Udara pagi di desa Akebono masih berbau asap dan abu. Malam pembantaian telah merenggut nyawa banyak penduduk. Rumah-rumah kayu hangus, ladang terbakar, dan jalanan penuh darah yang mulai mengering. Katsuro Araki berdiri di antara puing-puing, tubuhnya gemetar, wajah pucat, matanya masih terbayang kilatan pedang Ryunosuke.
Ia menyentuh tangannya. Bekas tinta hitam masih ada, seolah menempel di kulitnya. Itu bukan mimpi. Pedang tinta benar-benar ada, dan ia benar-benar menggunakannya untuk bertahan hidup. Namun, kekuatan itu terasa asing, seakan bukan miliknya sendiri.
Hari-hari berikutnya penuh rasa takut. Katsuro hidup dengan sisa makanan, menghindari penjaga yang memeriksa desa, dan mencoba memanggil kembali pedang tinta itu. Namun pedangnya selalu rapuh, hancur setelah satu atau dua ayunan.
Ia mengingat kembali kata-kata Ryunosuke: “Dunia ini hanya mengenal darah sebagai tinta.”
Mungkin benar—kekuatan pedang itu hanya akan bertambah kuat bila diberi darah. Tapi bagaimana bisa ia membunuh, sementara ia bahkan bukan seorang petarung?
Setiap malam, ia mendengar bisikan. Kadang suara samar seorang perempuan, kadang tawa iblis, kadang suara karakternya sendiri yang berbicara kepadanya.
Katsuro mulai mengerti. Jika ia ingin hidup, ia harus berperan, bukan sekadar NPC yang menunggu mati.
Suatu sore, ketika ia berlatih dengan pedang tinta di hutan bambu, seseorang muncul. Seorang pemuda sebaya, berambut hitam panjang diikat sederhana, membawa tombak kayu. Tatapannya tajam, tubuhnya penuh bekas luka lama.
“Aku melihatmu malam itu,” kata pemuda itu. “Kau melawan Ryunosuke, bukan?”
Katsuro terkejut, mundur setapak. “Aku… hanya mencoba bertahan hidup.”
Pemuda itu mengangguk tipis. “Namaku Takeda Riku. Aku keturunan samurai, meski klanku telah dihancurkan oleh Clan Yoru. Aku tak bisa tinggal diam melihat kekejaman mereka. Dan kau… kau berbeda dari NPC lain. Kau punya senjata aneh.”