The Game After Married

Mustofa P
Chapter #7

Dito

“Apa yang aku lakukan tadi malam?” Tanya Dito di balik pintu. Orang yang terbiasa tegas di tempat kerja, tiba-tiba resah, melembutkan tutur dan merasa bersalah.

Kepingan piring itu berserakan dari dapur hingga ruang tamu. Selusin jumlahnya yang hancur terbanting. Tetangga perumahan mendengar piring beterbangan tadi malam, tetapi memilih tuli. Sebagaimana pagi-pagi buta terjadi gedoran, senyaring suara batu dihujamkan di daun pintu, gagang pintu bergerak-gerak sendiri, tetangga pun tak ambil pusing. Itu bukan urusan mereka. Sesederhana itu. Begitu pula Raya yang mendekam di dalam kamar. Pecahan piring berserakan ke segala penjuru ruangan dapur hingga ruang tamu itu bukan urusannya. Itu urusan Dito. Dito mengibas lantai perlahan lalu pecahan dimasukkan ke dalam karung.

Dito mengetuk lagi pintu kamar Raya. Tak lama, merasa tak enak hati, Raya membuka pintu dan segera membantu. Keduanya membersihkan puing-puing pagi hari tanpa banyak kata. Hanya perintah ini dan itu dari Raya, Dito pun menurutinya.

“Sudah seminggu kita tidak diteror gedor-gedor pintu,” ucap Dito seusai bersih-bersih. Hendak membuka percakapan yang hangat ketika melihat istrinya mencuci piring. Masih ada beberapa piring dan gelas yang tersisa di wastafel. Dilihatnya Raya dengan cekatan mencuci piring satu ke piring lainnya. Dito menghela napas lantaran Raya tak menggubris. Jika dia marah, piring yang dicuci bisa saja jadi korban berikutnya.

“Bukan cuma aku yang membanting piring semalam. Kamu juga pelakunya, Mas,” jawab Raya singkat dan ketus.

Dito benar-benar lupa apa yang terjadi. Meskipun mengernyitkan alis, tetap tak ingat bagaimana caranya dia menerbangkan piring-piring ke penjuru rumah. Diputarnya badan menuju kursi tamu. Merapah ingatan semalam sambil dagu dipangku tangan setibanya di kursi. Hanya ingat kalau hari ini Minggu, waktunya liburan bersama Raya dan putri angkatnya, Niken. Niken sudah jarang tidur di kamarnya akhir-akhir ini. Dito memaklumi perubahan itu, bukan hanya masalah gedoran melainkan dari masa anak-anak menuju remaja usia 14 tahun. Niken lebih suka tidur di rumah kakek-nenek, orangtua Raya. Dito menduga, mungkin Niken khawatir ketahuan suka panggilan video menjelang tidur dengan teman laki-lakinya. Setidaknya Dito memang tahu, informasi dari ibu mertuanya ketika menengok kamar Niken. Niken belum tidur saat kepergok panggilan video. Dia dan Raya pasrahkan urusan kedisiplinan kepada mertuanya, terutama jam tidur. Seorang pensiunan polisi punya ketelatenan untuk mengatur Niken menjadi lebih disiplin.

“Kalau Mas Dito mau pergi sekarang, ayo. Kita susul Niken dan pergi ke rumah Ibu,” sapa Raya yang menghampirinya dengan dua cangkir kopi hangat.

Dito memegang gagang gelas yang disodorkan tangan kanan Raya. Mereka duduk amat dekat sambil mencecap kopi. Ingatan Dito tadi malam masih seputar tawarannya untuk pergi ke rumah ibu, gelap memori setelahnya. Dia duga itulah pemantik pertengkaran hebat semalam.

“Semalam aku memang marah karena kita sudah lama tidak ke rumah Ibu. Tapi rasanya marahku tidak sampai melempar piring-piring,” kilah Dito dengan keanehan pecahan piring berserakan. Kata-kata yang dipilihnya keluar dari lisan ditata secara hati-hati. Bahkan menggunakan kata "tidak" secara formal.

“Kita sudah sering begitu kok. Kamu marah-marah sampai melempar barang-barang, paginya sudah lupa semuanya,” jawab Raya mencoba tegar sambil mengelus gagang gelas.

“Selama ini apa Niken tahu aku begini? Kalau marah, seperti orang kesurupan?”

Raya menggeleng. Sejurus kemudian, kopi dengan bentuk gelas yang sama itu dicecapnya. Dito pun ikut menyeruput kopi di genggaman. Dia menunduk malu. Semua bukti mengarah kebenaran dugaan Raya, bahwa ibu Dito ikut andil mengacaukan keharmonisan rumah tangganya.

“Kalau benar semua kejadian ini berhubungan dengan ibuku, apa yang harus aku lakukan Ray?”

“Kita ke rumahnya sekarang. Anggap gak terjadi apa-apa,” tanggap Raya singkat.

Dito bersyukur Raya mudah melupakan kejadian semalam yang tak diingatnya. Memang sudah dua minggu mereka tak berkunjung ke rumah orangtua masing-masing. Seingat Dito, tadi malam ibunya menelepon dan menanyakan kapan ke rumah. Dito menghampiri Raya yang sedang menyetrika baju. Jawaban Raya yang mengeluh karena baju belum kelar disetrika itulah yang membuat Dito naik pitam, meski apa yang dilakukan setelahnya lupa. Timbul di benak Dito rasa cemas bisa terjadi apa-apa kepada Raya kalau dia sedang kalab. Rasa iba dan syukur membuat Dito menuruti kata Raya kemanapun hari ini. Kemanapun.

***

Dito menunggu Raya dan Niken turun lebih dulu dan menyapa Bapak, Ibu, dan saudara-saudara Dito. Dari dalam mobil, pemandangan yang dulu pernah dikenangnya telah terkikis. Tak ada senyum ramah, basa-basi, lelucon atau pujian mengundang gelak tawa. Hanya adegan cium tangan kepada yang lebih tua, semua hanya tersenyum simpul, setelah itu masuk rumah. Datar dan formalitas. Tetiba tetangga menyapa Dito seturunnya dari mobil.

“Hei, Dit,” sapa tetangga ramah.

“Hei, lama gak jumpa. Sehat?” Tanya Dito ramah kepada teman masa kecil sambil bersalaman.

“Iya, begini-begini saja, gak ada yang berubah. Ya tentu lama gak ketemu, lah wong kamu jarang ke Rambipuji. Jarang jenguk orangtua. Ibumu itu sering cerita tentang kamu yang hidupnya sudah sukses, sudah jadi tentara, apalagi sekarang sudah pindah dinas di Jember kota. Enak tapi sayang, jarang jenguk orangtua.”

“Kenapa jarang ke sini? Kan enak di sini, bisa kumpul dengan saudara yang lain. Oh, apa istrimu yang gak mau tinggal di sini? Kalau ada istri ngelamak, gak mau nurut suami, ceraikan saja! Cari istri yang mau tinggal sama mertua,” ledek teman masa kecilnya yang dulu baik, sekarang lisannya jadi bajingan.

Lihat selengkapnya