Penerbit Cahaya Sentosa (CS), terletak di salah satu kecamatan di DI Yogyakarta. Awalnya berbentuk rumah tingkat kuno dan hampir tidak layak di sebut bangunan. Atap bocor, jendela rusak, cat tembok yang mengelupas, yah bisa dikatakan cocok sebagai rumah hantu. Ditambah lagi pepohonan di sekitarnya yang tak pernah dipangkas. Bahkan tidak ada penjual yang mau mangkal di depan bangunan itu meskipun jalanan cukup ramai. Tapi karena harga rumah itu sangat murah dengan kata lain banting harga, Bos besar pun membelinya dengan resiko melakukan perombakan.
Akhirnya Bos besar mencari referensi bangunan dari berbagai macam majalah arsitektur, dengan percaya diri dia mendesain kantor itu sendiri. Awalnya hanya mempunyai beberapa karyawan yang mau digaji kecil karena penerbit CS merupakan penerbit start up. Namun karena kecakapan tim redaksi dan kelihaian mulut tim marketing dalam promosi, banyak penulis yang menerbitkan bukunya di Penerbit CS.
Katanya Bos besar memakai nama Cahaya Sentosa sebagai nama penerbit agar para penulis yang menerbitkan buku di CS karyanya lebih bersinar dan karyawan yang bekerja disana hidupnya juga sentosa. Alasan yang umum memang, Tapi ternyata sebuah nama itu manjur. Bohong jika Shakespiere mengatakan apalah arti sebuah nama. Buktinya penerbit CS semakin maju dan berkembang sesuai harapan, karena nama adalah doa.
Penerbit CS akhirnya mempunyai banyak karyawan, kurang lebih 30 karyawan. Termasuk Prawira yang merupakan karyawan baru. Yaahh sekitar dua atau tiga tahun lah, bisa dikatakan masih bau kencur tapi sudah bikin senior dan kepala redaksi mumet tujuh keliling.
Kini depan kantor semakin ramai penjual. Beberapa orang mangkal depan kantor menggunakan gerobak atau sepeda motor, ada juga yang membangun tenda dan kemudian berkembang pesat menjadi sebuah warung berdinding batu bata. Seperti warung Pak Jum, langganan para karyawan Penerbit CS.
Warung Pak Jum. Sebuah bangunan kecil ukuran sekitar 4×4 meter dengan dua meja dan kursi panjang setiap sisinya. Lalu etalase makanan berada di pojok ruangan bagian dalam memajang bermacam-macam lauk yang menggoyang lidah serta rentengan berbagai macam nama minuman. Walau namanya warung Pak Jum tapi yang menjual adalah seorang ibu berumur 40-45 dan biasa orang-orang memanggilnya Bu Jum.
Hampir setiap jam warung ini selalu ramai. Kalau orang yang hanya lewat, tidak pernah mampir pasti berpikir kalau warung ini pakai pesugihan. Padahal hanya cukup strategi kecil. Bu Jum menyuruh dua anak gadisnya yang bening sebening embun pagi membantu melayani para pembeli. Oleh karena itu sebagian besar warung berisi makhluk golongan Adam. Selain mengisi perut, mereka juga bisa cuci mata.
"Mbak Mila, nasi sama lauk telur dadar dan sayurnya ya. Terus es teh anget satu," kata Rendra yang suka caper alias cari perhatian si Mila. Mila juga paham dan hafal pesanan Rendra. Es teh anget maksud si Rendra adalah teh anget yang di kasih es batu. Lalu bedanya apa dengan es teh? Hanya lidah Rendra yang tahu.
Sedangkan Prawira membeli nasi campur dan teh hangat. Setelah dia dimarahi oleh Pak Bowo, mendadak perutnya ingin melahap semua termasuk tangan Pak Bowo. Eh!
Setelah memesan dan Rendra sedikit berbasa-basi dengan Mila, mereka berdua duduk di bangku yang kosong sambil membawa sepiring makanan dan minuman.
"Tadi ada cewek bule di cafetaria," cerita Prawira. "Bening Bro!"
"Terus kamu samperin?"
"Iyalah! Masa dianggurin," kata Prawira tenang.
"Istighfar Wir, nggak inget pacar yang lagi di perantauan?" ledek Rendra. Prawira terkekeh, dia berpacaran dengan teman sekolahnya sejak SMA. Bisa dibilang hubungannya awet seperti formalin. Selain Prawira orangnya setia, nggak terlalu banyak juga yng suka sama dia. Lagipula dia juga nyaman dengan pacarnya yang selalu pengertian jadi untuk apa mencari yang lain?