Sebas membawa Danielle dan Jessica masuk ke salah satu bilik kamar yang luas. Katanya, Danielle butuh istirahat karena baru saja sampai. Maksud kedatangan keduanya bisa didiskusikan esok hari.
Bayangan di cermin menampilkan sosok serupa dengan yang Danielle wanti-wanti. Perempuan Stephenson baru dewasa dengan setelan warna hitam lagi. Dibalut rok panjang selutut dengan celana. Sekarang ia pakai sedikit warna Stephenson lain di kainnya, hijau botol. Surainya disimpul kelabang beberapa dan di antar ke atas. Membentuk sanggul lumayan rumit yang Danielle sendiri awalnya kuwalahan. Pernik-pernik keemasan milik mendiang kawannya dari Calypso masih disimpan. Sekarang ia sematkan di beberapa sudut sebagai pemanis. Warnanya yang emas, mungkin bisa membuat orang lain kebingungan karena kurang sesuai dengan dinginnya warna Stephenson.
Menoleh ke balik badan, Danielle bertemu dengan siluet Jessica. Berbalut gaun panjang merah jambu tapi gelap. Jadi kelihatan usang. Warnanya seperti tertimpa debu dan lama tidak dipakai. Surai dwi-warna nya sama-sama disimpul kelabang. Bedanya Jessica membiarkan untaiannya jatuh ke pundak kanan.
“Ini bukan bangunannya,” gumam Jessica sambil menyematkan lencana Maya di dada. “Lebih ke.. ini bukan bangunan asli.”
“Banyak yang tidak masuk akal disini.”
“Pertama, Sebas bilang kalau dia Athanasius.” Jessica mengacungkan jari telunjuk. Seperti orang berhitung mulai dari angka satu. “Kedua, kita masih belum ada di bangunan utamanya.” Jari tengahnya ikut terangkat.
Soal Athanasius yang punya banyak warna, mengingatkan Danielle pada poin-poin yang pernah dicatat oleh Aindita. Ketika ia baru saja pulang ke Southares dan mengunjungi anak itu untuk sekadar membunuh waktu. Tulisan tangan nya bahkan masih Danielle ingat dengan jelas. Setiap goresan yang menghubungkan antar huruf satu dengan lainnya. Membentuk kalimat, ‘Klan Kronos sejajar dengan Athanasius.’ Kalau tidak salah, entah saking pentingnya atau bagaimana, Aindita membuat coretan garis yang melingkari kalimatnya dengan pena merah.
Sepulang dari sini, aku harus bisa menemukan catatan itu.
“Dan kamu ingat, kan, berita-berita di koran dan radio? Orang-orang berdarah Kronos itu menculik banyak orang ningrat dan membawanya kemari,” sahut Jessica.
“Jangan keras-keras.”
“Maaf.” Jessica duduk di tepian kasur. “Aku? Ngingrat. Kamu? Tentu saja. Calon Ratu, lagi. Tujuan mereka menjamu kita sekarang apa, dong?”
“Sopan santun.” Danielle menjawab sekenanya. “Kenapa pula kamu bertanya ke aku kalau yang punya sebutan Si Serba Tahu itu Jessica Maya?”
“Aku tidak punya tujuan untuk melakukan kontak fisik tidak penting dengan Sebas... Athanasius? Dia kelihatan seperti Arquemedes.”
“Dia Athanasius kalau dia bilang begitu. Hormati pilihannya, Jessica.”
“Tentu, Yang Mulia.”
Danielle awalnya mengira kalau penerangan bakal ditunjang oleh kumpulan lilin yang diletakkan dekat dengan dinding. Lampu kaca berlapis-lapis yang menyapanya di ruangan utama bakal cuma jadi hiasan saja. Tapi ternyata listrik mengalir sampai kemari. Membuat aula utama benderang saking terangnya.
Makan malam memang tidak bakal semegah yang diadakan di Southares, tapi cukup untuk membuat Danielle menengadah memandangi ruangan. Seakan meneliti bangunan dari ujung mata memandang sampai ke balik tubuhnya.
Ruangannya lengang selebar ruang singgasana milik Alceon di Istana Janji Hitam. Bedanya tidak ada kursi dari batuan alam disini. Di bawah kaki juga digelar tikar warna hitam legam. Tanda kalau orang berdarah Kronos menyambut Danielle dengan warna klannya sendiri.
Semua yang hadir mengenakan warna kelabu dari terang sampai gelap. Dari perawakan, Danielle bisa lihat bermacam klan berkumpul jadi satu. Menikmati hidangan sambil berbincang dengan kawan. Mungkin apa yang dikatakan Sebas ada benarnya kalau Athanasius disini punya banyak warna.
“Semoga ini cukup untuk Yang Mulia.” Sebas berujar dari balik tubuh Danielle. Sosoknya yang tinggi hampir menghalangi sinar lampu di tengah ruangan. “Kami tidak sempat siapkan karena mendadak.”
“Terimakasih,” jawab Danielle. “Boleh aku tanya sesuatu, Sebas?”
“Tentu, Yang Mulia.”
“Apa kamu pimpinan mereka?” Kedengaran negatif. Tapi sudah terlambat kalau untuk menarik kalimatnya lagi. Danielle berakhir menjaga ekspresi tenang sambil menanti-nanti jawaban.
“Tidak ada pimpinan disini, kalau Yang Mulia tanya soal siapa yang memberi titah. Tapi kalau koordinasi, ya, aku orangnya.”
“Aku baru tahu kalau berbeda.” Jemari Danielle bertemu dengan permukaan kulit apel di dalam keranjang. Mengusap-usapnya pelan sambil memandangi warnanya yang kemerahan. Segar dan lebih mencolok di antara buah-buahan lain. “Jadi aku cuma bakal berbicara dengan kamu saja atau kamu punya orang lain seperti asisten?”
“Ada beberapa, Yang Mulia.”
Mendengar Sebas menyebutnya beberapa kali, membuat Danielle kurang nyaman. Ia masih tidak terbiasa dipanggil dengan sebutan kebesaran. ‘Lady’ saja sudah terlampau berat. Meski ia juga harus sadar posisi kalau sekarang Danielle tidak bisa dianggap sebagai lady dari klan Stephenson biasa.
Danielle hampir terhuyung ke depan ketika sesuatu menabrak kaki kanannya. Benda tumpul dan terlampau besar. Cepat-cepat ia menoleh ke balik badan. Memastikan apa yang baru saja menabraknya.
“..Ami.” Gadis perempuan cilik berusia sekitar empat tahun mengagetkan Danielle. Kedua tangan mungilnya memeluk kaki Danielle terlampau erat. Seakan tidak mau dilepaskan dalam waktu dekat. “..men.”
Tubuh Danielle berjongkok. Menyejajarkan tingginya dengan sosok gadis mungil di sampingnya. Memandangi surai anak itu yang secokelat madu. Kedua manik matanya juga menyala hazel, persis seperti miliknya. Sudut bibir Danielle tidak sengaja terangkat dan membentuk senyum simpul. Ia sejenak bersyukur karena di dunia ini masih ada Stephenson lain yang bakal menggantikan dirinya kalau-kalau mangkat di waktu dekat.
“Adara.” Sebas menegur sambil mengapitkan tangannya di kedua ketiak si gadis Stephenson mungil. “Nanti kita main lagi. Ke mama dulu, ya?”
“..men, Bas.” Tangan-tangan pendek Adara meraih-raih udara. Seperti hendak menggapai sesuatu tapi tidak sampai. Dari sini Danielle bisa melihat setelan abu-abu yang menempel di tubuh kecil nya. Membentuk rok panjang sampai menutup kedua kakinya yang bersepatu cilik.
Danielle tidak bisa menerka apa yang hendak anak itu katakan. Minimnya orang yang berkeliaran di kediamannya dulu membuatnya jarang bertemu dengan anak-anak. Rasanya lega sekali bisa melihat perempuan kecil dengan ciri-ciri Stephenson disini.
“Nanti, ya?” Sebas meraih dua telapak tangan Adara sambil mengalihkannya ke pundak sendiri. Membuat pandangan gadis kecil itu berpindah ke arahnya.
“Apa dia juga diberi nama Athanasius?” Tanya Danielle.
“Tidak, tentu saja,” jawab Sebas. “Umurnya terlalu dini untuk menentukan apa dia orang berdarah Kronos atau punya elemen dari klannya sendiri. Jadi masih pakai Alexander.”
“Stephenson.” Danielle berujar secepat yang ia bisa. “Kalau dia orang Stephenson, bawa dia ke Jackson, pimpinan Stephenson yang bakal dilantik beberapa bulan lagi. Keselamatannya bisa dijamin.”
“Dia bisa hidup dengan tenang tanpa ada campur tangan orang istana, Yang Mulia.”
“Kalau kamu berpikir, anak sekecil ini punya orang tua berdarah Kronos, dia mungkin bisa jadi bahan bulan-bulanan di sekolah.” Jemari Danielle membenahi anak rambut Adara yang mulai ia kulum-kulum sendiri. “Setidaknya aku bisa berguna untuk Stephenson.”
Sebas tidak menjawab atau menyanggah. Manik matanya yang keemasan memandangi Danielle dalam diam. Seperti mulai menyadari kalau ia tidak ada di posisi untuk memberi tanggapan sekarang.
“Apa ini anakmu, Sebas?” Tanya Jessica di samping kiri Danielle.
“Bukan.” Sebas akhirnya bicara. “Ibunya ada di istana. Ditangkap dua bulan lalu. Aku yang bertanggung jawab kalau ada di situasi seperti ini.”
“Selalu kamu?”
“Selalu.”
Ditangkap. Kesadaran Danielle ditarik ke kejadian di acara Pemilihan Ratu. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana dua orang penjaga menyeret Aindita dari arena. Membawanya ke dalam kamar dengan warna putih dan melukiskan banyak luka baru di tubuhnya. Sejenak pandangan Danielle jadi berkunang-kunang dan terasa pening.
Lengan Danielle terulur untuk mengambil satu batang permen yang sengaja disediakan di atas meja. Membuka plastiknya dan memberikannya pada Adara. Anak itu mulai mengecap-ngecap ibu jarinya sendiri sambil mulai menghisap. Ketika manik matanya menangkap bayangan permen, kedua lengannya melayang di udara. Mencoba mengambilnya sendiri dari tangan Danielle.
“Tumbuhlah jadi anak yang kuat, Alexander Adara Stephenson,” kata Danielle sambil menggenggamkan permen ke tangan mungil gadis kecil Stephenson. “Kalau kamu tidak keberatan, Sebas, aku bisa gendong Adara sambil jalan-jalan.”
“Tidak perlu, Yang Mulia.” Sebas menjawab cepat. Hampir-hampir menyela. “Biar aku yang gendong. Yang Mulia bisa berbincang seperti biasa.”
“Ngomong-ngomong, Sebas.” Jessica mengusap-usap punggung Adara sambil memakukan pandangan pada laki-laki Athanasius di hadapannya. “Mau sampai kapan kamu berdiri di bangunan kosong ini? Bukannya sudah waktunya memberi tahu dimana bangunan aslinya?”
Sebas diam di tempat. Seperti terpaku ke tanah. Adara di dalam gendongannya masih mengulum-ngulum permen. Membuat suara decakan dengan kedua pipi saling membesar bergantian.
…
Adara ternyata punya pipi lebih gembul dari yang Danielle kira. Awal melihatnya saja sudah membuat Danielle gemas bukan main. Hasrat untuk mengusapkan pipinya sendiri ke salah satu sisi pipi Adara tidak bisa ditahan. Ia berakhir mendudukan gadis mungil Stephenson itu di atas pangkuan.
Letak bangunan di dalam hutam memberi keuntungan tersendiri. Duduk di salah satu pohon dengan bayang dedaunan di atasnya ternyata bisa senyaman ini. Cahaya matahari terhalang awan di atas langit. Membuat angin sejuk pelan-pelan menerpa kulit Danielle yang berbalut gaun hitam panjang. Surainya digerai sampai jatuh ke rerumputan. Menyisakan separuhnya dengan ikatan asal di balik kepala.
Sosok Stephenson lain di pangkuannya berbaluk setelan warna kelabu. Danielle menyematkan selendang hijau botol miliknya untuk menutup bagian lengan Adara yang terbuka. Di kedua tangannya, Adara menggenggam satu buah permen. Masih berbungkus plastic rapi tapi sudah basah di sana-sini. Mungkin Adara mulai lapar dan butuh makanan lebih berat dari sekadar permen.
“Adara lapar?” Tanya Danielle.
“Apai..” Kalimatnya cuma seperti diulang. Jadi Danielle tidak bisa pastikan apakah sekarang sudah masuk waktunya untuk gadis kecil ini makan atau belum.
“Aku kira, kamu bakal canggung kalau dibiarkan sendiri dengan anak kecil.” Suara Jessica menyapu pendengaran Danielle. Sosoknya muncul dari balik salah satu pohon dan duduk di hadapan Danielle. Kedua lengannya terulur untuk bisa menempatkan Adara di pangkuannya sendiri. “Tenang sekali, ya, disini.”
Danielle mengangguk membenarkan. “Kalau saja semua wilayah Emrys bisa setenang ini.”
“Kamu membayangkan sesuatu yang tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin bakal terjadi di dunia nyata.”
Kalau saja ia berhasil membawa pergi Aindita, ia mungkin bakal berpikir untuk membawanya kemari. Sayangnya Danielle tidak pernah tahu ada tempat seperti ini. Lingkungan setenang dan sekondusif ini untuk mengistirahatkan pikirannya sejenak. Ia jadi bingung harus berterima kasih atau marah-marah waktu nanti bertemu dengan Mariana di Istana Janji Hitam.
“Kamu mudah sekali hilang dari dunia nyata.” Jessica menggendong Adara di lengan kanan. Membiarkan gadis kecil itu bermain-main dengan rambutnya yang beda warna. “Mau berkeliling?”
“Adara sepertinya sudah waktunya makan. Aku tidak tahu jadwal makannya.” Kedua lutut Danielle menumpu badannya untuk berdiri. Sambil mengibas-ngibaskan bagian roknya yang kusut karena terlalu lama duduk.
“Ini masih jam sepuluh pagi. Dia pasti sudah sarapan,” kata Jessica. “Aku sepertinya tahu dimana bangunan asli mereka.”
Manik kelabu Jessica memantulkan bayangan pepohonan. Membuatnya kelihatan teduh tapi menyala-nyala karena hasrat di dalam badannya. Kalau Jessica menggunakan semua kemampuannya dengan baik dan mengerahkannya untuk menghancurkan orang, bakal bahaya. Danielle sudah mencoba untuk menjauh dari anak perempuan terakhir klan Maya ini, tapi Jessica justru yang selalu berakhir mendekat. Mereka jadi seperti magnet. Tarik menarik secara tidak sengaja.
…
Jalan setapak gundul membuat Danielle yakin kalau mereka berjalan di tempat yang benar. Bagian-bagian rumputnya seperti sudah menyerah untuk tumbuh di daerah yang selalu ditapaki kaki. Ilalang di sekitaran membuat Adara bersin beberapa kali. Selendang Stephenson di pundaknya jadi harus digunakan untuk menutup separuh wajahnya sementara. Beberakali juga membersihkan ingusnya supaya tidak mengotori pakaian.
“Adara lapar, tidak?” Suara Jessica sedikit menggema di tengah hutan. Wajahnya sumringah sambil menimang-nimang badan Adara yang enteng. Baru kali ini Danielle lihat Jessica bisa tenang dan tenggelam di dunianya sendiri. “Tante bakal buatkan makanan enak, nanti.”
Danielle mengernyit. “Kamu jadi kedengaran lebih tua dari seharusnya.”
“Memang aku sudah tua.”
“Bukannya masih dua puluhan?”
Manik mata Jessica melirik Danielle sekilas. “Umurku dua puluh lima, Lady Danielle.”
Langkah kaki Danielle berhenti sebentar sambil mengerjap-ngerjap kebingungan. Awalnya ia memang mengira kalau Jessica lebih tua dan tidak kelihatan ada di umur awal dua puluhan. Tapi setelah tahu aslinya, Danielle tidak menduga kalau lebih dari dua puluh tiga.
“Kenapa? Terkejut?” Tanya Jessica.
“Lumayan.” Jemari Danielle mengangkat ujung-ujung roknya perlahan. Menyibakkannya dari ilalang yang mulai menyangkut di sekitaran. “Kalau dari wajah kamu, malah kelihatan seperti baru tujuh belas tahun.”
“Penampilan bisa menipu pun juga perlakuan.”
“Kedengaran seperti kamu mau menyeretku ke percakapan serius.”
Jessica terkikik. Membuat Adara dalam gendongannya terguncang setitik-setitik. “Kebiasaan. Kamu enak diajak bicara serius. Jadi kadang aku tidak bisa kontrol.”
“Tidak semuanya, Jessica. Aku juga butuh istirahat.”
“Maafkan aku, Yang Mulia.”
Jessica memang selalu tahu bagaimana caranya membuat Danielle tidak nyaman.
“Mungkin ini rumah asli mereka,” kata perempuan Maya.
Bangunan baru yang asing membuat Danielle bertanya-tanya mengapa pula bisa ada di dalam hutan dan tidak ada yang sadar. Besarnya hampir sama seperti kastil Olympia di Agaton. Bedanya ini bukan dibangun di samping sungai yang mengarah ke laut. Bangunan ini justru seperti ada di tengah danau. Warnanya putih tulang dengan ornamen di sudut-sudut atap. Melingkar dan meliuk seperti memang didesain untuk orang ningrat. Danielle bisa bedakan bangunan untuk hunian pribadi dengan mansion khusus untuk tempat tinggal orang istana. Bangunan ini jelas punya pondasi luar biasa sampai bisa sukses dibuat semegah ini.
Dari sudut tempat Danielle berdiri, jendela cuma ada dua jendela tidak berkaca di sisi kanan dan kiri. Jembatan dari beton membuat Danielle mengingat Istana Janji Hitam. Hampir sama persis tapi punya desain berbeda di pagar pembatas.
“Jessica.”
“Iya?”
“Kamu ingat yang dikatakan Sebas kalau Athanasius disini punya banyak warna?”
Jessica malas melirik. Ia cuma sekadar menganggukkan kepala. Tanda kalau ia mendengarkan dan bakal menjawab kalau diperlukan.
“Sepertinya, aku tahu maksudnya kenapa dia pakai nama belakang Athanasius.” Danielle melangkah untuk bisa mendekat ke tubuh Jessica. Memberikan usapan hangat pada puncak kepala Adara yang memandanginya ingin tahu. “Yang dikatakan Aindita, baru sekarang aku tahu maksudnya.”
“Banyak yang dia katakan ke kamu tapi aku tidak mau tanya sekarang.”
“Terimakasih untuk itu.”
“Bas..” Lengan Adara terulur ke depan dengan jemarinya yang menggapai-gapai angin ke arah kastil. Seolah seseorang menunggunya disana. Dari kalimat aneh yang ia ucapkan, sepertinya Adara memanggil Sebas.
“Kalau kita memaksa masuk, aku tidak yakin bakal bisa.” Melihat dari area di sekitaran, tidak ada penjaga sama sekali. Tapi Danielle tetap was-was. Tidak ada yang menjaga bukan berarti area ini selalu aman. “Dan lagi ini termasuk lancang karena Sebas belum memberi kita ijin.”
“Danielle. Kamu selalu lupa kalau kamu punya posisi tertinggi di negara ini dengan berangkatnya Alceon ke Theoplous.” Jemari Jessica bermain-main di hadapan Adara. Di ujung-ujungnya muncul percik-percik air bening mirip seperti tetes embun. Melayang di atas jari tapi mengekor ketika Jessica menggerakkannya kemanapun. Sejenak Danielle sadar kalau sehebat apapun kemampuan anak itu melihat kemungkinan masa depan, Jessica tetaplah seorang Maya yang membawa elemen air serta tanah.
“Mungkin. Tapi jadi lancang memang tidak ada di kamusku.”
“Sepertinya aku punya ide.” Jessica melangkah panjang-panjang. Meninggalkan Danielle yang masih berpangku tangan. Ia berhenti di depan pintu kayu yang punya tinggi sekitar dua kali badannya. Berteriak beberapa kali tapi tetap tidak ada jawaban.