The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #7

Tragedi 6

Ternyata dibalut kostum ketat sama seperti yang pernah Danielle lihat di dalam laboratorium istana Janji Hitam, sangat tidak nyaman. Warnanya putih tidak bercela dengan atasan panjang sampai ke lutut, menyerupai rok. Danielle masih mengenakan celana panjang pula dan sepatu boots yang sama-sama putih. Ia merasa otomatis berkamuflase jadi orang Athanasius dalam waktu satu hari.

Di dalam ruangan putih yang punya ukuran sekitar lima kali lima meter, Danielle merasa begitu kecil. Tempat ini benar-benar mengingatkannya dengan dua orang berdarah Kronos. Saling bunuh tanpa ia tahu apa pula penyebabnya. Ruangan ini tidak berkaca, cukup ventilasi udara kecil-kecil di setiap sisi dinding. Satu pintu ada hampir di sudut ruangan. Lampu di atas Danielle menyala redup meski berwarna putih.

“Kamu kelihatan tidak asing dengan ruangan ini.”

Adolf yang dicertiakan Alceon adalah seorang pria paruh baya. Mungkin usianya hampir sama dengan Ayah Danielle. Sekitar empat puluh sampai lima puluh tahunan. Rambutnya dipangkas pendek dan disibakkan ke belakang dengan potongan jenggot rapi di dagu. Laki-laki itu juga mengenakan pakian ketat putih tapi punya atasan pendek sebatas pinggang.

“Aku pernah mampir ke ruang laboratorium di bawah tanah,” ujar Danielle jujur.

“Ruangan untuk berlatih memang punya nuansa seperti ini.”

Berlatih sepertinya bukan kata yang tepat untuk klan Kronos di dalam istana. Mereka kelihatan bukan dilatih untuk mengendalikan kekuatan, tapi justru saling menghancurkan demi memenuhi kebutuhan penelitian.

“Apa aku bakal dihajar habis-habisan di sini?”

“Dari mana pula kamu dapat asumsi seperti itu?” Adolf menahan tawa. “Sebelumnya, perkenankan saya memperkenalkan diri.”

“Adolf dari klan Leander. Klan Leander tinggal di Pegunungan Maget, dekat dengan daerah kependudukan klan Arquemedes,” sahut Danielle. Kedengaran tidak sopan karena memutus pembicaraan, tapi ia sudah gemas. Ingin buru-buru bisa mengendalikan kemampuannya sendiri.

Bingo. Kamu ternyata tahu banyak tentang kaum penyembuh.”

“Lumayan. Karena diajarkan juga di sekolah,” jawab Danielle. “Apa Alceon tidak ikut kemari?”

“Dia pasti menyusul. Sekarang kamu berlatih cuma dengan aku saja, Tuan Puteri.”

Mendengar julukan itu dari orang lain rasanya masih aneh. Danielle biasa digoda Jackson dengan sebutan yang sama. Tapi ia tahu kalau kakak laki-laki nya cuma sekadar bercanda, tidak serius sama sekali. Kini ia mengemban tittle yang bukan gurauan. Membayangkan saja Danielle tidak pernah, tapi sekarang justru kejadian.

“Panggil aku Lady Danielle. Maaf sebelumnya, tapi aku sedikit tidak nyaman dengan sebutan itu.”

“Maaf juga, kalau begitu, lady.”

Anggukan pasrah dilakukan Danielle sebagai jawaban.

“Aku bekerja sama dengan orang-orang di dalam laboratorium untuk bisa tahu penyebab orang berdarah Kronos bisa memunculkan kekuatan mereka tanpa sengaja. Apa kamu merasakan hal itu juga?”

“Kurang lebih. Sensasinya cuma panik saja. Tahu-tahu, aku sudah menyerang orang.”

“Kalau begitu, kamu harus melatih diri supaya tidak pandai dikendalikan badan tanpa persetujuan pikiran.”

“Iya.”

Adolf mondar-mandir di hadapan Danielle. Laki-laki itu mungkin berpikir atau sekadar membuat gestur supaya Danielle bisa terus memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan. Kedua tangannya berpaut di balik badan sambil melihat ke lantai, mungkin memandangi langkah kakinya sendiri.

“Apa kamu sudah pernah melatih kemampuan kamu sebelumnya?”

“Belum sama sekali.”

“Kalau begitu, harus mulai dari dasar,” kata Adolf. Sekarang ia sudah berhenti di tempat. “Pelatihan napas. Sepertinya aku bakal butuh orang lain untuk mengawasi kamu.”

“Kalau boleh tahu, apa yang bakal kamu lakukan untuk bisa membuat aku tidak panik?”

“Mengompori kamu.”

Danielle mengerutkan alis, tidak terima. “Harus begitu?”

“Besi harus ditempa berkali-kali supaya bisa jadi pedang. Sama prinsipnya dengan kekuatan kamu. Kalau kamu cuma membawanya kemana-mana tanpa bisa mengendalikan, kamu bisa menyakiti banyak orang.”

Perkataan Alceon terngiang-ngiang di dalam pikiran Danielle sekarang. Memang tidak mungkin juga ia menyerang orang dengan dalih karena panik dan tidak terima. Tidak semua orang layak untuk disakiti pula cuma karena ia lara hati pada perilaku atau perkataan orang lain.

Aku bakal cari cara lain untuk bisa balas tanpa bersikap gegabah.

“Setelah kamu bisa mengendalikan pikiran kamu supaya fokus, baru kita bisa berlatih fisik.”

Danielle setuju-setuju saja. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Terlebih ia juga bakal merasakan manfaat dari latihan ini. Pengendalian penuh terhadap kekuatannya supaya tidak dikendalikan badannya sendiri. Seluruh klan berdarah Krono juga pasti membutuhkan ini.

“Mari kita bicara soal keluarga kamu.”

Meski menegang sebentar, Danielle menyahuti, “Tentu.”

“Klan Stephenson. Kamu berapa bersaudara?”

“Dua.”

“Punya adik atau kakak?”

“Kakak laki-laki.”

“Bagaimana kabarnya sekarang? Sehat?”

Danielle cuma mengangguk, mengiyakan. Sebenarnya, basa-basi bukan kesenangannya. Cukup tanyakan apa yang ingin ditanyakan, supaya Danielle bisa tenang lagi dan memutuskan. Tapi Danielle harus kuat-kuat batin supaya bisa ke tahap berikutnya.

“Apa dia tahu kalau kamu disini berdarah terkutuk?”

Pembicaraannya dengan Jackson di malam-malam sebelumnya kini membumbung ke langit pikiran. Danielle pernah menyinggung soal ia yang jangan sampai berdarah Kronos. Kalau sampai kejadian, Jackson lah yang bersalah. Entah laki-laki itu merasa dihantui rasa tanggung jawab karena sudah mendoakan adik perempuannya atau malah merasa tenang-tenang saja.

“Aku belum bicara dengan dia,” jawab Danielle.

“Rachel Stephenson.”

Beberapa detik Danielle bergeming bersamaan dengan otaknyaa yang tiba-tiba hilang fokus. Seperti baru dicubit sebentar. Nama ibunya masih membawa pengaruh besar pada kehidupannya sekarang. Dan ini merupakan materi Adolf yang bakal mempengaruhinya juga di masa depan. Tujuan baik atau buruk, Danielle belum bisa pastikan.

“Kamu pasti kenal dengan nama itu, kan?”

“Itu nama Ibuku.”

“Benar. Istri tersayang dari Alan Stephenson,” ujar Adolf sambil berjalan mengitari tubuh Danielle di tengah ruangan. “Tapi bagaimana, ya, kalau ternyata bukan ibu kamu satu-satunya yang jadi orang tersayang di kehidupan Alan?”

Danielle sekuat tenaga menoleh pada Adolf yang sekarang berada di samping kirinya. “Maksudnya?”

“Tidak ada maksud. Aku cuma berandai-andai.”

Tidak. Pasti ada kebenaran tersembunyi disana. Sepanjang ibunya hidup, Danielle tidak pernah melihat Ayahnya dekat dengan perempuan lain. Bahkan sepeninggal Rachel sekalipun. Alan mendedikasikan dirinya sendiri pada keluarga kecilnya. Danielle yakin kalau Ayahnya adalah orang yang bisa dipercaya.

Setidaknya sampai beberapa detik yang lalu.

“Katakan, paman Adolf.”

“Apa yang ingin kamu dengar?”

“Kebenaran.”

“Sebegitu pentingkah kebenaran itu buat kamu?”

Jemari Danielle sudah menancap ke telapak tangan saking eratnya ia mengganggam udara. Pikirannya melayang-layang pada semua kemungkinan, pada apapun yang sudah dilakukan semua orang padanya. Semua jadi terasa semu. Tidak ada yang melakukan sesuatu atas dasar kasih sayang, semua berdasarkan tanggung jawab semata. Semua rasa mengabur jadi satu sekarang.

Dan itu bisa membuktikan perkataan Adolf barusan.

Kalau Ayahnya ternyata bukan menabur kasih melainkan merasa bertanggung jawab atas apa yang sudah ia ciptakan. Tidak ada sarapan penuh cinta di pagi hari atau sapaan selamat malam pengantar tidur.

Semua terasa semakin pura-pura.

“Apa Rachel meninggal karena sakit?”

“Gagal jantung,” jawab Danielle berat sekali di lidah. Ia jadi heran mengapa pula harus mengungkit ibunya yang sudah tidak ada. Rachel tidak ada kaitannya dengan mengasah kekuatan terkutuk Danielle sekarang.

“Kenapa kamu seperti tidak suka membicarakan ibumu sendiri? Sebegitukah kamu membencinya?”

Danielle menghembuskan napas untuk menghalau jantungnya berpacu tidak stabil. Pikirannya hampir tenggelam karena termakan perkataan Adolf yang terdengar meyakinkan. Sekuat tenaga ia menepis semua kemungkinan tiba-tiba di dalam otak. Manik mata Danielle mengikuti pergerakan Adolf yang mulai berjalan lagi. Memandangi lengan laki-laki paruh baya itu.

Semua kemungkinan terbuka tapi aku tidak boleh dimakan oleh kemungkinan yang ada.

Manik mata hazel Danielle menarawang ke sepatu boots putihnya sendiri. “Tidak. Bukan seperti itu,” katanya. “Masih berat saja.”

“Aku bisa merasakan kekuatan kamu mengincar lenganku.”

Danielle tidak mau menjawab.

“Topik-topik seperti itu bisa membuat kamu jatuh ke lubangmu sendiri, Danielle,” ujar Adolf tanpa berhenti. “Caranya memang cuma satu, berdamai dengan masa lalu.”

“Satu-satunya yang tidak bisa aku lakukan adalah itu.”

“Lalu jangan jadikan itu sebagai titik buta.”

Adolf mendekat pada tubuh Danielle dan memandanginya tepat di mata. Laki-laki Leander ini punya manik mata hitam legam. Hampir-hampir Danielle bisa lihat api Athanasius di mata Adolf. Warnanya yang netral, membuat seisi ruangan memantul disana, termasuk Danielle pula.

“Jadikan diri kamu kebal, sekebal-kebalnya. Tamengi ibu kamu supaya dia tidak tersakiti. Tapi bukan dengan kekerasan,” katanya. “Kamu cukup harus diam dan biarkan ocehan orang lain melintas.”

“Aku tidak pernah berniat menyerang seseorang, paman.”

“Tapi buktinya, kamu melakukan itu.”

“Karena aku tidak sengaja.”

Karena kamu tidak bisa mengendalikan kekuatan kamu.”

Danielle bungkam sekarang. Entah bagaimana, ia justru merasa semakin dipojokkan dan disalahkan atas ketidak mampuannya mengendalikan kekuatan dan situasi. Kalau saja ia bisa tidak mudah memikirkan perkataan orang, kalau saja Danielle Stephenson bisa bersikap tidak acuh pada setiap kalimat yang dilontarkan orang lain padanya.

Semua mungkin bakal lebih mudah.

“Dan kamu harus berhenti menyalahkan diri kamu sendiri,” bisik Adolf. “Hiduplah di masa sekarang, Lady Danielle.”

“Apa aku tidak kelihatan hidup di depan kamu, sekarang?”

“Setengah, ya. Setengahnya lagi tidak.”

Kalau memang benar ia semati itu di mata seorang penyembuh, mungkin sekarang sudah saatnya untuk berbenah diri.

“Klan berdarah Kronos tidak mempan terkena bunga sedap malam.”

“Benar.”

“Tapi kalian bisa sedikit ditenangkan dengan itu. Meski tidak langsung, tapi aku sudah siapkan beberapa tangkai supaya kamu bisa lebih rileks.”

“Maaf terlambat!” Sahut Alceon dari balik pintu. Ia kelihatan seperti baru lari keliling lapangan sepuluh kali dengan keringat mengucur di pelipis. Meski sudah berbusana serba putih yang mirip dengan kepunyaan Adolf, pemuda itu masih kentara belum siap.

“Yang Mulia.”

Adolf membungkuk sebentar sebagai penghormatan dan disusul oleh Danielle setelahnya.

“Sudah aku bilang, tidak perlu seperti itu.” Kedua tangan Alceon mengibas-ngibas di udara kosong. Danielle duga, keringat juga membasahi bagian telapak tangannya dan sekarang ia berusaha untuk mengeringkan. Ternyata Athanasius pembakar juga takut kebasahan.

“Karena sudah ada Pangeran Alceon disini, mungkin aku bisa mengawasi kamu Danielle. Silakan bermain dengan Putera Mahkota Emrys,” tutur Adolf sambil menepi ke dekat tembok.

“Tunggu, tunggu. Kamu mau aku berhadapan dengan dia, begitu?”

“Iya, Yang Mulia. Supaya aku bisa mengevaluasi.”

Lihat selengkapnya