The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #14

Tragedi 13

Kertas lukisan yang ditempel di dinding, Danielle turunkan satu persatu. Menyisakan satu ilustrasi wajah ibunya yang memegang satu bunga melati. Menghadap ke cahaya matahari sambil tersenyum, Rachel kelihatan bahagia. Setidaknya ia memang sekarang, meski tidak disini.

Jemarinya mengganggam satu kertas lain di tangan kanan. Setelah meletakkan pengerat, ia tempelkan di dinding. Dekat dengan wajah ibunya. Setiap garis yang ia gores di ilustrasi baru, membentuk sosok seseorang yang bakal ia rindukan pula. Mungkin juga bisa membuat Danielle susah tidur karena mampir di alam mimpi.

Ujung bibirnya ditarik pelan-pelan. Membentuk senyum meski ia sendiri tidak menyadari. Di hadapannya sudah dipajang dua figur perempuan paling berpengaruh dalam hidupnya, ibunya dan Aindita Calypso. Setidaknya Danielle mengingat wajah perempuan Calypso dengan terlampau keras sampai bisa menuangkannya dalam ilustrasi. Berbekal otak, kertas, dan pensil sudah bisa membuatnya ingat Aindita dengan benar mulai sekarang.

 Sesak mendera ulu hatinya beberapa kali. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum berulang kali. Tidak mungkin berhenti dengan cepat. Saking sakitnya, jemari Danielle mencengkeram gaun tidur. Berusaha mengalihkan pedih dengan meyakinkan diri kalau semua bakal baik-baik saja.

Ia tidak bisa.

Pasokan udara semakin menipis. Membuatnya terbatuk-batuk karena terlampau lama diam tanpa mengambil napas.

Danielle menggeram rendah, menahan kekuatan dirinya sendiri. Sesak di dada berubah jadi sebuah kekehan rendah, menertawakan gadis Stephenson lemah yang merasa sudah punya tenaga. Ia bahkan tidak bisa keluar dari bayang-bayang ibunya setelah sekian lama dan sekarang justru berharap untuk bisa melupakan Aindita. Menganggapnya seperti angin lalu tanpa mempedulikan setiap sosoknya yang muncul dari mana saja. Di tengah ruangan, di kursi duduk, taman, semua tempat berbau seperti anak perempuan Calypso itu. Seluruhnya.

Sambil bergetar, punggung kedua tangannya basah akibat air mata. Ia ada di antara emosi yang berturbulensi. Ingin berteriak karena ia kesakitan, tapi di sisi lain ingin menertawakan diri sendiri karena terlalu lemah. Terlalu bodoh.

Danielle berakhir melakukan keduanya.

Jackson tidak berkata apa-apa meski ada di samping Danielle. Warna mereka kontras seakan terpecah jadi dua klan berbeda. Hijau botol dan hitam.

Ruang makan tidak digunakan siapa-siapa di jam tiga sore. Semua orang bakal sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak mengindahkan dua orang Stephenson yang duduk di dua kursi kosong. Saling berhadapan untuk bisa bertatap. Meski Danielle malas sekali kalau dihadapapkan dengan kakanya sekarang dan harus membawa salah satu buku bacaan untuk kemudian menemaninya.

“Buku itu tidak ada gunanya kalau kamu bisa dengar suaraku, sekarang, Elle.” Jackson menyeruput teh di cangkirnya sendiri. Jemarinya mengapit biskuit berbalur madu. “Kamu mungkin merasa tidak perlu bilang ke ayah tapi aku juga butuh tahu kalau kamu harus berangkat kemana-mana.”

“Harus?”

“Komunikasi, komunikasi!”

Danielle menegakkan badan. Bersedekap tangan di atas dadanya. Membawa atensinya ke Jackson sepenuhnya setelah menyematkan pembatas sebagai tanda dimana ia selesai membaca. “Mau bicara apa, sih? Kalaupun aku tidak bilang, juga kamu sudah tahu. Tidak ada gunanya memanggil aku kemari.”

“Bersyukur saja, deh, karena aku masih baik ke kamu.”

Entah bercanda atau tidak, Danielle merasa kalau Jackson ada benarnya. Kakanya sudah terlampau baik sampai mengulurkan bantuan. Ke perihal paling bahaya sekalipun. “Maaf,” bisiknya kemudian.

“Jangan tiba-tiba jadi serius.” Telapak tangan Jackson menggeser buku di hadapan Danielle mendekat ke arahnya sendiri. Membuka lembar demi lembar sembarangan dengan cepat pakai ibu jari. Menimbulkan suara angin dari sela kertas. “Kapan berangkat?”

“Lusa.”

“Cepat juga,” kata Jackson. “Sibuk sekali kamu, ya, ternyata.”

“Kelihatannya begitu?”

“Bukan kelihatannya, tapi kenyataanya memang begitu.” Jackson mengangkat buku Danielle ke udara. Menghalangi cahaya matahari dari jendela. “Sejak kapan kamu suka buku filsafat?”

“Sejak kamu menyuruhku untuk kemari jadi aku ambil buku apa saja biar tidak kamu ajak bicara.”

Jackson mengerlingkan mata, jengah. “Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng karya Jostein Gaarder. Apa kamu lihat persamaannya dengan kamu kalau jadi Petter?”

“Lebih baik tenagamu disimpan buat hal penting daripada bicara omong kosong.”

“Benaran.” Nada Jackson ditekankan. “Apa yang kamu lakukan sekarang berefek dengan kamu di masa depan. Kalau kamu tidak baik ke aku sekarang, lihat saja sepuluh tahun lagi.”

“Sumpah, Jackson. Kalau kamu tidak diam, aku bisa putar leher kamu supaya kepalamu tidak menghadap ke aku.”

“Jangan sok jagoan.”

“Memang jago, kok.”

Jackson menghela napas berat. “Oke, serius sekarang.” Tubuhnya maju ke depan. “Kamu sadar tidak, sih, kalau kamu disuruh-suruh?”

“Bukan begitu,” sanggah Danielle. “Kalau aku tidak pertimbangkan keuntungngannya, aku juga tidak bakal mau.”

“Apa pertimbangannya?”

Kebenaran kematian Rachel dan keselamatan kamu, kak. Tapi Danielle tidak mungkin mengatakannya keras-keras. Biarlah cuma dia dan Ratu Mariana yang tahu. Kalaupun nanti ada apa-apa dengan Danielle, masih ada Jackson dan ayahnya yang menggantikan. Stephenson tidak akan hilang.

“Rahasia,” jawab Danielle. “Tidak semuanya kamu perlu tahu, Jacky. Kalau ada apa-apa, aku bakal bilang.”

“Itu.” Telunjuk Jackson mengarah ke wajah Danielle yang sekarang kebingungan. “Ya, itu masalahmu dengan aku sekarang,” ujar Stephenson lainnya. “Sampai sekarang aku tidak tahu alasan kamu dekat dengan perempuan Calypso itu atau bagaimana ceritanya. Tapi kamu membantu dia dan– aduh!”

Kalimat Jackson berganti dengan pekikan disertai suara kaki meja yang melayang sedikit, lalu jatuh ke lantai tergesa-gesa. Kini laki-laki Stephenson itu mengusap-usap bagian tulang keringnya yang baru saja diterjang oleh sepatu adik perempuan nya.

“Kasar sekali kamu ke kakak sendiri!” Jackson meninggikan suara.

“Kamu duluan yang mulai!”

Elle!” Percik-percik api keluar dari ujung jemari Jackson yang setengah mengerat. Seperti hendak menghantam meja dan mengambil ancang-ancang.

“Jackson.” Kemeja hijau botol kakaknya sengaja Danielle tarik mendekat untuk bisa bertatap dengan wajahnya. Ia tidak perlu pakai suara tinggi kalau sudah sedekat ini. Berbisikpun pasti kedengaran. “Kalau kamu lanjutkan, kamu pikir bakal kena hukuman apa kita? Pikirkan nama belakangmu itu. Sialan.” Tangan Danielle membanting sembari melepas cengkeraman di kemeja kakak laki-laki nya.

Kedua alis Jackson mengerut. Jelaga kemerahan yang ditimbulkan dari api di atas tangannya masih kelihatan. Tidak ada niatan untuk dipadamkan. “Tidak usah diberitahu juga aku sadar diri.”

Bagus.”

“Tapi aku benar-benar mau dengar dari mulut kamu sendiri.”

“Kenapa memangnya?”

“Lihat kamu sekarang.”

Danielle semakin tidak mengerti. Dari atas sampai bawah, sepertinya ia tidak salah kostum. Pakai gaun panjang hitam dengan selendang di lipatan siku yang punya warna sama. Rambutnya sengaja digerai dan menyisakan satu bando kelabang di atas kepala. Pernik-pernik di sekitaran simpul, kepunyaan Aindita. Sekarang pasti sedang menyala akibat sinar matahari. Warnanya kebanyakan emas dan sedikit menyimpang dari warna Stephenson yang perak. “Bicara yang jelas,” ucapnya.

“Lupakan saja lah. Kamu peka nya selalu telat.” Karena sudah terlanjur memunculkan elemen api Stephenson, Jackson berakhir memainkannya di sela-sela jari. Berputar-putar dan menyebabkan ekor api nya menari-menari. “Kalau berangkat, nanti, hati-hati. Mereka memang punya elemen yang sama dengan kamu. Tapi bukan berarti kalian teman. Belum.”

“Kamu bilang begitu karena tidak tahu penderitaan mereka.”

Kalau saja Jackson berkata untuk berhati-hati pada semua orang, bukan hanya klan Kronos. Kalau saja ia tahu lebih awal kalau tidak semua orang baik punya niat serupa. Kalau saja Danielle selangkah lebih maju, Aindita pasti bakal ada disini.

Partikel-partikel debu di ruangan melambung di udara ketika diterpa sinar matahari. Membuat bayangan banyak titik-titik melayang di lantai. Warnanya kuning keemasan dan mengingatkan Danielle ketika anak perempuan Calypso ada di dalam ruang perawatan. Mengejar kupu-kupu seperti tidak pernah lihat sama sekali. Bayangan sosok Aindita masih terasa. Di bawah sinar matahari, menari-nari dan tersenyum ke arah Danielle.

Wajah itu bakal dipahat otaknya sekeras ia membentuk Rachel dalam ingatan.

Lihat selengkapnya