Gambaran awal yang ditangkap pandangan Danielle adalah atap kasur. Berlapis warna keemasan tipis menggantung digunakan sebagai tirai penghalau nyamuk. Warna lain yang bisa ia tangkap adalah biru keabu-abuan sofa ruangan di samping kanan tempatnya terbaring.
Ornamen ruangan berbeda dengan yang ada di Emrys yang meliuk-liuk meriah. Kamarnya kali ini beratap tinggi dengan dua pilar panjang penyangga tungku. Tidak dinyalakan tapi ruangan masih terasa hangat akibat sinar matahari pagi dari jendela. Keadaan jadi stabil ketika Danielle tahu kalau kamar ini bercat putih salju, tidak seusang warna putih tulang bangunan Emrys.
Satu orang terbaring di sofa panjang. Pakai setelan putih dengan rompi panjang yang seperti enggan dilepas. Di sampingnya, sosok Sebas memejamkan mata sambil duduk. Entah sedang tidur atau cuma memejamkan mata saja. Luka di daun telinganya sudah tidak terlihat. Berganti jadi jaringan rangka baru. Ternyata mereka bisa akur juga. Danielle mengira kalau keduanya tidak mungkin bisa ada di dalam satu ruangan. Mengingat Sebas menolak mentah-mentah memahkotai Danielle di hadapan Alceon Athanasius.
Beban di atas kepalanya mengantarkan tubuh Danielle untuk duduk. Bersandar ke punggung kasur sambil melihat-lihat sekitaran. Ketika ia baru saja bangun dari pingsan setelah misinya membawa Aindita, Jessica menunggu dengan kursi di samping tubuhnya berbaring. Kini anak itu tidak nampak sama sekali. Suaranya yang terlampau lantang juga tidak bisa Danielle dengar. Mungkin ia ada di ruangan berbeda mengingat luka anak Maya itu juga serius.
Pintu ruangan terbuka pelan-pelan. Danielle sudah menduga-duga kalau sosok Jessica bakal muncul dengan membawa makanan. Tapi dugaannya kali ini salah. Warna kelabu dengan surai dwi-warna membuatnya sadar kalau perempuan yang membawa baskom berisi air itu adalah Cecillia. Rambutnya ditata rapi dengan tautan kelabang yang tersampir di pundak kanannya.
Danielle bisa lihat jaringan kulit baru di kedua tangan Cecillia. Warnanya masih merah seperti daging bayi yang baru lahir. Perempuan itu tidak bicara apa-apa. Tidak pula menunjukkan ekspresi terkejut ketika Danielle bangun. Semata-mata cuma melangkah masuk dan duduk di tepian kasur. Telapak tangannya hangat menyentuh kening Danielle. Mungkin mengecek suhu tubuh.
“Permisi, Yang Mulia,” katanya akhirnya. Jemari baru Cecillia terampil membentuk simpul kelabang di surai Danielle. Pelan-pelan sampai selesai dan menyentuh lutut. Setelahnya ditarik ke atas tanpa menyentuh cincin berdarah yang melayang di atas kepala Danielle.
Basuhan air hangat membuat kulit Danielle lebih tenang. Ia tidak pakai sehelai kain pun di balik selimut. Cuma perban menutup bagian dada sampai ke punggung. Tidak punya waktu juga untuk merasa malu ketika nanti Alceon atau Sebas terbangun. Pikirannya terlalu capai untuk mengkhawatirkan hal-hal tidak penting, sekarang. Tangan kiri Danielle belum bertumbuh. Cuma sampai ke pergelangan lalu menghilang. Luka di pundak serta sayatan-sayatan ringan di sekujur badan, dibalut plester sewarna kulit. Tersamar hampir sempurna seperti tidak ada gores sama sekali.
“Apa kamu menemukan tubuh ayahku?” Tanya Danielle. Pandangannya enggan berpindah dari lipatan handuk yang sedang menyapu pelataran perutnya.
“Maaf, Yang Mulia. Tapi tidak.”
Danielle manggut-manggut mengerti. Awalnya memang ia cuma bisa menemukan kepalanya saja menggantung di gerbang. Kalaupun ada badannya, Danielle tidak yakin kalau bisa mengebumikan ayahnya dengan layak.
“Tapi aku membawa kepala Lord Alan kemari,” tambah Cecillia. “Sekarang ada di ruangan yang berisi abu orang lain.”
“Orang lain.” Danielle mengulang. “Kamu tahu, kita ada dimana?”
“Easterian, Theouplous.”
Theouplous adalah negara dengan Athanasius pembawa air Poseidon. Danielle tidak pernah tahu apa maksud dari semua kejadian yang menimpanya. Kepalanya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Mulai dari nasib kakaknya yang entah bagaimana, sampai pertanyaan mengapa pula ia tidak kunjung melihat Jessica. Perempuan itu terlampau susah untuk menjaga jarak dengan Danielle. Dan Danielle pula sudah terlalu biasa dengan keberadaan Jessica di dekatnya.
“Maaf, Yang Mulia,” kata Cecillia. “Aku tidak bisa bicara lebih banyak karena sepertinya bukan tempatku.”
“Tidak apa-apa. Terimakasih, sungguh.”
Manik mata Danielle mengedar ke ruangan. Ke dua orang yang sedang tertidur di balik tubuh Cecillia duduk. Alceon menggeliat tidak nyaman di atas sofa. Tangannya menekuk sebagai pengganti bantal.
“Alceon,” tegur Danielle. “Bangun, Alceon.”
Tidak ada respon berarti. Athanasius yang masih bermahkota api hitam itu tetap tertidur pulas setelah berganti posisi.
“Alceon.” Danielle mencoba memanggilnya sekali lagi. “Alceon!” Meski sudah berteriak, sepertinya sia-sia saja. Alceon tetap tidak terjaga. Menyebalkan.
“Yang Mulia?” Suara Sebas berat. Khas orang bangun tidur.
Danielle menghela napas jengah. Ia jadi membangunkan orang yang tidak seharusnya. “Maaf, Sebas. Bisa minta tolong bangunkan Alceon?” Tanyanya. “Aku butuh memastikan sesuatu.”
Tangan kiri Sebas sudah betumbuh baru. Warnanya tidak semerah milik Cecillia. Tapi tetap saja kulitnya terlihat tipis. Sulur pembulu darah bisa terlihat meski tidak terkena sinar matahari. Ia sekarang kelihatan enggan membangunkan Putera Mahkota di samping tubuhnya. Danielle bisa maklumi itu.