The Game After Married

Mustofa P
Chapter #5

Nenek

Rumah dengan halaman tanpa pagar itu sedang dikerumuni penyiang rerumputan. Gulma yang ada di dalam tabulampot dicabuti oleh seorang ibu, sedangkan jambul-jambul tinggi di taman kecil dicukur rata dengan mesin oleh seorang ayah. Penyiang lainnya yang sedang mengumpulkan dedaunan dan kotoran gulma dibantu kakaknya, si gadis berambut panjang bergelombang. Waktu liburan bagi gadis guru honorer tak seperti gadis kebanyakan yang bisa rebahan di dalam kamar. Sudah didikan orang tuanya untuk dia dan adik laki-lakinya tak suka rebahan sebelum bersih-bersih bersama ayah ibu di hari Minggu.

Ketika punggung terasa kian hangat, tinggal seperempat lagi halaman bersih sempurna, keluarga mereka kedatangan tamu. Seorang nenek yang memakai kebaya merah, bersanggul rapi, dan bergincu. Bau melati, gumam anak termuda. Si gadis menunjuk bibir untuk tak berkomentar. Bau yang menyebar sewangi melati mekar di malam hari. Tak berlebihan, hidung keempat penyiang yang berada di halaman depan itu memang mencium wangi yang sama. Walaupun keempatnya berada di beberapa titik yang kemudian berkumpul demi rasa aman saat menyapa nenek itu.

“Pangapunten, Mbah. Mboten gadah arta,” sapa si gadis saat berada di titik kumpul. Dia meminta maaf karena tak siap uang kecil dan belum selesai gotong royong. Berharap nenek itu berlalu dan mengetuk pintu tetangga.

“Inggih, kulo mboten nyuwun artanipun panjenengan sedoyo. Karsanipun kulo namung medhayoh.

Si gadis yang mencoba ramah sebelumnya tak bisa membalas krama inggil panjang lebar, sepemahamannya kurang lebih nenek itu tak butuh uang. Demikianlah orang Pendalungan yang tinggal di daerah Jember kota ini, terbiasa menggunakan tiga bahasa sehari-hari. Itupun setengah-setengah dalam menggunakan tribahasa. Kadang mereka terbiasa berbahasa Indonesia ketika menyapa tetangga, berbahasa Jawa ketika keluarga bercengkrama, bahasa Madura ketika berbicara dengan teman-teman sepergaulannya. Belum selesai si gadis dan keluarga keheranan lantaran nenek berbahasa Jawa level krama inggil, lebih kaget lagi ketika nenek tahu nama si gadis.

“Pangapunten, asmanipun panjenengan Raya?” Tanya nenek yang wangi melati bertanya nama dengan tersenyum ke arah Raya. Berbahasa krama inggil, yang seharusnya tak dilakukan oleh orang yang lebih tua. Apalagi Raya tak pandai krama inggil.

“Inggih, leres. Monggo, pinarak,” sahut Raya menyilakan nenek mampir. Sejurus kemudian sekeluarga saling melempar pandang. Bapak mengangguk sambil memejamkan mata pertanda untuk menghentikan aktivitas bersih-bersih.

Nengga sakedhap inggih, Mbah,” sahut Raya meminta nenek menunggu. Ketiga anggota keluarganya masih terkejut akan siapa gerangan si nenek. Namun, mereka sama bergegasnya dengan Raya masuk rumah untuk mencuci tangan dan kaki. Sekitar satu menit di dalam rumah, bapak Raya menyambut nenek dan mempersilakan masuk.

Nyuwun pangapunten, panjenenganipun karsa ngunjuk punapa inggih?” Tanya Bapak menawari minum setelah nenek terduduk di sofa. Sejurus kemudian, Bapak dan Raya duduk di sofa panjang berseberangan nenek wangi. Ibu Raya sudah menghidupkan kompor, sedangkan adik Raya tak lagi terlihat batang hidungnya. Adik Raya mudah bergidik bulu roma sehingga mendekam di dalam kamar. Kasur adalah tempat teraman baginya.

“Kopi saja, Le. Tapi jangan dikasih sarapan. Saya sudah makan,” tanggapnya memakai bahasa Indonesia yang tak terlalu formal. Sepasang mata saling pandang antara bapak dengan putrinya. Kenapa tak dari tadi berbahasa Indonesia? Tanya Raya dalam hati.

“Kalau boleh tahu, nama Mbah, siapa?” Tanya bapak pensiunan polisi itu.

“Nama saya Siti. Panggil saja Mbah Siti. Saya muridnya Syekh Maulana Ishaq, sunan sekaligus tabib kerajaan Blambangan, yang mengajarkan muridnya agar memuliakan tamu.”

Ibu tak ingin ketinggalan penjelasan asal-usul nenek yang bernama Siti. Setelah kopi terseduh, segera disajikannya kepada Mbah Siti. Mbah Siti menghirup aroma kopi sebelum melihat ke arah ketiga orang di depannya.

“Syekh Ma-Maulana Ishaq? Siapa, di mana?” Sahut Ibu sambil menatap Bapak dan Raya bergantian. Seolah kedua orang disampingnya sudah tahu, siapa syekh yang dimaksud.

“Kopi ini bukan kopi asli. Mohon maaf, jika saya tidak jadi meminumnya,” ujar Mbah Siti tiba-tiba mengganti topik terhadap kopi kemasan yang diseduh ibu Raya.

“Mohon maaf, Mbah, karena hanya itu yang bisa saya suguhkan,” tanggap Ibu.

“Saya masih tinggal di sekitar Syekh Maulana Ishaq. Beliau adalah seorang wali. Wali itu sejatinya hidup, tidak mati seperti jasad dan raga manusia lainnya. Guru saya ini, menikah dengan putri Raja Blambangan, yaitu Dewi Sekardadu. Dia yang mengobati penyakit yang mewabah di kerajaan, tentu dengan ikhtiar dan doanya kepada Yang Maha Esa. Berkat pengobatannya, kerajaan Blambangan terhindar dari wabah mematikan.”

“Jika ada waktu luang, mampirlah ke kediaman saya di Kembangsambi, Kecamatan Bungatan, Kabupaten Situbondo. Carilah bukit Pecaron dan tanyakan kepada warga sekitar nama guru saya,” imbuh Mbah Siti yang tak sedikitpun melirik kembali kopi di hadapannya.

“Baik, Mbah. Terima kasih. Saya akan mengajak keluarga ke sana jika ada waktu.”

Lalu apa? Pikir Raya. Tak mungkin nenek bernama Siti ini hanya datang cuma-cuma. Ada maksud tertentu yang belum diungkap.

Lihat selengkapnya