Jackson memberikannya beberapa gaun sederhana. Setelan rok selutut yang terbuat dari kulit dengan warna hitam pekat dan sepaket dengan celana. Satu-satunya warna hijau adalah pita di atas kepala. Mengikat rambutnya yang terlampau panjang dan membentuk simpul sanggul lumayan rumit. Supaya tidak gampang lepas dan memudahkan untuk bergerak. Kakaknya bilang kalau Danielle adalah perempuan yang diciptakan untuk sebuah pertempuran. Warna hijau botol tidak cukup menutup noda bercak darah di atas kain, jadi Jackson memilih warna hitam untuk busananya sekarang.
Danielle menoleh dari cermin menuju ke jendela kamar. Merapalkan beberapa kalimat untuk dirinya sendiri serta panjatan doa supaya ibunya sudi memaafkan anak perempuan nya sekarang.
Setiap langkah yang ia buat, terasa berat tapi juga terasa sangat benar. Lorong-lorong yang awalnya dingin, kini jadi panas akibat darah Danielle yang mengalir deras di sekitaran badan.
Lencana Stephenson diletakkan di dada sebelah kiri, dekat dengan jantung. Warnanya yang perak, memantulkan cahaya ruangan. Terlampau terang. Berdasarkan informasi dari kakak laki-lakinya, ia bisa pakai jalan pintas orang Leander ketika masuk ke kawasan penjara orang berdarah Kronos. Meski tidak begitu membantu dengan peta seadanya, Jackson tetap ambil peran penting sekarang.
“Lady Danielle? Ini sudah malam sekali. Tumben kamu kemari.” Suara Aindita masih semerdu terakhir mereka bicara. “Dan kenapa pula kamu pakai pakaian begitu?”
“Danielle?”
Siluet orang lain muncul dari balik badan Aindita. Lebih pendek dengan warna ungu mencolok. Sanggul di atas kepalanya yang beda warna serta nyala mata abu-abu membuat Danielle bisa tahu siapa gerangan dalam sekali lihat.
“Sedang apa kamu disini, Jessica?”
“Justru itu yang mau aku tanyakan ke kamu,” jawab Jessica dengan nada tidak terima. “Aku selalu kemari dan merawat luka Aindita waktu selesai berlatih. Dia banyak dapat luka fatal kemarin lusa.”
Pikiran Danielle memanggil memori tubuh Aindita yang sudah tidak berdaya di lantai keramik. Derasnya darah dari badan, tulang terpatahkan yang bahkan Danielle bisa bayangkan bagaimana bunyinya meskipun tidak kedengaran. Kejadian yang tidak akan lagi mau ia lihat.
“Kamu bisa kembali ke kamar, Lady Jessica.” Danielle beralih ke Aindita yang berbalut banyak plester. “Dan tolong bergeraklah cepat, Aindita. Bawa barang yang sekiranya harus kamu bawa pulang.”
Aindita diam di tempat. Manik mata hijau nya memandang Danielle tanpa berkedip. “Kamu serius?”
“Sepertinya penampilanku sudah bilang.”
“Jangan.” Jessica menarik tangan anak perempuan Calypso untuk kembali masuk ke dalam biliknya. “Jangan bilang, kalau kamu mau membawa Aindita lari dari sini?”
“Memang begitu.”
“Maaf bilang begini, Lady Danielle, tapi apa kepalamu terantuk sesuatu? Sampai tidak bisa berpikir normal.” Tangan Jessica menarik kerah baju Danielle mendekat. “Kamu tidak boleh main-main dengan hidup orang lain. Bergerak sendirian itu bukan berani, tapi bodoh, namanya. Tanpa perencanaan apapun, lagi.”
“Aku tidak bilang kalau aku sendirian,” jawab Danielle. “Kalau kamu tidak mau membantu, kamu bisa diam saja. Aku tidak bakal mengganggu atau bertanya-tanya soal nasib apa yang menanti di depan sana.”
“Kamu gila!” Jessica memekik. “Ini bukan cuma mencangkup nasib kamu!”
“Jessica, aku melakukan sesuatu yang benar.”
“Kepalamu itu benar!”
“Kamu bisa kembali ke kamar kalau tidak mau membantu.”
Dua menit lamanya menunggu Jessica untuk melangkah pergi kemana saja. Tubuhnya menghalangi pintu kamar dan ia seakan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak. Tapi sekarang justru menghela napas dan menarik lengan Danielle untuk masuk ke ruangan yang sama, kamar Aindita.
“Dengan siapa kamu membangun rencana ini?” Tanyanya.
“Seseorang.”
“Kamu selalu tidak mau membicarakan hal seperti ini dengan aku.” Jessica menjinjing ujung gaunnya. Membawanya untuk duduk di kasur. “Setidaknya, bilang. Aku bisa saja siapkan orang untuk kalian nanti.”
“Kami saja cukup.”
“Kami?”
Kepala Danielle menoleh ke sosok Aindita yang sekarang sibuk berganti pakaian. Setelan warna mustard panjang dan celana membuatnya kelihatan lebih mencolok. Sepertinya Aindita tidak punya banyak kantong di tasnya yang seadanya. Danielle berinisiatif untuk menarik beberapa hiasan rambut milik anak Calypso itu ke dalam saku pakaiannya sendiri.
“Aku bawakan beberapa perhiasan. Tidak perlu semuanya, kan?” Danielle memakukan fokusnya kembali ke Jessica. “Jadi kamu benar mau membantu?”
“Sedikit,” jawab Jessica. “Aku tidak bisa merelakan klan Maya untuk ikut campur di urusan pribadi kamu. Kakakku bakal kena masalah serius nanti.”
Kenapa pula aku justru merelakan nama Stephenson? Tidak ada waktu untuk mundur sekarang. Menyesal bakal membuatnya jadi orang munafik. Semuanya sudah dipikir matang-matang dan Jackson bahkan sudah setuju untuk membantu. Tidak da yang harus ditakutkan. Ia bakal terus melangkah ke depan dan memenuhi janjinya.
“Danielle,” tegur Jessica.
“Hm?”
“Jangan setengah-setengah.”
Mengagetkan saja. Jemari Danielle membenahi kerahnya yang terlalu ketat. “Aku tahu.”
…
Berkat darah Kronos di dalam badan, Danielle bisa melumpuhkan beberapa orang pelayan dengan warna Dafandra. Seluruhnya cuma dikejutkan dengan saraf di sekitaran leher yang Danielle biarkan tidur. Aindita sepertinya belum bisa mengendalikan elemennya dengan baik. Tidak heran. Karena ia tumbuh langsung berhadapan dengan orang berdarah Kronos lain. Tidak seperti Danielle yang ada di bawah pengawasan serta latihan teratur sampai punya guru sendiri.
Lima lorong bawah tanah mengantarkan mereka ke sebuah bangunan kecil di luar Istana Janji Hitam. Bentuknya seperti pondok dengan satu pintu. Satu-satunya yang ada di dalam cuma tangga penghubung. Baru saja mereka lewati. Menyatukan lahan bebas dengan salah satu ruangan di dalam istana.
Pergelangan tangan Aindita terasa lebih kecil berada di genggaman. Dengan sulur-sulur kulit baru serta beberapa bagian otot yang masih bisa Danielle rasakan di bawah kulit tangannya sendiri. Gelang panjang bertali mustard membawa lencana air dan bumi, lambang Calypso.
“Bukannya memang selalu seperti itu, kan, setiap tahunnya?”
Mendengar suara orang menyapa, Danielle menarik lengan Aindita supaya bisa berdiri di sampingnya dan bersandar ke dinding. Meski sudah gelap dan pastinya tidak akan ada yang curiga kalau mereka berjalan santai, tetap saja harus waspada. Tidak ada yang bisa ia percaya di dalam istana kecuali orang-orang tertentu. Tubuh Danielle menempel ke sisi tembok dan menunggu deru langkah kaki di baliknya supaya segera berlalu.
Cahaya lampu senter di kegelapan membuat pengelihatan Danielle berubah jadi putih sekilas. Ketika dua orang dengan pakaian Arquemedes lewat di hadapan, agaknya mereka bisa merasakan hawa orang lain di gang sempit. Pilihan yang tersisa untuk Danielle adalah melumpuhkan keduanya. Kalau mereka sampai bisa mengenalinya sebagai calon Ratu atau anak perempuan Stephenson, mereka harus dibunuh.
Tumpuan kaki kanan Danielle membuatnya bisa memiting salah seorang di hadapannya tanpa memekik. Sosok pemuda lain dengan senter masih memandanginya ragu-ragu.
“Lady Stephenson?”
Bajingan. Membunuh salah satu di antaranya adalah perbuatan konyol. Danielle harus melenyapkan mereka kalau ia memang berniat main aman.
Aindita muncul dari bayangan dinding. Kedua tangannya mengepal seperti menggenggam udara dan beraksi pada laki-laki dengan senter. Membuatnya bertekuk lutut dengan leher terbalik. Satu tumbang, Danielle ikut mematahkan leher yang lain.
“Terimakasih, Aindita,” ujarnya.
“Belum saatnya bilang begitu.” Aindita hampir-hampir memekik sambil menyeret lengan Danielle supaya kembali melanjutkan perjalanan. “Kalau kita membuang waktu, bakal sia-sia usaha—” Suaranya tercekat ketika mendengar langkah kaki baru.
Manik hazel Danielle membelalak beberapa detik. Menelaah siapa gerangan lawannya kali ini. Kalau dilihat dari pakaian yang dikenakan dengan sebilah pedang bersarung di ikat pinggang, Danielle bisa tahu posisi mereka. Jumlahnya ada empat. Semuanya membawa baju zirah emas dengan bendera Emrys di atas kepala seperti kuncir. Warna selendang di sekitaran sabuk berbeda, menandakan klan asli mereka. Mendedikasikan diri untuk melindungi orang istana baik itu Sang Raja sampai ke pelayannya sekalipun, knight gugusan ke tiga.
Terlalu banyak. Kenapa semuanya seperti tahu kalau bakal terjadi sesuatu malam ini?
Keempatnya punya deru jantung selaras dan di detik ke sepuluh, ketika semuanya ada di ketukan yang sama, Danielle harus menghentikan laju darahnya satu persatu. Dari yang paling kanan, orang Dafandra dengan sarung pedang warna kelabu. Indra perasa Danielle membelai setiap jaringan otot tangan sang prajurit dan mematahkan sarafnya satu persatu. Meski tidak membuatnya lepas dan terpental, paling tidak harus dilumpuhkan.
“Jangan ketawa begitu, Lady Danielle. Kamu ngeri,” bisik Aindita di sampingnya.
Danielle pribadi malah tidak sadar. Ia serius meraba setiap sulur pembulu yang menghubungkannya lebih dekat dengan jantung. Genggaman tangannya mengerat ketika berhasil mendapatkan hidup lawan. Menghancurkannya dari dalam dan membuatnya mati pelan-pelan.
Kalau sudah melakukan pemanasan, Danielle bisa melumpuhkan dua orang sekaligus. “Tolong bunuh yang satunya, Lady Aindita,” bisiknya.
Danielle belum mengatupkan mulut ketika tiga orang lainnya tumbang ke tanah. Satu orang harus berakhir dengan keadaan berbeda karena bilah panah panjang ditanam di kepala. Bentuknya pipih dengan warna transparan dan sedikit mengepulkan asap. Mengkilap diujung karena cahaya rembulan. Es.
Jessica tidak main-main ternyata.
“Ayo.” Kembali Danielle menarik tangan Aindita dan menuntunnya untuk lari.
“Tunggu!”
Tubuh Danielle terhuyung ke belakang. Sebilah pedang mendarat di dekat kaki dengan teriakan beberapa orang dari jauh. Siluet mereka belum kelihatan mengingat gelapnya jalan setapak. Tapi bisa ia pastikan kalau lebih dari lima orang.
Gemuruh di langit membuat Danielle mendongak untuk bisa memastikan kalau ia tidak salah menduga. Awan mendung dengan kilatan petir di sekitaran membuatnya yakin sekarang. Salah satu atau paling tidak, di antara orang yang sedang mengejarnya pasti ada klan Dafandra dan tidak main-main tinggi pangkatnya. Kalau sampai diijinkan menggunakan elemen pribadi klan, pasti bakal lebih susah dari sekarang.
“Aku tidak yakin kalau kita dikejar prajurit biasa,” bisik Aindita. “Siapa saja yang tahu, Lady Danielle?”
“Tidak ada waktu untuk membahas itu sekarang.” Danielle harus keluar dari bayangan pepohonan kalau benar ingin memastikan berapa sosok yang harus ia hadapi. Sambil pelan-pelan berjalan, tapak kaki dari jauh semakin mendekat. Dari siluetnya, ada enam orang. Tiga dengan warna Dafandra dan satu lagi tiga lagi pakai selendang warna kuning, Olympia.
Tangan kanan Danielle mengerat untuk bisa memfokuskan elemennya sendiri pada setiap pergerakan tiga orang prajurin Dafandra. Yang paling penting adalah menekan mereka karena bisa mengundang orang lain untuk datang. Apalagi gemuruh petir dengan susunan awan mendung di titik tertentu, siapa saja pasti bisa lihat dari istana Janji Hitam.
Dari kanan, Danielle memuntir dua lingkar leher dan menyisahkan satu orang Dafandra untuk kemudian memudarkan badai yang belum dimulai. Sisa laki-laki Dafandra kecil. Terduduk di tanah sambil memandangi dua kawannya yang sudah tidak bernyawa. Angin kencang serta hawa dingin mulai hilang pelan-pelan.
“Klan Kronos!” Salah satu orang Olympia berteriak.
Kalau Danielle punya waktu untuk mengumpat, ia bakal menyumpah-serapahi siapa saja yang lewat saking kesalnya. Berjalan di kegelapan dengan kontrol kekuatan belum sempurna sudah terlampau sulit, sekarang ia harus berhadapan dengan mungkin, klan lain yang bahkan punya kendali elemen lebih besar. Meski berdarah terkutuk dan punya predikat ditakuti, satu orang berdarah Kronos melawan puluhan knight seorang diri adalah tindakan paling ceroboh.
“Aku bakal hadang orang yang datang kemari. Kamu fokus disini, Lady Danielle,” bisik Aindita. Sudah mengambil ancang-ancang hendak berlari ketika lengannya ditarik. Mengakibatkan tubuhnya hampir jatuh ke tanah.
“Jangan berpencar. Tujuanku membawa kamu jadi sia-sia, nanti.”
“Kalau kita tidak kerja sama juga bakal sia-sia.” Lenagan Aindita ditarik olehnya sendiri. Membuat cengkeraman tangan Danielle lepas dengan paksa. “Aku sudah berhutang karena diselamatkan. Setidaknya, kan, harus berguna.”
Danielle menghela napas. “Tidak lebih dari sepuluh meter,” pintanya. “Tolong.”
“Kalau kelebihan satu meter, aku tidak janji.”
Perginya Aindita membuat tiga orang Olympia di hadapan Danielle memandanginya dengan tatapan tidak terbaca. Ada yang iba, ada pula yang geram kecuali satu orang Dafandra yang duduk di tanah. Salah satu pemuda Olympia mengangkat tangan kanan ke langit, membuat gerakan seperti orang hendak menangkap sesuatu. Baju zirah yang melekat padanya pelan-pelan berubah jadi benda cair. Berjalan lambat seperti ular yang hendak menemui mangsa. Lajunya benda metal di atas lengannya berhenti ketika sampai di telapak tangan. Membentuk sebuah tombak panjang berunjung pipih. Saking tajamnya sampai titik cahaya tetap memantul disana dan enggan berpaling.
Bakal susah kalau aku dihadang terus-terusan begini. Terlebih Danielle tidak punya pengalaman berkelahi dengan orang. Sesi latihannya dengan Adolf saja tidak seimbang. Satu-satunya yang bisa ia sebut dengan pertarungan adalah ketika berhadapan dengan Alceon pertama kali di ruangan putih.
Tidak bakal ada ujungnya kalau Danielle tidak menggerakkan tubuhnya sendiri. Tidak mengacuhkan teriakan serta banyaknya orang yang mengatai atau meminta bantuan mulai datang, ia berjalan pelan-pelan ke depan. Menemui total sepuluh orang dengan warna klan berbeda. Datang satu persatu kemari. Di bawah kakinya, tanah mulai menggembur. Orang-orang klan Calypso lain pasti juga datang kemari untuk menghukumnya.
Kedua tangan Danielle mengambil ancang-ancang untuk mengerat dan memprediksi setiap jaringan organ semua lawan di hadapan. Satu detik sebelum ia melancarkan aksi, lima orang baru tumbang dengan keadaan hampir setara seperti dua orang Dafandra di tanah. Leher terputar dan mengakibatkan susunan kerangka kepala harus menengadah ke belakang sampai seratus delapan puluh derajat.
Danielle diam di tempat. Manik mata hazel nya meneliti sekitaran mencoba merasakan hawa Aindita yang mungkin saja datang dari kejauhan. Perbuatan orang berdarah Kronos bisa ditelaah sekali lihat. Dan Danielle yakin seratus persen kalau ia tidak sedang hilang kendali dan menyebabkan beberapa orang mati mengenaskan.
Apa aku diikuti? Tubuh Danielle membalik ke kanan dan kiri. Ia bertemu pandang dengan sosok kelabu di antara pepohonan. Setelan pakaiannya berwarna abu-abu terang dan kelihatan kontras ketika dekat dengan salah satu batang pohon di depan. Topi di atas kepalanya menghalangi Danielle untuk bisa melihat wajah sosok tersebut. Warnanya sama persis dengan kumpulan orang yang menyergapnya di depan Istana Janji Hitam ketika sedang melangsungkan pidato. Ingatan Danielle juga berputar pada masa pertama ia selesai di Benteng Katulistiwa. Dua orang berpakaian abu-abu juga memperhatikannya seperti ia adalah seorang pembunuh yang harus dimusnahkan. Meski jumlahnya tidak sebanyak waktu di Southares, Danielle yakin kalau mereka berbagi warna serupa.
Dan apa maksudnya sekarang? Kenapa membantu? Lalu kenapa pula kemarin aku ditembak? Pikiran-pikiran lain mulai membayangi dan membuatnya gagal fokus. Segera Danielle menggeleng-gelengkan kepala. Menghalau imajinasi lain supaya tidak menyusup masuk.
Permukaan tanah di bawah kaki kembali seperti semula. Ia hentak-hentak dan masih dalam keadaan utuh. Tidak membuat kakinya terhisap lumpur atau bahkan membuatnya tenggelam.
Bersisa orang Olympia dengan tombak ngeri mereka. Danielle harus melayangkan nyawa tiga orang lagi beserta dengan satu laki-laki Dafandra yang sedang meratapi kematian kawannya.
Kedua telapak tangan Danielle saling menggosok. Semua emosi negatif dari dalam pikiran membuat badannya sedikit bergetar akibat gelisah. Desir darah deras membuat Danielle sadar kalau ia bakal meledak sebentar lagi. Dengan mengandalkan serangan panik dari dalam pikiran, ia bisa lebih kuat.
Danielle mengambil napas banyak-banyak, supaya bisa melepas elemen dengan gamblang. Sambil memejamkan mata, ia bisa rasakan hawa panas di sekitaran badan. Cepat-cepat ia mengerjap dan mendapati lelehan magma merah yang membentuk pose manusia meminta tolong. Dari yang hendak berteriak dengan satu tangan diangkat sampai pasrah dengan kepala menunduk. Satu-satunya yang bersisa adalah warna putih. Pelan-pelan nampak dari tumpukan lahar.
“Bakal banyak orang yang kemari karena awan badai tadi.” Suara berat datang dari balik tubuh Danielle. Dan ia kenal betul siapa yang punya.
“Kamu harus memberi tahu kalau datang.”
“Memang ada untungnya?”
“Setidaknya aku bisa pastikan kalau tidak ada orang istana yang mengikuti kamu.” Danielle membalikkan badan. “Jackson.”
“Walaupun aku tidak secerdas kamu, tapi aku bisa diandalkan kalau hal seperti ini.” Ujung jemari Jackson menyentuh tumpukan kerangka di balik tubuh Danielle. Mengusapkan ujung kulitnya dengan orang-orang yang baru saja ia lenyapkan. Mungkin memanjatkan doa supaya arwah mereka tenang. Tapi agaknya Jackson cuma ingin meleburkan bukti. Dengan suara remuk yang mirip seperti orang mengunyah tulang empuk, bisa dipastikan kalau magma bawaan Stephenson melahap semua barang bukti. “Temui orang yang mau kamu selamatkan.”
“Oh, iya!” Danielle hendak berlari ketika Jackson menepuk pundaknya pelan.
“Aku sudah bereskan sisanya. Sepertinya dia tidak ahli membunuh orang.”
Tengkuk Danielle meremang. “Aku bakal ke sana. Terimakasih, kak!”
Bisik-bisik Jackson di balik tubuhnya sudah tidak lagi Danielle indahkan. Entah ia bicara sendiri atau justru berkomunikasi dengan orang lain. Tidak ada yang terpikirkan kecuali kondisi Aindita sekarang. Kakaknya tidak menyebutkan luka serius atau hal-hal berbau fatal. Tapi Danielle bisa pastikan kalau itu bahkan membuat keadaan malah kedengaran semakin parah.