The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #8

Tragedi 7

Sebagai orang yang disiapkan untuk duduk di kursi takhta Emrys dan bersanding dengan Putera Mahkota nya, Alceon diberi ijin untuk bisa menemui Danielle di jam-jam tertentu. Seperti sekarang di pukul tiga sore.

Laki-laki itu ada di pojok ruangan sambil melihat ke luar jendela. Entah apa yang ada di dalam otaknya. Mungkin siasat perang atau justru bagaimana cara supaya ia tidak jadi menikah dengan Danielle. Yang terakhir sepertinya cuma perasaan Danielle saja.

Disini sekarang, Danielle ditemani dengan tumpukan gaun dan baju tidur di atas kasur. Ia harus memilah semuanya baik-baik. Supaya tidak mubazir alias membawa tapi tidak dipakai. Dari pojok kanan sampai ke kiri, cuma ada tiga warna utama; hijau botol, hitam, dan perak. Danielle kadang hanya bisa pakai warna hijau botol karena manganggap kalau perak terlalu heboh, sedangkan hitam justru melambangkan kedukaan. Merepotkan, kadang.

Lengan kanan nya menggapai satu gaun lagi yang lebih jauh dan gapaian. Menyebabkan tubuhnya terjatuh di atas kasur dengan posisi tengkurap. Beruntungnya Danielle tidak jatuh di posisi memalukan. Kalau sampai terjadi, Alceon bakal punya bahan untuk mengolok-ngolok dirinya di dalam kamarnya sendiri.

“Berberes sendiri saja tidak bisa, mau jadi Ratu,” ujar Alceon tanpa menoleh dari jendela kamar. Mungkin ia bisa dengar suara derik kasur Danielle yang nyaring akibat benturan badan anak Stephenson dengan ranjang.

“Diam atau aku hancurkan lehermu.”

Setengah merangkak untuk bisa menggapai gaun yang diinginkan, Danielle menggapai gaun terakhir dan melipatnya serapi mungkin. Meletakkannya di dalam tas kotak supaya bisa segera diangkut ke kereta. Toh, bukan ia yang membawanya. Jadi sebisa mungkin, Danielle harus membuat kopernya serapi mungkin.

“Kenapa kamu galak sekali dengan aku?” Tanya Alceon. Dari nadanya, tersirat sebuah ketidak-terimaan.

“Karena memang pantas.”

Danielle bisa dengar langkah kaki Alceon yang mendekat padanya. Mula-mula cepat, sekarang berhenti tepat di hadapan Danielle sambil merunduk. Membuat tubuhnya bertumpu ke dua lengan dan langsung bertemu pandang dengan manik mata hazel nya. Dilihat dari dekat, serat-serat mata Alceon sepadan dengan laut yang beriak. Selama beberapa detik, Danielle membiarkan dirinya sendiri tenggelam.

“Kamu bakal jadi istriku beberapa bulan lagi.”

Hembusan napas jadi jawaban pertama yang dilontarkan Danielle. “Tidak ada yang bilang begitu,” katanya. “Aku diutus jadi Ratu, bukan jadi istrimu, Yang Mulia. Maaf menghancurkan imajinasimu.”

“Aku Putera Mahkota nya, jadi kamu bakal naik sebagai Ratu dan menjadi istriku.”

“Apapun supaya kamu tidur nyenyak malam nanti.”

Kali ini Danielle sengaja tidak ambil pusing. Tidak ada gunanya memperdebatkan sesuatu yang tidak berbobot. Hasilnya tidak bisa menambah ilmu di arsip-arsip otak Danielle yang kadang haus pengetahuan.

“Stephenson bagaimana?” Tanya Alceon.

Danielle sempat hendak menghela napas lega karena Alceon berbaik hati mengganti topik pembicaraan menjadi lebih realistis. Bisa dijawab dengan logis tanpa membuat otot di pelipisnya menegang. “Kabar terakhir dari Ayah, Jackson bakal dilantik jadi pemimpin Stephenson yang baru setelah aku resmi dijadikan Ratu. Aku dengar, dia juga dijadikan Tangan Kanan mu, nanti,” jawab Danielle.

“Menggantikan posisi Ayahmu, berarti?”

“Mungkin begitu. Aku tidak tahu bagaimana jelasnya. Kan, kamu bakal Rajanya. Aku kira, kamu sudah tahu soal detail-detail seperti itu.”

Alceon bersandar di dinding, dekat dengan meja rias yang biasa Danielle gunakan untuk bersolek. Kedua lengannya bersedekap di dada sambil melihat lantai keramik di bawah. Mungkin sedang memikirkan sesuatu. Putera Mahkota yang malang. Pasti jarang sekali istirahat mengingat besarnya kantong mata di wajah.

“Aku mau bilang sesuatu, tapi maksudku nanti, bukan untuk membuat kamu merasa tidak enak.” Tubuh Alceon menegang sebentar. Mempersiapkan diri untuk mengungkapkan kebenaran.

“Bilang saja, sih.” Danielle tidak acuh. “Kamu orang dengan kedudukan tertinggi, tidak perlu sungkan.”

Setelah menghempas napas pelan, Alceon kembali bicara. “Tangan Kanan Raja baru harusnya dipilih oleh Raja itu sendiri,” katanya. “Aku jadi merasa ada yang tidak beres.”

“Kalau boleh aku beri saran, sebaiknya kamu jangan terlalu banyak pikiran. Mungkin saja Ratu Mariana sedang membantu kamu, kan.”

Alceon memandangi Danielle dari ceruk mata, seakan sedang marah atau menunggu lawan bicara untuk segera didebat.  Kedua alisnya hampir bersinggungan satu sama lain saking dalamnya mereka mengerut. “Kamu tidak merasakannya karena tidak pernah ada di susunannya.”

“Sebentar,” pinta Danielle. “Aku tidak akan kamu hukum, kan, kalau semisal bicara dengan kamu seperti teman?”

“Kenapa jadi kamu yang justru seperti banyak pikiran?”

“Habisnya, aku gemas juga, lama-lama.”

“Mau bicara apa, memang?”

Hati-hati, Danielle menegapkan badan di atas kasur. Meski memang karena bantuan korset di bagian perut, ia masih harus membusungkan dada. Danielle bakal mengutarakan pendapatnya dengan bebas, mulai sekarang. Ini sesuatu yang baik dan buruk di waktu yang sama. Kalau ia menyia-nyiakan kesempatan, efeknya tidak bisa dibaca.

“Begini,” katanya. “Apa kamu merasa ini sebuah perkembangan? Aku adalah salah satu orang yang kalau ketahuan berdarah Kronos, bakal dipenjarakan.”

“Koreksi, mereka diteliti.”

Terserah apa kata kamu, deh.” Danielle menghela napas panjang. Menahan diri untuk tidak jengah. “Kalau menelaah ke belakang, orang yang berdarah seperti aku bakal dikekang. Tapi lihat, sekarang. Aku justru disini dan jadi calon istrimu merangkap calon Ratu.”

“Kamu memang tidak tahu, Lady Danielle.” Alceon menyanggah sembari berjalan menyeberangi ruangan untuk bisa berdiri di hadapan Danielle. “Ini bukan soal Emrys yang semakin membaik. Ini soal tatanan istana. Semakin hari, semakin aneh.”

“Iya. Aku memang tidak tahu.” Kedua bahu Danielle mengendik. “Kalau kamu mau mengeluhkan itu, baiknya bertanya langsung ke Ratu Mariana,” ujarnya sambil mendongak dan bertemu pandang dengan Putera Mahkota Emrys. “Sepertinya beliau punya gambaran masa depan untuk menyatukan Emrys lagi. Menghentikan terror berkepanjangan dan demo-demo tidak penting itu.”

“Tumben kamu menjawab dengan rasional.”

“Terimakasih untuk itu.” Badan Danielle bangkit sambil bersusah payah menyeret koper supaya dekat dengan pintu. “Aku menghitungnya sebagai pujian,” katanya. “Aku beritahu, ya, Yang Mulia. Berdirinya aku di kursi takhta, juga bukan semata-mata langsung mengubah tatanan Emrys.”

“Bukan itu juga maksudku.”

“Lalu?”

“Ada sesuatu yang berubah di Janji Hitam,” kata Alceon. Pandangan matanya menerawang jauh dari cuma sekadar melihat lantai marmer. “Kamu bakal tahu, nanti.”

“Apapun itu, semoga menuju ke sesuatu yang lebih baik lagi.”

“Sekarang, aku setuju.”

Kedua tangan Danielle mengibas-ngibas bagian gaunnya. Takut-takut kalau ada debu tidak terlihat yang mampir. Sisa serpihan benang dari kain juga kadang bisa membuatnya bersin. Jadi harus dibersihkan sebelum alerginya meradang.

Ia kemudian mendongak. “Oh, iya. Siapa saja yang bakal ikut perjalanan?”

“Aku mengajak Adolf. Kita bisa berlatih kalau ada dia.”

“Baiklah, kalau begitu.”

“Kabar temanmu bagaimana?”

Danielle setengah mengernyit. “Teman yang mana?”

“Yang di dalam ruang isolasi?”

“Oh, yang itu.” Sekilas, batinnya terasa lebih enteng ketika mengingat keadaan Aindita yang kelihatan baik-baik saja. “Aku meninggalkan satu lembar surat.”

Telunjuk Alceon mengendurkan kancing kerang di sekitar lehernya. Sudah dari tadi kelihatan seperti orang tercekik dan Danielle ikut menghela napas lega melihatnya. “Cuma surat? Kamu tidak pernah punya teman atau bagaimana?”

“Memang tidak,” jawab Danielle sengaja supaya Alceon lega saja mengolok-ngolok. Nyatanya memang benar, ia bahkan tidak punya kawan. “Yang aku tinggalkan bukan surat biasa.”

“Lalu?”

“Jangan banyak tanya, Yang Mulia.”

Alceon mengangguk pasrah dan meninggalkan ruangan.

Berdiri di antara ratusan orang dengan keadaan baru, membuat Danielle lebih ketar-ketir. Kalau sampai ia salah bicara, habis sudah. Membawa nama Stephenson dan kebanggaan Emrys di pundaknya, bukan perkara mudah. Ini belum pernah Danielle lakukan seumur hidup.

Pilar penyangga panggung terdiri dari empat gagang besi. Menyangga kain di atas supaya awak yang sedang menyampaikan pidato, tidak langsung terkena teriknya matahari siang. Warna-warna merah dan emas masih jadi ciri khas Athanasius juga Emerys. Seperti mengesampingnya putih bersih supaya tidak gampang kotor.

Lantai beton sengaja dibangun di tengah lapangan hijau. Tempat ini memang disediakan untuk keperluan orang-orang menyuarakan aspirasi. Beberapa mungkin adalah pimpinan klan kalau wangsa nya sudah habis. Meski jarang terjadi.

Di bawah kaki Danielle, ia menginjak karpet hitam legam. Hampir-hampir bisa membuat warna Stephenson tenggelam kalau ia tidak berinisiatif mengenakan gaun dengan warna mencolok, perak. Dari pundak sampai hampir menyentuh garis dada, terbuka. Dengan lencana api dan tanah yang dikalungkan, serta sarung tangan, Danielle kelihatan seperti orang ningrat sungguhan. Surainya dibiarkan jatuh setengahnya dengan sanggul mawar di atas kepala.

Putera Mahkota Athanasius berdiri di samping kanan Danielle meski tubuhnya sedikit lebih condong ke belakang. Berbalut setelan putih dengan beberapa lambang emas yang digantung di saku dada. Melihat Alceon rapi dengan mahkota sekelam malam di atas kepalanya, membuat Danielle jadi ikut merasa formal.

“Fokus, Yang Mulia,” bisik Alceon pakai nada main-main. Bahkan di saat-saat begini, pemuda itu masih bisa bercanda.

Ini bukan bahan lawakan, pikir Danielle.

Setelah matanya bertemu kembali dengan ratusan orang yang mendongak, melihatnya jadi pusat, Danielle menarik napas dalam. Mengumpulkan keberanian terakhirnya supaya bisa melontarkan paragraf penutup dari pidato.

“Sekian yang bisa saya sampaikan. Atas perhatiannya, terimakasih.”

Akhirnya.

Lipatan kertas di dalam genggaman, ia remas-remas. Tidak peduli nanti bakal jadi seperti apa. Selama Danielle bisa menekan diri untuk tidak khawatir soal tatapan orang-orang dan menekan serangan panik, ia bakal baik-baik saja.

“Misi apa yang anda bawa untuk masa depan Emrys?”

Salah satu warna di kerumunan, bertanya. Pasti sudah sengaja disediakan pengeras suara untuk bisa membuat masyarakat ikut andil di bidang ini. Memberi mereka kesempatan untuk mengungkapkan pendapat adalah satu dari sekian banyak cara membuat mereka merasa tenang dan nyaman hidup di Emrys.

Suara pertama berasal dari seorang laki-laki yang kelihatan cukup muda. Berparas rupawan dengan kulit kecokelatan. Rambutnya dipangkas pendek dan ia membawa warna mustard klan Calypso.

“Membawa perdamaian.”

Danielle tahu, itu merupakan jawaban paling sederhana dan sangat tidak masuk akal. Untuk bisa membawa ketentraman di Emrys, dibutuhkan banyak tenaga besar. Bukan cuma omongan seorang perempuan dua puluh tahun yang baru mengecap takhta.

“Saya rasa, anda juga mengerti mengapa saya menjawab demikian,” tambah Danielle. “Melihat beberapa kejadian akhir-akhir ini, pasti membuat banyak orang tidak nyaman. Saya adalah satu dari sekian banyak orang berdarah Kronos, tapi justru berdiri disini, di antara orang sipil dan kawan-kawan yang terasingkan.”

Lihat selengkapnya