The Forgotten Queen

Saturnodeus
Chapter #16

Tragedi 15

Gelas di dapur cuma tersisa lima buah. Berjejer rapi di rak yang digantung di dinding. Warnanya putih bening dan bersih seperti tidak pernah dipakai atau bahkan masih baru dibuka dari kotak.

Danielle tidak tahu seberapa banyak orang yang tinggal di kastil sebesar ini. Suasananya tetap senyap seperti tidak pernah terjadi kegaduhan sama sekali. Suara dari luar yang bisa ditangkap pendengarannya cuma jangkrik dan gesekan dedaunan yang dimainkan angin. Selebihnya kosong.

Air putih di dalam gelas, ia teguk pelan-pelan sambil memikirkan bagaimana caranya melepas cincin berair di atas kepalanya. Jessica sudah mencobanya lima kali tanpa berhenti. Benda itu seperti tertancap di atas ubun-ubun dan membuat pergerakan kepala Danielle jadi lebih berat. Warnanya yang semerah darah dengan gelembung-gelembung air membuat bentuknya kelihatan aneh. Bayangannya di tembok saja, Danielle enggan suka.

Indera perasanya tidak sengaja menangkap sosok lain di balik dinding yang memisahkan dapur dengan lorong. Meski ada di markas orang-orang dengan elemen serupa, Danielle masih tidak mengendorkan insting. Tidak ada yang tahu siapa saja yang menaruh dendam padanya.

“Sebas?” Tanyanya ke udara kosong. “Aku tidak suka dikejutkan.”

“Aku juga, Yang Mulia.”

Suara itu asing menyapa pendengaran Danielle. Sosoknya berjalan pelan-pelan mengikis jarak. Setelah keluar dari bayangan tembok dan diterpa cahaya rembulan dari jendela, Danielle baru bisa lihat bagaimana rupa yang punya suara. Setelan rapi kelabu menempel di tubuh laki-laki dengan tinggi persis seperti Sebas. Bedanya adalah pemuda ini berkacamata dengan bingkai hitam. Menyatu apik dengan surainya yang berwarna sama. Ada setitik-setitik bias keperakan yang Danielle lihat dari tumpukan anak rambut. Mungkin beberapa helainya memang berwarna putih. Entah uban atau alasan lain yang Danielle enggan tahu. Di balik kaca lensa, manik matanya menyala keemasan. Klan Dafandra.

“Sayangnya aku bukan Sebas,” katanya lagi.

Danielle membungkuk sedikit untuk memberi salam sopan dan disambut hal serupa oleh sosok di hadapan. “Tolong panggil aku Lady Danielle, Lord..” Kalimat itu menggantung. Seakan memancing lawan bicara untuk memberi tahu siapa gerangan.

“Jaeson Athanasius. Salam kenal.”

“Salam kenal.” Danielle menyunggingkan senyum ramah. “Maaf kalau aku sedikit berisik.”

“Tidak sama sekali, Lady.”

“Senang mendengarnya.”

“Jadi benar kalau kamu sudah dimahkotai Sebas,” ujar Jaeson sambil berjalan mendekat ke meja di samping Danielle. Tangannya terulur untuk mengambil gelas baru. Menuangkan air mineral dalam teko dan duduk di salah satu kursi kayu yang tersedia.

“Seperti kelihatannya.”

“Apa ada hal yang tidak mengenakkan?”

“Mahkota ini harus dilepas sebelum aku kembali ke Southares.”

“Boleh aku tahu alasannya?”

Danielle menarik kursi lain. Duduk sedikit lebih jauh. “Kalau aku kembali dengan mahkota ini, sama saja aku menantang Ratu Mariana yang masih menjabat.”

Jaeson manggut-manggut. Menyebabkan air di dalam gelas yang masih menempel di bibirnya bergolak pelan-pelan. Gelas yang sudah kosong diletakkan di tempatnya kembali. “Bisa dimengerti. Aku bakal bilang ke Sebas, nanti.”

“Terimakasih.”

“Ada yang lain?”

Alis kanan Danielle terangkat, tanda tidak mengerti. “Tidak. Itu saja cukup.”

Tubuh Jaeson membungkuk setelah beranjak dari kursi. Surainya yang kelam memantul keperakan karena cahaya bulan. Danielle bahkan mengira kalau kacamata yang dikenakan anak itu bakal jatuh ke lantai saking dalamnya ia membungkuk.

“Jaeson, aku sudah bilang, kan, kalau jangan lama-lama!”

Bayangan orang lain muncul dari lorong. Membuat suara debuman pintu membahana sampai dapur. Suara seorang perempuan. Dan Danielle agaknya familier. Bukan salah satu orang dari istana dan bukan pula keluarganya. Seseorang yang sepertinya dekat tapi juga terasa begitu jauh.

Manik hazel Danielle membelalak sebentar setelah menangkap kilau surai dwi-warna dari balik dinding. Memakai rok pendek kelabu selutut dengan manik mata berbias serupa. Sepatu boots tinggi yang dikenakannya mengatuk-ngatuk di atas lantai keramik seiring langkahnya mendekat. Dengan struktur wajah berbeda dari Jessica, Danielle kenal betul siapa perempuan di hadapannya.

“Cecillia?” Tanya Danielle memastikan.

Lengan perempuan itu ditarik Jaeson mendekat tanpa berpindah dari posisi merunduk. Membuat badan Cecillia membungkuk secara paksa. Meski awalnya tidak sesuai kehendak, Cecillia bertahan di posisi serupa.

“Yang Mulia,” ujar Cecillia. Suaranya dibumbui rasa bersalah. “Maaf karena berteriak, malam-malam begini.”

“Tidak, tidak. Aku tidak keberatan sama sekali. Tapi kalau ada anak kecil, memang baiknya tidak terlalu berisik.” Danielle jadi merasa tidak enak. Perasaan canggungnya semakin besar ketika bingung harus bereaksi macam apa. Mengetahui kalau Cecillia ada di bangunan yang sama dengannya sudah membuat pikirannya sedikit dikejutkan. Kini ia harus beradaptasi dengan keduanya pula yang masih memperlakukan Danielle terlampau formal. “Panggil aku Lady Danielle. Aku sedikit tidak nyaman kalau kalian terlalu bagimana begitu. Aku belum jadi Ratu, lagipula.”

Cecillia mengerjap-ngerjap dan mendongak sebentar. Manik matanya tertuju pada Jaeson yang masih memakukan pandangannya pada sepatu pemuda itu sendiri. “Tapi Yang Mulia sudah di–” kalimat itu diputus tarikan Jaeson pada lengannya.

“Kami pamit dulu,” kata Jaeson.

“Tolong tinggalkan Cecillia disini. Aku butuh bicara dengan dia, kalau kamu tidak keberatan.” Danielle menarik kursi di sampingnya. Menepuknya beberapa kali supaya tidak ada debu bersisa. “Duduk disini denganku.”

Jaeson memastikan kalau kawannya baik-baik saja dengan pandangan dari balik bingkai kacamata. Setelah Cecillia mengangguk, bayangannya menghilang di balik dinding. Meninggalkan teman perempuannya sendiri bersama dengan Danielle. Ditemani cahaya rembulan dari balik jendela.

“Mengejutkan sekali,” ujar Danielle. Manik mata hazel nya mengamati tubuh Cecillia yang ragu-ragu duduk di kursi. “Bagaimana kabar kamu? Lama tidak bertemu.”

“Baik, Yang Mulia.”

Danielle harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal. Karena setiap orang yang ditemuinya disini seakan tidak bisa memperlakukannya biasa. Ia berakhir menyerah. Membiarkan mereka memanggilnya apa saja asal masih kedengaran sopan dan tidak melangkahi kodrat. “Keluarga kamu?”

“Sehat.”

“Senang mendengarnya.”

“Apa Yang Mulia tidak mau memarahi aku?”

Kelopak mata Danielle mengerjap-ngerjap. “Haruskah? Kamu tidak berbuat salah sama sekali.”

“Tapi aku berbohong.”

“Kamu cuma tidak bilang. Tidak ada kebohongan yang kamu ungkapkan.”

“Terimakasih.”

“Jadi kamu tinggal disini juga?” Surai cokelat Danielle yang digelung di atas kepala, jatuh sedikit-sedikit ke pundak ketika ia mendongak. Mengamati dapur gelap tempatnya berpijak sekarang. “Disini hangat. Sedikit berbeda dengan di Gugur atau Istana Janji Hitam, bahkan.”

Cecillia diam saja. Tidak punya niatan untuk menjawab.

Lihat selengkapnya