon. Mungkin karena mereka yang dikaruniai api hitam, jadi harus selaras. Baru kali ini Danielle melihat Nathanael dengan mahkota kebesarannya. Warnanya hitam keabu-abu an. Melayang pula di atas rambutnya yang disibakkan ke belakang. Terakhir adalah Abyss Athanasius, wajahnya lebih kalem dari Nathanael yang tidak mau diganggu meski ia juga belum pernah Danielle lihat bicara. Bermakota biru keunguan dengan setelan putih dan merah batu bata.
Danielle menengok ke sana-sini, mencari sosok paling penting yang harus hadir di tengah arena. Perempuan berkedudukan tinggi yang baru saja ditinggal mati suaminya, Mariana Olympia.
Bayangan wanita itu baru kelihatan ketika keluar dari salah satu pintu. Mungkin ia baru saja datang. Warna khas Olympia melekat apik pada parasnya. Kuning di gaun serta hijau pupus di sekitaran dada. Ia mengenakan sarung tangan dengan warna cokelat tanah. Lengkap sudah semua warna klannya.
Dari jarak yang cukup jauh, Danielle bahkan masih bisa lihat rupa Mariana yang ayu dan letih. Sebagai Ratu, ia pasti menanggung beban negara semenjak suaminya mangkat dari dunia. Surai perak di kulit putih susu nya juga kelihatan kering dan tidak sehat. Kentara sekali kalau Mariana tidak punya waktu bahkan untuk merawat diri.
Di ujung mata, ia bisa melihat Jessica yang berjalan ke arahnya. Gaun merah jambu yang melekat, membuat Jessica justru kelihatan seperti anak kecil. Ia membawa senyum hangat dan menunduk untuk memberi salam pada Danielle.
“My lady,” sapanya.
“Lady Jessica.”
“Apa semuanya baik-baik saja? Kamu kelihatan tidak baik.”
Lumayan.
Danielle jadi bertanya-tanya, apakah Jessica juga melihat takdirnya ketika ia tidak sengaja membawa maut ke salah satu orang Dafandra. Kalaupun memang iya, tidak ada alasan pula untuk dibahas. Semua percakapan tidak penting, bisa menjerumuskan Danielle. Lengannya ditekuk untuk bisa menangkap gandengan tangan jemari Jessica. Seiring mereka berjalan pelan-pelan, Danielle tidak sengaja bertemu dua perempuan yang ia lihat di taman. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menyaksikan mereka bersenda gurau.
Dua warna klan bergabung jadi satu dengan titik lebur kasat mata. Gaun merah dan perpaduan emas dikenakan oleh perempuan Athanasius. Di atas warna darah yang jadi penutup kaki, ditumpuk beberapa kain kaca berwarna emas. Kesannya memang kelihatan tenggelam, tapi membuat merahnya jadi berkilauan. Kerahnya rendah dan menampilkan tulang selangka serta kulit putih. Corak bebungaan juga dijahit di sekitaran pinggang serta lengan bagian atas. Seiring tangan anak perempuan Athanasius bergerak, kain kaca yang melingkar di perpotongan siku nya bergerak-gerak cantik. Lencana api diletakkan di tengah dada sebagai hiasan. Amanda Athanasius mengenakan mahkota pendek hasil mutasi dari apinya sendiri. Warnanya biru gelap yang mirip seperti batu safir. Melayang-layang di atas rambutnya yang disanggul seluruhnya.
Perempuan kedua menimbulkan warna kontras dari Amanda. Bergaun biru gelap dengan lapisan kain kaca warna abu-abu terang, hampir mendekati putih. Hiasan bebungaan seakan ditabur di atas roknya. Busananya punya lengan balon yang terbuat dari kain kaca pula. Fiolita Dafandra. Berkalung lencana angin dan petir. Kendati rambutnya cuma sampai melewati bahu, tidak seluruhnya dibuat konde. Setengahnya ditarik ke atas dan membentuk simpul menyerupai mahkota, sedang sisanya dibiarkan jatuh.
Warna yang dibawa Fiolita membuat Danielle mengingat dosanya kembali. Orang dari klan serupa sudah dibuat hilang nyawa olehnya. Danielle bahkan tidak mau memikirkan bagaimana nanti kalau sampai pemimpin Dafandra tahu akan kecelakaan itu. Danielle menyebutnya kecelakaan untuk menghalau rasa bersalah yang memenuhi hatinya sampai sekarang. Rasanya bakal baik-baik saja kalau ia tidak datang ke Southares, tidak menjadi anak perempuan tertinggi Stephenson, tidak dilahirkan ibunya. Akan baik-baik saja kalau ia tidak ada di dunia ini.
“Lady Danielle. Jangan terlalu sering menyalahkan diri kamu sendiri.”
Jessica berbicara sambil melihat-lihat sekitar. Entah ia memang penasaran atau menghalau orang lain supaya tidak curi dengar.
“Kamu bicara seolah-olah sudah mengenal aku lama,” jawab Danielle. Sepertinya sudah tidak ada kedok yang harus ditutupi ketika bicara dengan Jessica. Perempuan itu punya julukan Serba Tahu, jadi tidak ada artinya berpura-pura. Ia niscaya tahu semuanya.
“Mungkin aku memang tidak mengenal kamu lama.” Senyum disunggingkan oleh Jessica ketika beberapa kali berpapasan dengan orang lain. “Tapi aku bisa beri tahu semua rahasia yang kamu tutupi, Danielle.”
“Bukannya itu tidak sopan? Membaca pikiran orang tanpa ijin.”
“Apa ada orang yang bilang, kalau aku bisa membaca pikiran?”
Danielle tidak bisa menjawab. Memang tidak ada yang bilang, tapi pikirannya berasumsi demikian. Semua seolah mengabur jadi satu.
“Aku tidak bisa membaca pikiran, lho,” jawab Jessica. “Aku cuma tahu takdir manusia. Tidak ada yang lain.”
“Itu bahkan lebih dari cukup.”
“Lady Danielle.”
“Aku tidak membutuhkan orang untuk menggurui aku terhadap diriku sendiri, Jessica. Semua ketakutanku, keberhasilan yang aku capai, kegagalan, itu semua aku tahu.”
Danielle hampir-hampir mendesis di akhir kalimat. Ia tidak suka disanggah dan digurui sesuatu yang ia sudah tahu. Jessica jadi seperti membuatnya belajar akan wajahnya sendiri di depan cermin. Ia paham semua detail soal hidupnya sendiri. Kalaupun memang Jessica bisa memahami takdir semua orang, Danielle tidak peduli. Ia bakal hidup dengan caranya sendiri dan mengejutkan Jessica dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terkira. Seperti ketika ia memutuskan untuk menjanjikan Aindita di ruang perawatan. Memberinya iming-iming kebebasan yang Danielle sendiri bahkan ragu mendapatkan.
“Maafkan aku karena sudah terkesan menggurui.” Jessica merunduk sedikit. “Aku kira, kamu mudah dipancing. Banyak orang yang memanfaatkan kekuatanku untuk bertanya ini dan itu.”
“Aku bukan kebanyakan orang.”
“Memang. Terpampang jelas sekali.”
Pandangan Danielle kini tertuju pada perempuan Calypso yang sudah kelihatan lebih bugar dari terakhir mereka mengobrol. Aindita dibalut gaun panjang mustard. Kain kaca berlapis-lapis di balik roknya. Dengan lengan terbuka yang punya kain kaca membalon sampai menutupi semua lengan, ia mirip seperti Puteri yang keluar dari negeri dongeng. Lambang tanah dan air digelangkan di pergelangan tangan Aindita. Kulit kecokelatannya bekilau di bawah sinar lampu menggantung, bak emas yang baru saja ditempa. Helai surainya tipis-tipis jatuh ke pundak.
Jemari Danielle mengusap lencana api dan tanah di tengah dadanya. Seakan lambang itu punya makna lebih dalam dari seharusnya. Bayangannya menerka-nerka, apa Aindita juga merasakan hal yang sama dengan dirinya saat ini. Berlencana klan kelahiran tapi membawa darah terkutuk di dalam badan.
Danielle berhenti di tempat, menyebabkan Jessica menoleh padanya dan berdiri di sampingnya kemudian. Ia merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu bakal datang di tengah-tengah mereka.
“Apa yang kamu takutkan, Danielle?”
“Semuanya.”
Kalimat itu meluncur tanpa rem sedikitpun. Seakan otaknya memang digunakan untuk bicara apa adanya.
“Mereka tidak akan mendekat ke kamu, percaya padaku,” bisik Jessica. Manik mata sewarna badai itu memperhatikan dua sentinel penjaga di samping pintu sebelah timur. Berseragam zirah lengkap dengan pedang bersarung di pinggang. Lempengan besi yang digunakan untuk menutup seluruh tubuh keduanya, memantulkan bayangan Danielle serta Jessica. Was-was akan sesuatu.
Dua sentinel dari klan yang sama, Olympia. Berjalan melewati kerumunan Athanasius dan Dafandra, menuju Calypso.
Tidak, jangan.