The Game After Married

Mustofa P
Chapter #6

Maksud Mbah Siti

Hari Selasa ini, seluruh ekstrakulikuler libur. Bukan karena kebetulan, melainkan keputusan kepala sekolah bahwa hari ini semua siswa pulang lebih awal dan tak boleh ikut andil tawuran antar SMK. Siapapun siswa yang disinyalir dan terbukti ikut tawuran, sekolah memberi ancaman tegas bahwa anak tersebut dapat dikeluarkan dari sekolah. Telah digalakkan pendidikan karakter dan banyak tindakan pencegahan seperti sosialisasi anti kekerasan, kasus tawuran tetap saja ada walaupun tak sampai mencuat di media massa.

Angka anak tawuran dan yang keluar dari sekolah bisa ditekan akhir-akhir ini berkat kecerdikan Bagas dan guru BK lain mencari informasi lokasi tawuran dan segera melaporkannya kepada kepala sekolah. Namun, angka anak yang keluar dari sekolah selain karena tawuran tetaplah ada. Pasalnya, liburan panjang kenaikan kelas jadi ajang perjodohan untuk nikah dini, terutama siswi yang mana orang tuanya sengaja menerima lamaran lelaki. Bahkan pamali jika menolak lamaran sampai tiga kali. Tak sedikit Bagas mencatat di buku konseling tentang kasus berhenti sekolah lantaran nikah dini.

Bagas dan siswanya bernama Lana salat jamaah sendiri setelah membantu Raya sebelumnya. Selesai salat, urusan Raya ditinggalkan sementara waktu. Tugasnya berbicara mengenai pernikahan harus tersampaikan hari ini juga. Setiap sudut sekolah dijaga ketat agar siswa tak ada yang kabur loncat pagar, begitu perintah kepala sekolah. Bagas sebetulnya tak bisa melakukan banyak hal yang berkaitan dengan mitos, bahwa tak boleh anak perempuan menolak lamaran lelaki kali ketiga. Dia dan guru BK yang lain hanya menyarankan kepada sekolah untuk diadakan seminar persiapan pernikahan. Seperti yang akan dilakukan hari ini. Usai istirahat kedua, selesai salat Zuhur, siswa diarahkan menuju aula.

“Pernikahan itu ada polanya. Sebagian besar rumah tangga, mungkin ayah dan ibu kalian, termasuk bapak dan ibu saya, pada 5 tahun awal pernikahan akan ada banyak badai. Akan ada banyak kesusahan hidup. Mulai dari kesulitan keuangan, hubungan suami istri setelah punya anak, bahkan ketidakcocokkan dengan mertua. Uang, anak, mertua. Ketiganya saling berhubungan,” ujar Bagas mengacu pada materi presentasinya.

“Menurut penelitian, salah satu penyebab perceraian selain ekonomi adalah menantu yang tidak cocok dengan mertua. Menantu perempuan sering tidak cocok dengan ibu mertua, menantu laki-laki tidak cocok dengan ayah mertua. Jika bisa melaluinya, maka 5 tahun berikutnya akan ketemu banyak solusi. Jika tidak bisa melaluinya, akan timbul trauma hingga cerai, dendam atau masalah mental lainnya. Seperti yang kita tahu, masalah mental berpengaruh terhadap tubuh. Tubuh yang lemah bisa rentan terhadap penyakit,” imbuh Bagas.

Tatapan Raya dari kursi belakang sedang membaca berulang kalimat di layar “jika tidak bisa melaluinya”. Penelitian para ilmuwan yang dipaparkan Bagas itu sama dengan yang dialaminya kini. Namun, Raya bisa membantah kalau mentalnya tak sesakit itu. Semua yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah halusinasi belaka. Semua nyata. Bahkan Lana menyaksikan sosok Mbah Siti yang melayang di seberang meja. Gelang manik itu pun terpasang dengan sendirinya.

Ada banyak pertanyaan di benak Raya, apakah benar dia sedang mendendam kepada mertua? Raya menduga bahwa hatinya tak memaafkan ucapan-ucapan mertua walaupun dia merasa sudah bodo amat dengan masa lalu. Dia menduga-duga masalah dengan mertua sejak dulu, ada hubungannya dengan penampakan yang selama ini dilihatnya. Gadis pucat pasi bermukena, sosok bapak pakai blangkon melayang tanpa kaki, dan anak-anak kecil berlarian di tengah malam. Penampakan-penampakan itu mengganggunya sejak tahun keenam pernikahan dengan Dito. Sedangkan gedoran pagi buta terjadi tahun setelahnya, dan makin menjadi pada akhir-akhir ini. Lamunan Raya buyar saat seorang siswa mengangkat tangan di tengah penjelasan Bagas.

“Pak, apakah pindah rumah setelah menikah itu sebuah solusi bagi pasangan muda? Soalnya remaja mudah tersinggung kalau dikritik. Apalagi dikritik mertua,” tanya salah seorang siswi.

“Pertanyaan yang bagus,” tanggap Bagas sambil melempar senyum. “Menurut yang saya ketahui, pindah rumah itu memang bisa jadi solusi, kalau ada uang buat beli rumah. Kalau tidak bisa pindah, minimal tidak menikah sebelum lulus sekolah.”

Seisi aula dipenuhi gelak tawa hadirin. Mereka menertawakan hal getir yang justru sering terjadi di sekolah. Satu per satu teman mereka menghilang untuk menikah. Bisa jadi siswi yang bertanya dan turut tertawa itu berancang-ancang ke pelaminan.

“Kita bisa melihat siswi di sini. Melihat teman kalian. Satu per satu menghilang karena terpaksa menikah. Daripada pacaran, boncengan sana-sini, orang tua teman kalian buru-buru menikahkan putrinya dengan sang pacar. Malu, katanya. Terkadang acara pernikahan besar-besaran sampai menumpuk utang, seperti yang pernah disampaikan salah satu orang tua kepada saya. Entah sengaja atau tidak, akhirnya tak bisa memiliki rumah sendiri, terjadilah cekcok ketika tinggal serumah dengan mertua. Mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur. Jika telanjur nikah muda, kita hanya perlu perbanyak bekal ilmu berumah tangga. Supaya kita menjadi dewasa menyikapi perbedaan dengan mertua.”

***

Pukul tiga sore, guru-guru sudah raib dari ruangan. Parkiran yang semula berjejal sepeda motor kini tinggal dua-tiga buah saja. Begitu pula parkiran siswa, malah nihil. Tak ada yang berani melanggar himbauan libur untuk seluruh ekstrakulikuler. Seluruh orang tua siswa pun dihubungi, memantau anaknya pulang ke rumah atau berada di suatu tempat. Khawatir ikut campur kemelut tawuran yang sedang terjadi. Terkhusus Lana, dipantau langsung kepala sekolah agar tidak pergi ke tempat teman komunitasnya.

Pintu-pintu kelas sudah terkunci kecuali beberapa pintu termasuk ruang konseling. Guru BK rekan si Bagas jarang berada di ruangan konseling, lebih memilih ruang guru sebagai tempat kerjanya. Kini rekan Bagas itu sudah pulang lebih dulu. Ruang konseling sedang terbuka, disebabkan oleh Bu Susi dan Raya duduk berseberangan meja dengan Bagas. Melanjutkan cerita Bu Susi soal gelang manik dan Mbah Siti. Sosok nenek berkemeja merah itu mengaku murid dari Syekh Maulana Ishaq, ternyata sudah wafat dan pusaranya berada di sekitar pusara Syekh di Situbondo itu.

“Itu berarti, sosok bernama Mbah Siti itu sedang mencoba melindungi Bu Raya dari kejahatan di masa depan. Sosok ini menerawang apa yang akan terjadi. Termasuk meninggalnya adik Bu Raya dan kemelut yang terjadi di keluarga Bu Raya, semua sudah dikasih tahu,” ucap Bagas menyimpulkan cerita Bu Susi.

“Sebetulnya saya sudah bilang seperti itu. Bu Raya tidak perlu cerita ke Pak Bagas. Sudah jelas maksud Mbah Siti itu, seperti itu. Apalagi Mbah Siti sampai bersumpah atas nama Tuhan. Cuma karena kurang yakin saja, makanya dia cerita-cerita. Ini semua, karena mertuanya berbuat yang tidak benar, Pak Bagas,” sahut Bu Susi yang seolah mengerti setiap jengkal masalah Raya.

“Bagaimana Bu Susi tahu semua cerita Bu Raya?” Bagas menyilangkan kedua tangan sambil bersandar di kursinya. Menanggapi Bu Susi dengan sikap defensif seperti itu, cukup membuat Bu Susi lebih agresif dan berapi-api dalam bercerita.

Lihat selengkapnya