Sekolah sudah mulai ramai setengah jam kemudian, setelah gerbang dibuka. Setengah tujuh pagi, guru-guru yang sering datang lebih awal pada umumnya, melakukan foto bersama. Tentu saja ibu-ibu itu akan ambil beberapa jepretan dengan angle yang berbeda. Kebetulan bapak-bapak 170 centimeter yang dianggap fotogenik dan keren- karena masih usia 30-an- diajak foto juga ketika melintasi area pemotretan.
“Sini, Pak! Biar seru,” celetuk salah satu guru dengan jemari yang melambai.
“Aduh, Bu. Saya lupa gak bawa jilbab,” elaknya. Pak guru itu risih lebih tepatnya, ketika diajak swafoto di antara ibu-ibu.
“Yaelah Pak Bagas, sekali-kali saja. Sebagai bentuk menghargai diri sendiri. Mengabadikan keberhasilan masuk pagi. Ayolah,” rayu bu guru yang lain.
“Ya sudah, bagaimana kalau saya yang fotokan saja?” Usul Bapak yang berambut belah pinggir yang biasa dipanggil Bagas.
Semua guru yang berniat awali hari dengan foto mengangguk riang. Bagas mengambil kamera yang diletakkan di tiang, segera jadi fotografer dadakan biar cepat selesai. Bagas bergegas pergi setelah ibu-ibu puas dengan hasil jepretannya sendiri maupun karya dadakannya. Dia pun ingin mengawali hari di sekolah dengan mengungkap kebenaran dan solusi sama-sama menang kepada siswanya.
Kadang ruangannya bak ruang kejiwaan. Siapa saja bisa curhat dan mendapat pencerahan sekeluarnya dari ruangan. Kadang ruang konseling sendiri bak kantor polisi lengkap dengan data-data siswa yang baik-baik saja sampai bermasalah. Ada rak khusus berjejer data-data keterangan prestasi dan potensi, serta catatan kenakalan siswa. Selain mengurus potensi siswa, sudah tugasnya membantu wali kelas setiap ada kasus antar siswa. Kali ini tentang pencurian. Sebelum uang itu raib di tangan remaja kepepet, Bagas harus mengungkap nama terduga pelaku.
Di dalam ruangan konseling itu, Bagas tak bekerja sendiri melainkan dengan tim. Mengurus siswa berjumlah nyaris seribu itu butuh rekan kerja. Namun, urusan mengungkap pelaku pencurian kali ini diserahkan kepada Bagas. Dari rak dekat meja kerja Bagas, dirinya memungut satu buku catatan dan membuka lembaran keluhan siswa. Dia tertuju pada satu kasus kemarin dan mengindikasi pelaku pencurian. Tak lain dan tak bukan, intuisinya tertuju pada teman sekelas korban yang jarang jalan berdampingan tetapi seharian tiba-tiba akrab. Menurut data, pelaku punya komunitas di luar sekolah. Meski sudah jarang anak SMK tawuran, tetap saja kadang ada geng yang diikuti siswa. Siswa yang dicurigai mencuri akan didatangkan ke ruangan konseling, ketika bel masuk berbunyi. Wali kelas korbanlah yang meminta supaya terduga langsung ke ruang konseling. Wali kelas membiarkan siswa yang lain mengira terlambat, bukan si terduga mencuri.
***
Pagi itu, Raya berseragam keki sebagaimana ibu-ibu guru yang tadi iseng foto bersama. Dia mendampingi siswanya menemui Bagas. Setibanya di depan pintu ruang konseling, hanya siswanya yang masuk, seolah ruang itu tempat interogasi baginya. Raya memilih menunggu di luar sambil membuka layar androidnya. Mencari kesibukan dengan membalas pesan-pesan yang belum dibaca. Sudah dua kali dia tahan rahangnya terbuka karena kantuk. Kualitas tidurnya kian miris lantaran mimpi buruk dan teror yang lebih buruk dari bunga tidurnya itu. Mata Raya menjauh dari layar dan menatap kosong ke pepohonan, sampai ide itu muncul. Selang beberapa saat, Raya menatap layar kembali, ditemani dua jempol yang mencari informasi. Psikiater, psikolog, dan guru konseling. Tiga hal yang paling menguntungkan bagi Raya adalah menjadikan Bagas sebagai tempat curhat yang aman, termurah dan paling dekat. Barangkali Bagas bisa membantu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apa benar ini soal kesehatan mental? Pikirnya.
Di dalam ruangan, siswa duduk berseberangan dengan Bagas. Tak ada lampu sorot di atas meja yang mengancam mental di sana. Bagas seolah berperan sebagai polisi baik. Bila belum mengaku, rekan setimnya akan hadir dengan suara beratnya yang mengintimidasi. Namun, suasana dan kata-kata yang terasa mengerikan, membuat yang tertuduh sudah menunduk malu. Alibinya patah lantaran tekanan bukti-bukti yang kuat.
“Saat kamu duduk di samping tas temanmu, CCTV merekamnya. Kamu tidak bisa mengelak dengan bukti yang satu ini. Lebih kuatnya lagi, setelah kamu pergi dari tempat itu, terlihat yang punya tas mencari sesuatu sebelum melapor kalau uangnya hilang,” ucap Bagas tegas.
Merasa siswa di depannya ketakutan, Bagas menghela napas. Dia berusaha melembutkan suara, sambil memberi solusi terbaik- win-win solution.
“Lana, kamu sebenarnya siswa yang baik. Sejak kelas satu sampai semester ganjil ini, tidak pernah terlambat sekolah. Bolos pun jarang. Bapak bisa mengerti kalau komunitas bagimu nomor satu. Di sana kamu merasa diterima, dihargai, dihormati. Sebagai bentuk balas budi, Kamu ingin melakukan yang terbaik dengan mentraktir mereka. Kesalahannya adalah satu, merugikan teman yang lain, yang bahkan keadaan ekonomi orang tuanya tidak seberuntung orang tuamu.”
“Apa yang harus saya lakukan, Pak, supaya tidak dihukum?” Tanya Lana tanpa menatap mata Bagas.
“Ajak bicara empat mata dan minta maaf ke temanmu. Kembalikan uang itu dan buat kesepakatan. Boleh dicicil atau harus utuh, itu tergantung kalian berdua.”
“Jadi, orang tua saya tidak perlu dipanggil ke ruang BK, Pak?” Tanya Lana yang kembali menatap mata gurunya dengan penuh harap.