Mentari di ufuk timur tampak ceria dan bersinar hangat menerpa daratan. Burung-burung mulai bekerja memenuhi perutnya dan kebutuhan anak-anak di sarang. Pertanda pagi buta yang mencekam telah tenggelam. Di depan cermin rias, Raya melebarkan senyumnya. Dilatihnya raut wajah ceria seolah tak terjadi apa-apa beberapa jam yang lalu. Dito pun demikian rapatnya menutupi kejanggalan. Segelas kopi di meja tamu diseruputnya perlahan sambil memperhatikan arloji di tangan kiri. Masih pukul 06.15 pagi, masih ada waktu berleha-leha dan menyelesaikan sesapan demi sesapan segelas kopi. Seragam hijau bermotif bercak dedaunan sudah dikenakan. Kalau Raya yang kini memakai keki selesai berduaan dengan meja riasnya, Dito siap mengantarkan ke sekolah.
Merasa cukup latihan senyum di depan cermin, Raya hendak meninggalkan meja rias. Dilihatnya tangan kiri yang dililit arloji hitam, waktu menunjuk pukul 06.16 sedangkan tangan kanan memakai gelang manik. Gelang berwarna merah terbuat dari tali biasa dan manik-manik pada umumnya. Hanya saja warnanya tak pudar walau pemakaian menahun. Setiap memakainya dia ingat nenek yang pernah menolongnya dalam mimpi buruk. Tetapi dia punya inisiatif jika hari ini gelang manik itu sebaiknya ditanggalkan saja. Gelang itu diletakkan dekat jam weker mungil pemberian almarhum adiknya. Raya juga sempat membuka layar sentuh dengan sidik jari. Niatnya ingin melihat notifikasi pesan, tetapi masih nihil, tadi sudah sempat dibuka semua. Tampak di layar android itu gambar keluarga kecilnya di sebuah studio. Dito, Raya, dan Niken berpakaian serba putih dengan senyum ceria. Niken adalah anak angkatnya. Akhir-akhir ini memilih menginap di rumah orang tua Raya. Selain lantaran himbauan Raya dan Dito, Niken juga ingin menghuni kamar Raya semasa gadis dulu di rumah kakek dan nenek angkatnya. Hanya akhir pekan saja Niken bersama orang tuanya. Sampai kondisi ganas ini berakhir. Namun, entah sampai kapan. Selama bertahun-tahun hanya Niken yang pulas sampai pagi di kamarnya sendiri. Niken tak pernah merasakan gangguan gaib seperti yang dialami orang tuanya.
Menatap senyuman Niken semasa kecilnya di layar sentuhnya itu, mengembangkan senyum secara alami. Sejurus kemudian dia beredar keluar ruangan menuju teras rumah. Jarang-jarang Dito mengantar Raya ke sekolah dengan mobilnya. Tak ada percakapan berarti selama perjalanan, mereka mencoba berdamai dengan peristiwa pagi buta itu.
***
Ibu-ibu guru yang berhasil berangkat pagi, bahkan lebih pagi dari murid-muridnya punya satu tujuan yang sama. Mereka mengabadikan polesan rias cantiknya yang masih segar ke dalam potret digital. Raya yang kebetulan melintas pun diajak foto. Berikut Bagas yang tubuhnya atletis, berkulit cerah dan fotogenik dari setiap angle ditawarkan untuk ikutan. Sejenis asupan empat sehat lima sempurna, sekaligus sebagai tanda hormatnya kepada Bagas. Menurut mereka, asupan sempurna itu harus ada Bagas yang turut berfoto. Bila ada ibu-ibu, maka ada bapak-bapak yang datang pagi. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, dia menawarkan diri sebagai pemotret dadakan, sampai klien langganan itu puas. Ibu-ibu menolak tawaran Bagas sebagai fotografer kali ini. Sedangkan Raya yang memilih bisu sedari awal swafoto, terlintas dalam benaknya untuk menyampaikan kejadian pagi buta tadi. Sepasang mata Raya masih melihat adegan Bagas berlalu menuju ruangan konselingnya. Meski tubuh Raya terseret ditengah tiga ibu-ibu yang ambil foto bergonta-ganti pose, dia tak terlalu menikmati momen ini.
Biasanya Bagas akan membersihkan ruangan konseling itu dan bekerja sesuai jadwal harian yang disusunnya. Menurut informasi dari Bu Susi si biang gosip terkemuka se-SMK, memang begitulah cara kerja Bagas. Telah tersusun jadwal kegiatan yang akan dikerjakan. Mulai dari bangun pagi sampai sepulang sekolah. Dari kegiatan tak penting sampai paling urgensi, ditulisnya rinci.
Berdasarkan ingatan akan informasi dari Bu Susi itu, Raya sangsi jika langsung ke ruang konseling tanpa membuat janji lebih dulu. Diketiknya pesan daring apakah Bagas ada waktu untuk mendengar kabar terbaru tentang teror terhadap keluarga kecilnya. Di ruang guru, Raya duduk sambil menatap layar, menunggu balasan pesan. Tujuh menit sebelum bel berbunyi, barulah berbunyi notifikasi pesan daring balasan dari Bagas.
“Hari ini ada jadwal ketemu Bu Raya selaku wali kelas. Jadi bisa dikondisikan. Saya tunggu,” bunyi pesan itu.
***
Pada istirahat kedua waktu salat Zuhur, Raya masih membuka laptop di kelas terakhir dia mengajar. Kelas XI jurusan pemasaran. Siswa di dalam kelas sudah beredar menuju tempat beribadah. Sedangkan dia yang berhalangan, masih mengutak-atik tugas materi pelajaran perkantoran untuk dibagikan ke grup WhatsApp kelas di tempatnya duduk kini. Tak seperti Dito, Raya jarang minum kopi demi mengusir rasa kantuk. Akibatnya rasa kantuk menggerayangi kelopak mata, sehingga berat untuk terbuka lebar. Kuap yang hendak membuka rahangnya lebar-lebar, ditahannya dengan menangkupkan telapak tangan kanan. Sejurus kemudian, sepasang mata yang berat itu terbelalak. Raya terperanjat melihat gelang manik telah melilit di pergelangan tangan kanannya. Lekas dilepas dan ditaruhnya gelang manik itu di atas meja dekat laptopnya. Seketika teringat saran Bagas agar tetap tenang dalam situasi ini. Mungkin ini sekadar halusinasi. Raya duduk kembali seraya memejamkan mata. Dihelanya napas panjang, ditahannya, ditambahkan lagi helaan napas pendek sebelum dihembuskan perlahan hingga terasa kosong dalam paru-paru. Namun, yang terjadi sebaliknya. Gelang itu masih mewujud nyata tergeletak di samping laptop. Jantungnya terpompa cepat tatkala sosok nenek pemberi gelang manik mewujud di seberang meja. Aroma wangi melati menguar dengan sanggul rambut yang proporsional. Tangannya bersembunyi di belakang punggung. Kemeja merah darah dan jarik coklat itu tak seperti hologram. Hanya saja kaki telanjang nenek tak menapak keramik. Nenek itu melayang sambil tersenyum menatap Raya. Gincu merah dan wajah yang dirias membuat guru negeri di hadapannya itu tak terlalu takut. Walaupun merasa biasa saja, tak sudi dirinya mengajak sosok itu berbicara. Berdirilah tubuhnya perlahan sambil memungut kembali gelang manik, lekas dia merapah keluar. Bodo amat dengan laptop yang masih menyala. Dari kejauhan di sisi luar dinding kelas, seseorang memperhatikan Raya keluar dengan langkah cepat.
***
“Ini bukan halusinasi,” ucap Raya setibanya di depan pintu ruang konseling. Gelang manik yang dipungutnya tadi diangkat sejajar dahi. Langkah Bagas yang hendak meninggalkan ruangan terhenti dan coba mencerna maksud Raya.
“Ini soal teror saban hari itu?”
“Iya, ternyata semuanya bukan halusinasi. Saya sudah mengambil napas dalam-dalam dan perlahan menghembuskannya. Otak saya tidak kekurangan oksigen, Pak. Penampakan itu tetap ada. Bukan berasal dari kecemasan atau rasa takut. Saya sudah mengenang yang baik-baik. Tapi tadi malam, perempuan memakai mukena yang wajahnya pucat pasi melihat saya sambil senyum. Saya dan suami juga mendengar gedoran berkali-kali seperti suara batu menghantam pintu. Sebelum berangkat, saya tanggalkan gelang manik ini dekat jam weker. Tapi, sewaktu saya mengantuk, tahu-tahu sudah terpasang di tangan kanan saya. Setelah dilepas, nenek berkebaya merah itu muncul lagi. Kakinya tidak menapak lantai, Pak, melayang! Saya hirup udara lagi supaya otak tidak halusinasi, ternyata percuma. Nenek itu tetap ada di depan saya dan gelang ini, bagaimana bisa...”
“Silakan duduk dulu, Bu,” Bagas mempersilakan Raya yang sedang syok untuk segera duduk. Kejadian di luar nalar ini mau tak mau harus diamini Bagas. Sebetulnya ini di luar tugas Bagas sebagai guru konseling, tetapi rasa penasarannya sebagai detektif dadakan menggelitik ubun-ubun. Bagas pun kembali duduk berseberangan demi menanggapi Raya bercerita. Tak lama kemudian Lana mengucap permisi dari luar pintu dan segera dipersilakan masuk oleh Bagas.