The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #11

Tragedi 10

“Jadi apa kamu sudah menyerah dan berniat untuk bilang kalau sengaja menyakiti orang-orang berdemo minggu lalu?” Suara Adolf menggema di ruangan putih kosong, tempat nya biasa melatih Danielle di dalam istana. Pertanyaan itu sudah kali ke berapa Danielle hindari dengan memasang wajah tidak enak supaya tidak diajak bicara. Tapi sepertinya Adolf tidak peduli. Ia cuma butuh kebenaran.

“Tidak sengaja.” Danielle bersikukuh. Karena itu memang sebuah kecelakaan. Ia tidak pernah berniat menyakiti orang lain. Cuma karena melepas emosi diri dengan berteriak, siapa pula yang bakal menyangka kalau berpengaruh ke sekitaran juga. “Paman sudah tanya ini lima kali.”

“Memastikan sesuatu.”

“Untuk apa, sih? Kalau jawaban dari aku tidak cukup, paman bisa tanya ke Lady Jessica. Dia ada di depanku waktu itu.”

“Tidak,” jawab Adolf. “Aku butuh jawaban dari pelakunya, bukan saksi mata.”

“Sama saja kalau paman tidak percaya.”

Dalam hitungan ke tiga, Danielle mulai mengambil napas lagi dalam-dalam. Ini jadi seperti ritual sebelum memulai sesi latihannya dengan Adolf. Awalnya cuma sebagai acuan kalau ia ada di posisi stabil dengan emosi terkendali. Dirasa mulai enteng, Danielle memakukan pandangannya pada guru pengajarnya. Seorang diri di dalam ruangan putih, tidak ada sosok Alcon Athanasius lagi. Terakhir mereka bertemu memang cukup murid dan guru, tidak ada asisten.

Adolf memang bukan seperti orang seumurannya. Dengan gaya berpakaian sehari-hari yang mencerminkan warna klan Leander, ia bahkan jadi kelihatan lebih muda. Sekarang dibalut dengan baju putih serta surainya disibakkan supaya tidak menghalangi pandangan.

“Sudah selesai atur napas, kan?” Tanyanya. “Kamu bakal belajar menyerang dalam diam, sekarang.”

Meski sudah mendapat ijin dan jadi keharusan untuk mencabik-cabik otot gurunya sendiri, Danielle kadang masih merasa sungkan. Menjadi penyembuh dan cuma punya bekal satu buah pedang saja sudah sulit bukan main. Apalagi harus berkorban untuk disakiti murid yang bahkan belum jadi siapa-siapa di istana.

Danielle mencerna setiap kata. Apa pula maksud dari menyerang dalam diam? Bukankah selama ini memang ia selalu begitu. “Boleh aku tanya sesuatu?”

“Tanya saja.”

“Maksudnya bagaimana?”

“Menyerang dalam diam.” Adolf mulai berjalan memutar sesuai arah jarum jam dengan Danielle sebagai titik tengahnya. “Jangan bayangkan metode kamu sebelum-sebelumnya. Yang bakal aku ajarkan adalah bagaimana caranya kamu bisa menarik musuh supaya bisa mendekat tanpa harus susah payah.”

“Dipancing?”

“Kasarannya begitu,” jawab Adolf. “Aku menyebutnya, manipulasi.”

“Apa mirip dengan ­iming-iming? Kalau harus memuji orang dan membuat orang teranjung, aku bakal angkat tangan dulu.”

“Memang tidak mungkin dengan sifat kamu yang begitu.”

Kalimat itu seperti menancapkan jarum kecil di ulu hati. Sakit tapi tidak sakit-sakit amat.

Diam adalah satu-satunya cara yang pas untuk kamu. Berpura-pura. Ajak lawan kamu untuk ikut menyaksikan kebangkitan elemen kamu sendiri.”

Terlalu banyak kiasan. Jemari Danielle memijit pelipis. Tidak biasanya Adolf pakai kata yang dilebih-lebihkan. Ini jadi seperti memahami materi sebelum berperang alias Danielle tidak punya fokus sebesar itu untuk dibagi. “Apa membuat gestur badan supaya membuat orang lain penasaran?”

“Benar.” Adolf mendongak dan bertemu tatap dengan Danielle sekarang. “Karena kamu sepertinya tidak pandai merangkai kalimat untuk menarik orang, jadi itu lebih baik.”

“Latihannya bagaimana? Kalau dari awal Paman sudah tahu kalau aku bakal melakukan gestur tertentu, Paman tidak bakal mudah dikelabuhi.”

“Memang.”

“Tunggu,” kata Danielle. “Jangan-jangan Paman memang sengaja supaya bisa melatih seberapa jauh aku bisa membuat orang lain bersimpati?”

Adolf manggut-manggut. “Kalau kamu sudah mulai berpikir seperti orang yang sering perang begini, lebih mudah melatihnya.”

“Terimakasih. Aku anggap itu pujian.”

Bertumpu pada satu kaki di belakang, Danielle bisa memperkirakan lompatan. Mendarat di hadapan Adolf yang sudah berbekal sebilah pedang. Dari dekat, baru Danielle bisa lihat bentuknya. Tipis dan langsing dengan ujung sekecil paku. Pedang ini pasti bertujuan untuk membunuh pelan-pelan. Warnanya perak mengkilap berhias batu safir di genggaman. Cantik tapi entah sudah berapa nyawa yang ia cabut.

Kepalan tangan Danielle mendarat di leher Adolf yang sudah ia cengkeram erat. Ia bisa dengar suara merintih bersamaan dengan denting pedang menyentuh lantai. Adolf pasti tidak pernah mengira kalau Danielle bisa seberani ini mendekati lawan. Diukur dari reaksi dan cara pandang gurunya yang kelihatan mulai ketakutan. Dengan ini, Adolf bisa menganggap permainan mereka lebih serius dari sebelumnya. Menunggu dua menit untuk klan Leander membenahi bagian badan, sudah tidak akan terjadi lagi.

Dari balik kulit, setiap jaringan saraf leher dan otot milik Adolf bisa Danielle rasakan. Seenteng udara terbuka tapi sederas samudera. Menduduki tubuh lawan dan menghantarkan elemennya sendiri untuk bisa memuntir leher pamannya memang tidak pernah Danielle bayangkan bakal bisa ia lakukan. Tapi dengan posisinya sekarang, sepertinya ia bakal banyak diuntungkan hari ini.

Ayunan pedang membuat Danielle membungkuk sekilas supaya bisa menghindar. Meski Adolf sudah dalam keadaan hampir hilang sadar, tenaga orang Leander tidak bisa dianggap remeh.

Saraf kaki kanan Adolf sudah bisa Danielle dapatkan sekarang. Menghitung banyaknya sulur pembulu yang melalui, ia mulai menghentikan pengedarannya satu persatu. Pelan-pelan dan memastikan kalau lawan sementara nya sekarang bisa merasakan sakit kepalang. Satu aliran terakhir membawa tangan kiri Danielle untuk meremat udara kosong. Pergelangan kaki Adolf mungkin sekarang sudah remuk atau terputar tidak keruan. Berdasarkan reaksi gurunya yang timbul sambil mendesis, bisa Danielle pastikan kalau ia membuat lukanya setanggung mungkin. Supaya Adolf tidak dikelabuhi awan kesakitan dan masih bisa melawan. Sesi mereka belum selesai.

“A-apa aku lupa bilang?” Adolf bertanya disela sesak akibat cekikan. “Serang diam-diam, bukan membabi-buta begini, Lady.”

Kuku-kuku jari Danielle menancap di pelataran kulit leher Sang Guru. Menggoreskan luka minim cuma supaya Adolf tahu kalau lawannya sekarang sedang menahan kesal.

Meski enggan, Danielle bangkit dan berjalan menjauh. Meninggalkan Adolf masih dalam keadaan berbaring sambil melihat langit-langit. Tangannya mencengkeram gagang pedang terlampau kuat. Dengan keadaan pergelangan kaki kanan terkuliti, Adolf persis seperti prajurit yang menanti ajal tiba di medan perang.

Danielle berbalik. “Jadi aku harus diserang lebih dulu sampai habis tenaga?”

“Mungkin kamu tidak sadar, tapi kemampuan kamu meningkat drastis.” Adolf duduk dan bersandar di sisi dinding dibantu oleh kaki lainnya yang masih utuh. “Sudah tidak dirundung rasa bersalah soal kematian Rachel, sepertinya.”

“Sekarang, tidak ada hubungannya,” jawab Danielle menahan jengah. “Apa teori saja tidak cukup, paman? Kalau menunggu sampai tenagaku habis, bakal lama.”

“Pastinya.”

“Jadi?”

“Tunggu sebentar. Kamu lihat, kan, aku sedang apa?”

Membenahi kaki. Jaringan otot sampai pembulu darah baru mulai menjerat satu sama lain. Membentuk susunan daging sampai lemak pelan-pelan. tahap terakhir ditutup oleh lembaran kulit dan saling mengeratkan. Pemandangan seperti ini sudah mulai Danielle anggap sesuatu yang biasa meski ia enggan melihat lebih seksama.

“Kalau kamu mau tanya soal kunci sukses tidaknya kamu menyerang dalam diam, coba saja lagi.” Ayunan pedang milik Adolf mengarah pada tangan kanan Danielle yang mengepal. “Jangan bergerak sama sekali. Tangan kamu juga jangan sampai membuat gestur tidak perlu.”

“Bukannya itu membantu mengendalikan?”

“Tidak ada hubungannya sama sekali.”

Sensasi perih menjalar di ujung pipi Danielle. Membuatnya sadar kalau ternyata ia terluka pula. Jaringan kulit bisa ia rasakan mulai membaik. Sensasinya seperti luka menutup berhari-hari. Bedanya ini berlangsung cuma beberapa detik.

“Lihat, kan? Aku tidak bergerak sama sekali tapi bisa menyembuhkan orang.”

“Mungkin bakal kedengaran konyol kalau aku bertanya begini, tapi apa semua elemen bisa begitu?”

Adolf mengangguk sekenanya. Membawa tubuhnya sendiri untuk berdiri sambil bertumpu pedang di tangan kanan. “Tapi masalahnya, tidak semua orang tahu caranya.”

Salah satunya adalah aku. Setengah mati Danielle menahan diri untuk tidak mendengus. Antara sebal dengan keadaan atau kesal terhadap dirinya sendiri yang minim pengetahuan. “Jadi aku harus belajar bagaimana caranya supaya bisa menyerang tanpa ketahuan?”

“Benar. Kamu berhasil waktu panik, tapi itu lain cerita.”

“Karena memang tidak terkendali,” sahut Danielle. Memberi tahu dirinya sendiri supaya lebih paham.

“Fokus ke satu titik dan buat pergerakan. Sekali kamu menyentuh lawan, kamu bakal hafal setiap susunan otot sampai tulangnya.”

Danielle hampir berjengit. Fakta kalau kemampuannya bisa ditekan sampai sejauh itu, masih membuatnya kurang nyaman. “Aku baru tahu informasi ini.”

“Laboratorium bawa banyak informasi,” kata Adolf. “Calon Ratu mereka selanjutnya berdarah Kronos, jadi semakin banyak poin-poin berguna, semakin baik.”

Sejenak, Danielle jadi ingat bagaimana rupa lebam-lebam Aindita dan berapa lama lagi ia bakal bisa membebaskan anak itu. Perbuatan orang laboratorium membuat anak Calypso itu seperti tumbal atas kesuksesan Danielle. Semakin banyak informasi, semakin sering pula Aindita dan orang berdarah Kronos lain diutus untuk saling bunuh. Kadang Danielle berpikir untuk menenteng Aindita kabur. Membawanya lari kemanapun asal bukan Southares. Ke Gugur juga tidak masalah. Kalau perlu, Danielle bakal sembunyikan kawan satu-satunya dari dunia. Biarkan tidak ada yang tahu. Biarkan Danielle seorang saja yang tahu.

Kemungkinan-kemungkinan soal kebenaran orang berdarah Kronos jadi ikut mampir. Samar tapi pasti membuat Danielle jadi seperti orang banyak pikiran lagi. Menjadi kesepian dan tidak punya kegiatan memang tidak enak, tapi ternyata disibukkan otak juga menyusahkan.

Lady Danielle.”

Merasa ditegur, Danielle mendongak dan meninggalkan lautan pikiran. “Iya?”

“Pastikan lawan kamu tidak tahu kalau kamu mengincar salah satu bagian badannya,” ujar Adolf. “Jangan terlalu menunjukkan emosi kamu lewat ekspresi dan pandangan mata. Kamu jadi gampang dibaca.”

“Ternyata tidak bicara saja tidak cukup, ya.”

Adolf terkekeh pelan. “Musuh kamu nanti bukan cuma di medan tempur, tapi juga ada di meja makan, ruang rapat, atau bahkan orang yang mengajak kamu ngobrol pagi di perpustakaan. Aku beri kamu sekolah gratis untuk layak jadi Ratu.” Ia memutar-mutar gagang pedang dan membuat bunyi ayunan angin di sekitaran badan. “Tapi tergantung mau jadi Ratu seperti apa kamu nanti.”

Normalnya Danielle bakal kembali memikirkan posisi macam apa yang bakal diembannya. Tidak ada waktu untuk kembali tenggelam di pikiran. Semua susunan otot dan jaringan tulang Adolf, bisa Danielle sebutkan dan jadi sebuah mantra di batin. Dari pangkal leher ke bawah sampai di dada, turun ke paha dan tungkai. Beberapa bagian terasa asing karena baru saja ditumbuhkan. Setiap gerakan menegang di otot Adolf, membuat Danielle harus berpikir matang-matang, bagian mana yang paling perbengaruh kalau dilumpuhkan. Satu-satunya yang melintas di otak adalah pangkal paha. Kehilangan satu kaki bukan sebuah alasan untuk klan Leander menyerah.

Kedua tangan Danielle saling menggosok, menghantarkan hangat. Setidaknya itu bisa mengelebuhi Adolf untuk fokus ke tangannya yang mulai saling menekan. Membuat gerakan seperti orang membasuh tangan di bawah kran air. Danielle bisa rasakan tubuh Adolf menegang dan membuat kuda-kuda untuk menghunus pedang. Detik sebelum ujung bilah itu terangkat, Danielle menangkap pangkal paha Sang Guru dan memuntirnya ke belakang. Meski tidak menyentuh, ia bisa rasakan susunan otot di atas kulitnya sendiri. Sensasi ini terasa asing tapi cukup menenangkan. Setidaknya untuk Danielle yang belum pernah tahu bagaimana rasanya punya elemen. Meski terkutuk sekalipun.

Ujung pedang klan Leander bergesek dengan lantai keramik ketika berusaha menyeimbangkan bobot tubuh tuannya. Membuatnya tidak lumpuh meski kehilangan satu bagian penggerak tubuh. Tidak ada luka serius tercabik atau lapisan kulit berjatuhan di tanah. Danielle cuma memuntir sendi dan membuat tulang Adolf dislokasi.

Danielle sedikit berjengit ketika Sang Guru memuntahkan darah banyak-banyak.

Lihat selengkapnya