The Game After Married

Mustofa P
Chapter #3

Nostalgia

Hari libur tahun ajaran baru tiba. Seorang gadis yang bekerja sebagai guru honorer, masih terlihat sibuk berurusan dengan kertas. Ibunya sekadar mengamati ketika gadis berambut gelombang itu lalu lalang dari kamar ke ruang tamu. Tetapi ibunya tak mau cari tahu lebih jauh tentang apa yang sedang dikerjakan.

“Ma, aku mau keluar dulu. Sarapan nanti saja,” pamit si gadis berkulit kuning langsat itu.

“Iya, hati-hati di jalan,” sahut ibunya dari dapur.

Sebetulnya gadis yang membawa amplop coklat muda itu menggerutu sambil jalan kaki. Isi dari amplop yang akan dikirimkan lewat pos bukanlah berkas sekolah lantaran kepentingan profesinya sebagai guru honorer, melainkan urusan pribadi. Dia hendak mengirimkan biodata diri beserta foto terbaiknya kepada seseorang. 

Ingin kenalan saja kok seribet ini. Pas lagi liburan juga. Tambah kerjaan saja,” gumamnya kesal.

Setibanya di depan kantor pos setelah menempuh jarak dua kilometer dengan berjalan kaki, pun nasib tak berpihak padanya. Kantor pos belum buka. Dia baru sadar, rupanya dia terlalu awal pergi ke kantor pos dan lupa kalau kantor buka pukul 08.00 pagi.

“Aduh, kenapa aku harus susah-susah ke kantor pos, hanya gara-gara ingin kenalan sama laki-laki?”

Amplop dengan nama pengirim Raya itu dibawanya kembali ke rumah. Dia enggan kembali lagi ke kantor pos. Liburan sekolah alias libur mengajar disuruh kirim pos, kantor pos masih tutup, dan sudah capek mau balik. Bodo amat dengan sistem kenalan aneh semacam ini, pikirnya.

Sesampainya di rumah, Raya langsung ke kamar. Kasur itu merasakan beban dari tubuhnya yang tengkurap. Benda untuk rebahan itu juga berguna meredam teriakan kesalnya. Tak lama kemudian ibunya mengajak sarapan.

“Ayo Nduk, sarapan. Bapakmu ingin sarapan bareng, makanya nunggu kamu datang.”

“Iya, Bu. Sebentar,” jawabnya dari balik pintu.

Raya merapikan kembali sprei yang sempat kejatuhan tubuh kurusnya itu dan bergegas keluar. Sebetulnya tak terlalu kurus, melainkan sesuai dengan tinggi badannya yang semampai. Setibanya di ruang makan, keempat piring sudah terisi nasi. Cukup mudah menebak mana porsi miliknya dan dia duduk di samping bapak paruh baya pensiunan polisi itu. Sambil memakan tempe dan sayur kuah bening, Raya tahu bahwa orang tuanya punya maksud dari menyiapkan seporsi nasi dan membiarkannya tak ikut masak.

“Adik mana?” Tanya Raya memulai topik. Tujuannya memulai supaya bapak atau ibunya langsung saja mengutarakan maksudnya.

“Adik baru bangun. Mau mandi dulu katanya. Mandinya juga suka lama, jadi kita makan duluan saja,” bujuk ibunya yang selama ini memang terlihat jarang marah.

“Huu…Giliran aku, suruh bangun sebelum Subuh. Kalau adik laki-laki satu-satunya, sampai lulus SMA pun dibiarkan kesiangan.”

“Ehem… Nduk, Bapak mau ngomong sama kamu,” sela bapaknya yang membuat Raya menyimak takzim.

“Mau ngomong apa, Pak?” jawabnya.

Raya memang takzim dengan nasihat orang tua, tetapi dia sudah tahu topiknya itu-itu melulu. Jadi kali ini dia tak menghentikan suapan dan terus mengunyahnya. Seribu alasan juga sudah disiapkan untuk menolak secara halus tawaran Bapak.

“Bagaimana dengan Mas Banu, apa sudah cocok? Mas Banu kelihatannya serius dengan kamu. Bela-belain selesai apel, Jumat malam berangkat dari Kodim Kediri, Sabtu pagi sudah di sini.”

Sesuai dugaan Raya topiknya seputar itu saja. Banu yang berprofesi sebagai tentara sama dengan saingannya, hanya beda dinas. Dari Kediri beberapa bulan terakhir, Banu jarang pulang dan langsung menuju Jember. Ayah Raya senang menerima tamu yang tulus dan sungguh-sungguh tertarik dengan putrinya. Banu juga sama dengan saingannya, diberikan tempat tidur di kamar atas. Raya sering dimintai tolong oleh Ibu untuk mengantarkan kopi ke kamar atas.

“Kalau menurutku, Mas Banu lebih baik dari Mas Parman. Mas Parman agak kaku, cara bercandanya garing. Sepertinya orangnya juga kasar,” jawab Raya sambil menyantap sekali lagi.

Cerita utuh mengenai Parman dipendamnya sendiri, walaupun di benak terlintas rasa takut saat itu. Sebelum Banu, Parman berusaha mengisi hati Raya tetapi sejak kejadian itu Parman tak pernah lagi bertandang. Waktu itu adalah momen Raya berboncengan terjauh dengan Parman. Diajaknya Raya ke Rembangan, daerah dataran tinggi yang diminati wisatawan karena pemandangannya. Namun, sepeda terhenti di tempat yang tak biasa. Bukan jalur henti wisatawan. Sepeda diparkir begitu saja di tempat sepi. Raya mengikuti langkah Parman menaiki bukit. Terlalu sepi, meskipun menyajikan pemandangan hijau sawah terasiring. Jika dia tak ikut naik, khawatir Parman berbuat sesuatu. Seduduknya disamping Parman, Raya tak menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan hijau tanaman padi. Dia lebih sibuk mencari batu-batu untuk menghantam kepala Parman kalau-kalau berbuat sesuatu. Sudah tak nyaman perasaannya, rasa takut menggerayangi sekujur badan. Parman tipikal orang yang semaunya sendiri. Seperti ketika menawarkan makan dan meminta Raya menunjuk depot, Parman malah memilih makan pinggir jalan yang harganya lebih murah dari depot. Termasuk jalan-jalan hari ini, Raya tak menduga didudukkan di tempat sepi. Apalagi ketika Parman mengungkapkan isi hatinya, sambil menjanjikan biaya kuliah adik dan dirinya- jika Raya mau kuliah lagi- akan dipenuhi. 

Lihat selengkapnya