The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #10

Tragedi 9

“Bagus, tidak, puisiku?” Tanya Danielle.

“Tidak buruk.”

Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Semuanya disusun seperti kamar pribadi dengan ventilasi kecil-kecil untuk mengganti udara. Yang berbeda cuma tumpukan rak buku baru di sisi kanan dinding. Berisikan banyak lembaran bersampul dengan edisi baru cetak. Mungkin Aindita sudah menemukan hal baru untuk membunuh kebosanan sambil menunggu giliran ia dipanggil keluar.

“Jadi tinggal yang di Southares, ya? Rencananya bakal dilaknasakan di lapangan atau di istana?”

Suara Aindita menggema di dalam kamar putih miliknya sendiri. Ia berdiri dengan satu buah buku menggantung di tangan kanannya sambil menoleh pada Danielle di kursi. Tatanan anak Calypso itu selalu siaga seperti bisa dipanggil keluar kapan saja. Rambut pirangnya disanggul seluruhnya ke atas. Membentuk pola mawar dengan beberapa helai yang menggantung di sekitaran telinga. Meski mengenakan gaun panjang putih selutut, identitas Calypso masih bisa dikenali siapa saja lewat perawakan Aindita.

“Sepertinya di istana. Panggugnya sudah ada dan tidak perlu lagi mengumpulkan orang. Mereka yang bakal datang sendiri kemari,” jawab Danielle sambil membenahi posisi duduknya menjadi bersila di atas kursi. Satu pensil bertengger di tangan kanan dengan selembar kertas di meja. Sudah lama sekali rasanya ia tinggal menggambar. Menorehkan garis-garis supaya jadi ilustrasi baru.

Aindita duduk di seberang kursi Danielle. Lengannya terulur ke meja dan meletakkan kepalanya sendiri di atas sokongan telapak tangan. Memandangi Danielle yang masih fokus. “Apa kamu sudah menerima surat dari aku?”

“Yang mana? Aku kira, cuma dua.”

Ya, memang,” kata Aindita. “Untuk apa juga mengirim banyak-banyak. Kamu, kan, bakal kembali ke Southares juga lagipula.”

Pensil diletakkan Danielle di samping kertas. Memindah fokusnya dari gambaran, menjadi ke perempuan berambut pirang. Tumpukan kertas dan buku membayang di balik tubuhnya. Meski masih ada di atas meja yang sama, Danielle baru saja sadar kalau bangkunya lebih berantakan dari yang ia kira. Beberapa buah pena juga dibiarkan begitu saja tanpa ada niatan untuk ditata.

“Sedang meneliti apa sampai mejamu berantakan begitu?” Tanya Danielle. Sambil mengendikkan dagu ke arah tumpukan kertas bertulis. “Sebegitu pentingnya sampai harus dicatat.”

Setelah menoleh ke arah yang dimaksud, wajah Aindita berubah seperti orang kebingungan. Manik matanya bergerak-gerak gelisah, menimbang. Haruskah ia bercerita atau mencari topik lain saja.

Apa aku salah bicara?

“Tidak tahu kenapa, aku penasaran dengan darah Kronos.” Aindita menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. “Seperti aneh saja kalau orang-orang seperti kita ini berkelainan. Pasti ada penyebabnya kenapa kita bisa mengendalikan darah orang lain.”

“Bukannya sedang diteliti?” Danielle menoleh ke arah lubang-lubang ventilasi. “Orang-orang yang kita temui di lab, kan, sedang mengusahakan itu.”

“Kalau kamu berpikir, aku tidak percaya dengan pemerintahan Emrys, aku minta maaf.” Aindita merundukkan wajah. Badannya hampir-hampir menunduk dan menyentuh lututnya sendiri.

Danielle berjengit ketika kedua tangannya digenggam. Menghantarkan dingin dari tubuh Aindita yang mulai bergetar perlahan. Ia ketakutan. Dari dalamnya perempuan itu membungkuk, Danielle bisa tahu kalau ia punya pengaruh hebat ke banyak orang, mulai dari sekarang. Setelah perjalanannya ke banyak tempat, ia sudah dianggap sebagai calon Ratu sah Emrys. Menyakiti hati orang ningrat, bisa berakibat fatal dan berat. Sama seperti keyakinannya dulu ketika pertama bertemu dengan Alceon.

“Aindita,” bisik Danielle. “Berdiri.”

“Tidak sebelum aku dimaafkan.”

“Dengarkan saja, kalau begitu. Jangan menaruh takut atau sungkan ke aku.” Danielle balas menggenggam tangan Aindita yang pelan-pelan menghangat. “Aku cuma bertanya, kok. Penasaran saja sebenarnya.”

“Soal catatan di kertas itu..” Aindita sedikit-sedikit mendongak. “Aku bisa tahu asal-usul orang berdarah Kronos.”

“Yang benar?”

“Belum lengkap, sih. Data yang aku kumpulkan cuma notok sampai di orang-orang Arquemedes yang banyak berdarah Kronos.” Tubuh Aindita melompat dari kursi untuk bisa menarik sala satu buku di meja. “Kamu harus baca banyak sejarah Athanasius, Danielle. Kesimpulan yang aku dapatkan adalah kita punya kedudukan hampir setara dengan mereka.”

Danielle melihat ke sekeliling, meneliti. Takut-takut kalau ada orang menguping atau tidak sengaja lewat dan dengar. Setelah pandangan mereka kembali bertemu, ia berkata, “Apa kamu punya penjelasannya? Mungkin bisa membantu aku supaya lebih paham.”

“Banyak orang Arquemedes berdarah Kronos. Dari semua klan, mereka adalah yang paling rentan. Karena tidak membawa elemen apa-apa. Netral.” Aindita menyodorkan kertas berisi poin-poin informasi. Berupa kalimat dengan banyak coretan di atasnya. Poin pertama berkata bahwa pemberontakan klan Kronos pasti bukan sebagai bentuk protes semata.

“Bisa kamu jelaskan soal klan Kronos yang menebar terror ini juga?”

“Yang mana?”

Telunjuk Danielle mengarah pada poin utama. “Ini.”

“Oh, itu.” Aindita mendudukkan tubuhnya di atas kasur. “Coba bayangkan, alasan soal menculik klan Kronos ke istana saja sudah sangat tidak masuk akal. Mereka pasti punya alasan lebih kuat dari itu. Kalau mereka tahu, klan Kronos disini dilatih, mereka tidak mungkin menebar terror. Terlalu ekstrim.”

Danielle diam mendengarkan.

“Pasti ada alasan kuat kenapa klan Kronos jadi seperti itu.”

“Kalau tidak bertanya ke salah satu orang di luar sana, kita tidak bakal tahu, Lady Aindita. Aku bahkan masih mencerna soal klan Kronos yang kamu katakan, kita sejajar dengan Athanasius.”

“Apa kamu percaya dengan aku?”

Lihat selengkapnya