The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #9

Tragedi 8

“Mulai sekarang, kamu bakal berlatih sendirian dengan aku, Lady Danielle,” ujar Aldolf.

“Karena ada di tempat terbuka, sepertinya aku tidak perlu khawatir menyakiti orang atau bahkan kamu, paman."

Manik mata Danielle melihat sekeliling. Lapangan luas di sambil aliran sungai kecil pecahan dari Sungai Styx. Warna hijau rerumputan dan pohon pinus di sisi kanan, membuat Danielle merasa lebih baik. Suara gemericik air juga menambah aroma lain yang mampir di penciuman. Sepanjang mata memandang, Danielle cuma lihat satu pohon beringin di dekat sungai. Lainnya justru diisi oleh rumput tinggi atau bebungaan liar.

Bangunan tenda berdiri sekitar seratus meter dari sini. Masih membumbung pula asap dari api unggun. Melewati udara dan tidak sengaja membawa aromanya sampai ke Danielle. Membuat langit sore di atas jadi sedikit lebih gelap.

Sang paman Leander berdiri dekat dengan pohon utama. Membawa warna abu-abu klan dan sebilang pedang bersarung. Gagangnya terbuat dari batu keramik berserat putih. Warnanya tidak mencolok dan tidak ada aksesori lain di sekitaran sarung.

“Tarik napas, Lady,” ujarnya.

Sebagai reaksi awal, Danielle memejamkan kedua matanya. Mulai menstabilkan napasnya sendiri meski masih ada di posisi berdiri formal. Wangi segar parfum dari tubuh Adolf, berputar di sekitaran Danielle. Laki-laki itu sepertinya sedang berjalan. Langkah kakinya yang menggesek rumput, sedikit membuat Danielle tidak nyaman.

“Akhir-akhir ini, sepertinya kamu tidak terlalu banyak pikiran, ya.” Adolf menambahkan.

“Iya.” Danielle menjawab sekenanya. “Aku terlalu sibuk memikirkan hal lain.”

Aura yang ditimbulkan dari tubuh Adolf, bisa Danielle rasakan, berhenti tepat di balik badannya. Kedua tangannya saling menggosok, takut kalau Adolf bakal menyerangnya tiba-tiba.

Danielle mengambil inisiatif untuk melangkahkan kaki kanan ke depan. Membuat semi kuda-kuda kalau ia memang terpaksa harus melompat. Ketika punngungnya ditepuk keras, ia terhuyung ke depan dan berpangku pada kedua tangan. Ini serangan yang tidak mengejutkan karena Danielle sudah memperkirakan. Ia menoleh dan mendapati Adolf yang berpangku tangan di balik badan.

Telapak Danielle mengusap-usap bagian perut yang terasa sakit. Mencoba menelan ludahnya sendiri untuk menghalau rasa tidak nyaman. Ia seperti orang masuk angin yang hendak muntah. Melilit sampai akhirnya Danielle menyerah. Mengeluarkan isi perutnya dan mengotori rerumputan. Sisa makanan yang sudah membayang bakal jadi seperti apa, menghilang ketika pandangannya bertemu dengan cipratan darah segar.

“Kamu memang tidak panik, tapi kamu masih khawatir,” komentar Adolf. “Tenang saja. Aku tidak membuat luka serius. Cuma supaya kamu lebih rileks saja.”

“Kenapa aku memuntahkan darah?” Tanya Danielle. Ia masih memandangi noda di atas rumput yang tidak beraturan.

“Karena aku menekan kekuatan kamu. Kalau kamu bukan darah Kronos, kamu tidak akan muntah. Elemen bawaan Stephenson bisa tidak sengaja membakar badan atau justru membuat magma di bawah kaki kita ini, kaluar dari mana saja.”

Kalau aku bukan darah Kronos. Sudah beberapa bulan berlalu, tapi kenyataan itu masih terlampau pahit. Danielle enggan mengecap kemampuannya sendiri.

Ia bisa lihat sepatu pantofel Adolf yang mengkilap. Pelan-pelan berjalan dari samping kiri menuju ke hadapan. Adolf berhenti tepat di hadapan Danielle yang mulai mendongak. Bertemu tatap sambil mencari-cari jawaban mengapa paman Leander ini seakan menyiksanya alih-alih melatih.

“Apa harus selalu dibantu untuk menekan?” Danielle bangkit dari posisi merunduknya. Mengibas-ngibas gaun panjang hijau botol nya sambil membenahi sarung tangan. “Atau bisa dengan cara lain?”

“Kamu yang bisa menekan elemen kamu sendiri,” jawab Adolf. “Usahakan untuk tidak merasa khawatir waktu ada orang yang berniat buruk dengan kamu. Contohnya, waktu aku ada di belakang. Mungkin bakal tidak nyaman karena kamu tidak bisa lihat, tapi cobalah untuk tidak curiga ke banyak orang.” Ia berjalan menjauhi Danielle. “Kamu boleh memasang kuda-kuda dan merasa waspada, tapi jangan sampai itu mempengaruhi aliran darah kamu sendiri.”

Danielle diam mendengarkan. Tangannya sibuk melipat kembali sarung tangan yang digunakan untuk mengusap ujung bibirnya sendiri. Membersihkan dari sisa darah.

“Ingat, Lady Danielle. Kamu punya elemen berbeda. Kontrol pikiran kamu sangat berpengaruh dengan kekuatan yang kamu bawa. Bisa tidaknya kamu melukai target, bukan orang yang tidak bersalah.” Adolf berhenti di samping pohon beringin dan bersedekap. “Kalau elemennya bawaan klan, bakal lebih mudah karena berwujud dan kelihatan. Satu-satunya yang bisa kamu andalkan adalah diri kamu sendiri. Kendalikan pikiran kamu, serang objek tepat, dan lukai mereka diam-diam. Terlalu khawatir, bisa membuat mereka tahu hasrat terpendam kamu lewat ekspresi wajah. Dan itu sangat tidak boleh terjadi.”

“Maaf,” ujar Danielle.

“Kenapa kamu minta maaf?”

“Aku terlalu dini untuk elemen seperti ini. Tidak ada yang mengajarkan bagaimana caranya untuk mengendalikan. Maaf kalau aku merepotkan, paman Adolf.” Danielle merunduk sedikit sebagai tanda hormat.

“Tidak perlu sampai minta maaf,” ujar Adolf. “Semua orang berdarah Kronos juga pasti bakal seperti kamu. Bedanya mereka ditempa lebih berat.”

Lebih berat. Untuk sejenak, Danielle mengingat sosok Aindita yang harus menghadapi orang-orang berdarah Kronos lain. Membayangkannya sendirian tanpa kawan membuat Danielle merematkan tangannya satu sama lain.

“Sekarang, fisik, Danielle.”

Pandangan Danielle berpendar ke sekitaran. Mencoba mencari objek selain tubuh Adeolf yang ada di hadapan. Mungkin saja ia bisa memakai rusa, burung lewat, atau sekadar kelinci liar.

“Kenapa?” Tanya Adolf.

“Apa paman bermasud untuk membuat diri sendiri sebagai bahan percobaan?”

“Aku bisa menumbuhkan tangan lagi, jadi tidak begitu keberatan.”

“Paman yakin?”

“Jangan bertanya begitu, aku jadi sedikit tidak nyaman.”

Danielle menahan tawa. “Kalau begitu, aku harus minta maaf dari awal. Maaf kalau aku bakal beberapa kali tidak terkontrol.”

Langkah kaki Adolf cepat-cepat sambil mengunus sebilah pedang. Kaum Leander memang tidak punya kemampuan untuk menyerang, seni pedangnya yang ditempa sampai ke titik tertinggi. Dengan salah satu tangan berada di balik badan, tubuh Adolf menyamping dan bisa menghindar kemana saja, kalau ia mau.

Tapi Danielle bukan pengguna pedang juga. Ia bisa bebas menyakiti Adolf di titik manapun. Baik yang fatal, sampai yang sekadar melumpuhkan. Dalam genggaman tangan, ia bisa rasakan setiap syaraf di balik kulit Sang Guru. Dari atas kepala, deras sampai ke jantung. Pompaan darah berpusat paling tinggi di badan, tapi Danielle lebih fokus mematikan titik-titik kecil. Ia tidak punya niatan membunuh orang. Jadi kepala atau dada bukan patokannya sekarang.

Danielle membungkuk untuk menghindar ayunan pedang yang hampir mampir ke wajahnya. Tujuannya sekarang adalah melumpuhkan kaki kanan Adolf. Karena bukan pengguna tubuh bagian kiri, Adolf bisa lebih mudah dibaca. Mulai dari setiap hunusan pedang ke arah lawan, sampai ke setiap langkah. Tumpuannya masih bagian kanan.

Ia bisa rasakan aliran deras darahnya sendiri. Mulai dari kepala sampai ke jantung. Ketakutan terhadap benda tajam dan tenaga Adolf yang tidak main-main, membuat Danielle bisa diserang panik kapan saja. Setiap gerakan Sang Guru bersifat sungguh-sungguh. Seluruhnya serius dan bertujuan untuk membunuh, bukan lagi menyakiti.

Tangan kanan Danielle meremas udara. Sensasi setiap saraf lawan yang ia rasakan luar biasa menenangkan. Ketika ia bisa mendapatkan kaki kanan Adolf, tangannya mengerat semakin keras. Bersamaan dengan tubuh Sang Guru yang harus terhuyung dan jatuh ke depan. Sambil memandanginya bertumpu pedang, Danielle bisa lihat bagaimana rupa dari sesatu yang ia timbulkan. Dari otot sekitaran tulang kering, sampai ke pangkal persendian di kaki, rupanya sama. Memutar seperti salah langkah dan mengakibatkan keseleo. Bedanya ini terlampau serius. Setiap seratnya tercabit dan menyisakan lembar-lembar kulit di tanah. Beberapa masih menempel. Mirip seperti kertas yang dirobek paksa.

Percikan darah di atas rumput, membuat Danielle sedikit merinding. Efek yang ditimbulkan dari kemampuannya sendiri masih tidak bisa ia ingat baik-baik. Ia sekuat tenaga berusaha untuk tidak mendekat dan menolong Adolf sekarang.

Berbekal tumpuan pedang, Adolf pelan-pelan bangkit dan berdiri dengan satu kaki. “Sepertinya, efeknya lebih parah dari Yang Mulia Alceon, ya,” katanya. Sesekali merintih dan meringis kesakitan.

Sepertinya..”

Butuh waktu dua menit untuk memutar kembali tulang yang patah dan membenahi beberapa saraf. Mulai dari pangkal lutut, sampai ke bawah. Sulur-sulur otot membentuk perlahan dan membuat jaringan baru. Warnanya yang semerah daging segar, tidak ada bedanya dengan darah. Keduanya menyatu dan membentuk bongkahan kaki baru meski tidak sesempurna sebelumnya. Lapisan kulit membungkus paling akhir. Masih tidak rata dan Adolf seakan tidak ambil pusing. Dua menit bukan waktu maksimal untul klan Leander membuat bagian tubuh baru. Mungkin Adolf juga berjaga-jaga sama seperti Danielle.

Danielle melangkah pelan-pelan dan memandangi Adolf dari ceruk mata. Ujung jemarinya mengenai permukaan kulit lengan, tangan kanan Sang Guru. Merasakan aliran darah yang mengalir deras dari jantung. Dipompa sekuat-kuatnya supaya tidak mubazir dan buang tenaga. Setiap syaraf menyapa indera peraba Danielle seakan mengatakan kalau mereka ada disana.

Menunggu Adolf untuk bisa bangkit dan berdiri dengan tegap seperti semula, bakal membuang waktu. Usapan tangannya dari lembut berubah jadi sebuah cengkeraman. Memaksa Adolf untuk berdiri dari posisinya yang merunduk.

Wajah Adolf keletihan. Sudah pasti. Selain kehabisan banyak darah, ia juga sekuat tenaga berusaha untuk tetap fokus dan tidak menghunuskan pedangnya tanpa alasan. Dua detik dibutukan untuk Adolf melompat, menghindar guna menjauhi Danielle sebelum cengkeramannya tidak lagi bisa dilepaskan.

“Kamu sepertinya serius,” katanya sambil mengatur napas. Salah satu tangan, mencengkeram area jantung. Adolf beralih ke kuda-kuda siaga dengan menyimpan salah satu lengannya di balik badan. Mengunus pedang yang Danielle tidak tahu apa punya arti apa ukirannya.

“Bukannya sudah sepakat?” Tanya Danielle. “Aku bahkan sudah minta maaf duluan, tadi.”

“Apa kamu sadar sesuatu?”

Danielle diam sebentar untuk memperhatikan. Dari atas sampai bawah, tidak ada yang berubah. Adolf masih dengan satu kaki baru, sebilang pedang panjang, dan pakai baju warna Leander. Rambutnya yang beruban sedikit-sedikit juga tidak kelihatan berantakan.

Ia kemudian menggeleng sebagai tanggapan. “Sepertinya tidak ada yang berubah.”

“Besar pengaruh kekuatan kamu. Lebih dalam dan tidak terbaca. Kalau kamu dalam posisi tenang, justru lebih mematikan, ternyata.”

Dengan tumpuan kaki kiri, Adolf melangkah panjang-panjang. Mengikis udara dan mengayunkan besi tajam itu ke arah kiri, berusaha memburu salah satu lengan Danielle yang terbuka.

Setiap hunusan membuat gejolak tidak nyaman pada diri Danielle sendiri. Ia harus melumpuhkan Adolf supaya tidak bergerak sama sekali di tanah. Tapi juga berusaha sekuat tenaga mencari cara untuk tidak menghilangkan nyawa. Mulai dari leher, tengkuk, perut, dan bagian sensitif lain, harus ia hindari. Titik-titik buta yang tidak teraba, tapi juga tidak begitu fatal.

Manik mata hazel nya menemukan satu titik ekstrim, tangan kanan. Tapi batinnya seolah berkata kalau Adolf bukan orang Leander sembarangan. Ia pasti dibekali ilmu pedang tingkat tinggi. Dan ada kemungkinan kalau kedua tangannya berfungsi hampir sama. Bakal sama kalau Danielle melumpuhkan tangan kanan. ia sempat berpikir kalau mematahkan kedua lengannya, tapi tenaganya tidak mungkin cukup. Merasakan syaraf dan meraba setiap aliran darahnya, sudah membuat Danielle habis tenaga. Tidak mungkin ia ambil risiko terlalu besar untuk dirinya sendiri. Terlebih penyembuh satu-satunya justru ia patahnya kedua tangannya.

Ayunan pedang ke delapan, Danielle menangkap dua pergelangan tangan Adolf dan merasakan setiap uratnya meronta. Meminta untuk dilepaskan tanpa ada akhiran menyakitkan.

Danielle menarik senyum simpul. Seakan memberi aba-aba kalau ia bakal selesai bermain dengan Adolf sebentar lagi.

Ketika indera nya berhasil menangkap setiap syaraf, tubuh Danielle diputar dan berakhir dengan sebilah pedang tajam di atas lehernya. Kapan saja bisa menyayat kalau Adolf memang benar-benar berniat membunuhnya.

Ngos-ngosan, Danille berkata, “Apa paman mau membunuh aku disini?”

“Kamu tidak ada harganya, Lady Danielle,” jawab Adolf. “Kalau mahkota sudah ada di atas kepala kamu, mungkin aku bakal pikirkan.”

“Aku anggap itu sebagai usaha untuk menyerah.”

Kedua tangan Danielle meremas udara kosong. Merasakan setiap jaringan otot pergelangan tangan Adolf yang sudah ia incar. Memutus setiap jaringan dan berkonsentrasi untuk membuat sayatan-sayatan lebih besar. Danielle merunduk untuk bisa lepas dari pitingan Adolf dan menyaksikan kedua tangan Sang Guru memuntir. Beruntunglah ia bisa lolos tepat waktu. Kalau tidak, gaunnya bakal penuh bercak seperti pakaian Adolf sekarang. Bahkan ada yang sampai tidak sengaja mampir di pipi.

Selamat,” kata Adolf. “Emosi kamu sudah lebih dari cukup untuk bisa lepas dari pengawasanku.”

“Aku masih merasa butuh satu hal lagi.”

“Bilang saja,” jawab Adolf. Napasnya memburu dengan bibir mulai membiru. Pucat pasi akibat kehabisan tenaga berkelahi dan untuk memperbaiki tangannya sendiri.

“Nanti. Setelah paman sudah sehat kembali.”

Bungkukan badan menjadi penutup pertemuan mereka.

Setelah Danielle merasa jauh dan tidak ada orang yang bakal lihat. Ia jatuh di pelataran rumput. Mencengkeram dadanya sendiri, tempat dimana jantungnya ditaman. Sesak menderu sampai ke ulu hati dan menyebabkan napasnya tidak keruan. Ia terbatuk-batuk dan menyebabkan sebuah kekehan akibat reflek. Bersama dengan deru tawanya yang berakhir, air matanya berlinang tidak berhenti.

Tenda khusus makan malam dibangun lebih lebar dari kamar. Berisikan satu meja panjang dan beberapa kursi. Di atas nya sudah berjajar beberapa macam makanan. Dari yang berkuah, bakar, sampai sesuatu yang dikukus. Beberapa lilin dinyalan dan membayang ke sisi kain tenda. Membentuk siluet-siluet sederhana dari makanan di piring.

Dengan balutan baju formal, Alceon duduk di samping kanan Danielle. Makan dengan lahap dan beberapa kali minum air putih untuk menyegarkan tenggorokan. Di hadapannya, Ratu Mariana juga menikmati makan malam. Ketika pandangannya tidak sengaja bertemu dengan Danielle, perempuan Olympia itu tersenyum lembut. Jessica duduk di samping kanan. Sibuk dengan makanan berkuah dan beberapa kali mengusap bibirnya sendiri dengan tisu karena minyak dari potongan daging.

Duduk di tengah orang-orang ningrat dan makan dalam keheningan, bukan kebiasaan Danielle. Ia selalu berisik waktu makan dengan Jackson. Meski ada Ayahnya bergabung di meja makan, Danielle masih bakal bergurau. Masa-masa itu membuatnya jadi rindu rumah. Memandangi makanannya sekarang dan membayangkan keberadaannya sendiri sudah terlampau memusingkan. Daging dan potongan kentang di atas piring, cuma ia putar-putar setelah dipotong. Tidak punya niatan untuk makan.

Pandangan Danielle menangkap garpu yang menancap di atas pirinya, milik orang lain. Setelah ditarik oleh empunya bersama dengan potongan daging yang sudah ia pisah-pisah, Danielle memperhatikan arahnya. Berakhir ke Alceon dan mulai mengunyah. Ia hendak merapalkan sumpah serapah tapi setengah mati ditahan. Ia ada di meja makan bersama dengan orang tertinggi istana. Tidak mungkin Danielle membikin ulah cuma karena satu potong dagingnya diambil. Daging yang tidak ia makan pula.

“Apa?” Tanya Alceon seakan menantang.

Danielle harus menghela napas untuk meredakan emosinya sendiri.

“Alceon,” tegur Ratu Mariana. “Maaf, Lady Danielle. Putera Mahkota Emrys memang sedikit aneh kalau sudah menemukan teman yang pas.”

Anggukan jadi jawaban untuk pernyataan Sang Ratu. Danielle sedang tidak dalam mood untuk meladeni ulah Alceon. Pikirannya terlalu penuh cuma untuk sekadar bermain-main.

“Apa makanannya tidak enak?” Tanya Mariana. “Atau kamu mau diambilkan makanan baru yang masih hangat, Lady?”

Danielle buru-buru menggeleng. “Tidak, Yang Mulia,” jawabnya. “Maaf karena tidak terlalu bisa fokus makan. Aku sedikit rindu dengan rumah.”

“Yang biasa kamu lakukan di jam segini, apa?” Jessica menyahut. “Mungkin kalau dilakukan sekarang, bisa membantu.”

“Menggambar bangunan.” Danielle membenahi posisi duduknya sebentar. Ia harus berusaha senyaman mungkin meski masih membawa garpu dan pisau di tangan. “Tapi karena sedang dalam perjalan begini, aku biasanya membaca buku.”

“Ceritakan soal kediaman Stephenson, kalau begitu,” ujar Alceon sambil melahap sepotong dagingnya sendiri kali ini. “Atau Jessica bisa bercerita soal Daerah Semi, kediaman Maya. Danielle, kan, belum pernah ke sana.”

“Darimana kamu tahu, kalau aku tidak pernah ke sana?”

Dari keseharian kamu yang mengurung diri di dalam kamar.”

Lihat selengkapnya