Aroma nasi goreng berhembus bersama angin. Prawira duduk di tikar dan sekardus air mineral gelas serta krupuk di depannya. Adik semata wayangnya tadi sore minta dibelikan nasi goreng yang berjarak sekitar satu kilo dari kantornya.
Seharusnya sudah dari tadi Prawira pulang, tetapi gara-gara bos besar meminta seluruh tim rapat untuk acara bazar yang diadakan beberapa hari lagi akhirnya dia harus pulang malam. Mungkin besok dia harus pulang malam lagi untuk lembur.
Hembusan berat nafas Prawira terdengar jelas ditelinganya. Seluruh tubuhnya terasa penat, dia berencana akan tidur nyenyak setibanya di rumah. Ponsel Prawira berdering keras, sebuah panggilan dari pulau seberang memanggil dengan paksa agar segera diterima oleh Prawira.
"Halo, Assalamualaikum, sayang," jawab Prawira lembut.
"Wa'alaikumsalam. Sudah pulang kerja?" tanya suara merdu dari sebrang lautan.
"Sudah barusan pulang. Ini lagi beli nasi goreng. Arila titip minta dibelikan," kata Prawira.
"Loh? Arila nggak bisa beli sendiri? Bukannya dekat rumah ada yang jual?"
"Ada, tapi Arila minta yang dekat kantor."
"Apa bedanya sih? Toh sama-sama nasi goreng," kata suara itu dengan nada sedikit kesal. "Tapi kamu kenapa pulang malam? Lembur?"
"Nggak. Ada meeting tadi. Beberapa hari ini mau ada bazar."
"Oh ya sudah. Habis sampai rumah segera istirahat ya. Bye, Assalamualaikum," kata suara itu mengakhiri panggilannya.
"Wa'alaikumsalam."
Tepat Prawira menutup ponselnya, nasi goreng pesanan Prawira sudah dibungkus rapi. Dia membayar dan pulang dengan sepeda motornya.
Di rumah, Alira sudah menunggu nasi goreng pesanannya sedari tadi. Begitu tahu Mas kesanyangannya datang, Arila melonjak kegirangan. Arila memang manja dengan Prawira, mungkin karena usia mereka terpaut lima belas tahun. Namun, sifat manja Arila kepada Prawira tidak disenangi oleh kekasih Prawira. Sehingga setiap Prawira menyinggung tentang Arila, kekasihnya langsung sewot.
"Makasih Mas Prawira yang paling ganteng," kata Arila ketika Prawira memberikan kantung plastik berisi bungkusan nasi goreng.
"Sama-sama kesayangan Mas Prawira. Mas istirahat dulu ya, capek," kata Prawira mengacak rambut Arila.
Meskipun Arila sudah bisa dikatakan remaja, tapi Prawira masih memperlakukannya seperti anak kecil. Bagi Prawira, orang tua dan Arila adalah segalanya bagi dirinya, tidak dapat tergantikan dengan apapun.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Prawira merebahkan diri di tempat tidur. Badanya yang lelah mulai rileks, kelopak matanya sangat berat rasanya ingin menutup. Namun sebuah ketukan pintu dan suara ibu menginterupsi istirahatnya."