Gadis cantik sering bertandang ke rumah seorang ibu akhir-akhir ini. Jauh-jauh dari Probolinggo, bertandang lantaran tertarik dijodohkan dengan putra sang ibu, Dito, yang bekerja sebagai tentara. Sang gadis menginap di rumah Pakde yang masih tetangga Ibu. Dia sesekali ke rumah Ibu dan bertatap muka dengan Dito sekadar basa-basi.
“Ini jodoh yang ideal buat kamu,” canda Marni kepada putranya sambil menyikutnya.
Dito malu-malu atas perlakuan ibunya, Marni. Sedangkan gadis berambut pendek di hadapan mereka itu semakin besar kepala, bahwa Dito akan segera melamarnya. Gita, namanya. Gadis supel dan ceria itu benar-benar yakin usahanya menuai hasil. Biasanya laki-laki yang punya usaha lebih untuk mendekati perempuan, Gita melakukan sebaliknya. Tetap tarik ulur, seolah alasan bertandangnya hanya ke rumah Pakde, bukan ingin ketemu Dito dan tentu saja sedikit jual mahal. Padahal Gita sangat ingin dipersunting tentara gagah itu. Namun, lain padang lain belalang. Nasib berkata lain, Gita tak kunjung dilamar padahal nyaris setiap akhir pekan, selama enam bulan pendekatan, dia bertandang ke rumah Pakde.
Dito mencari jodoh sendiri sesuai dengan seleranya sambil menyelaraskan selera Marni. Selain itu, rumah jodoh harus lebih dekat dengan ibunya. Marni memang mengharap calon menantunya nanti, posisi rumahnya sekitar Jember saja. Namun, gara-gara Gita, standar Marni mulai direvisi: tak perlu pintar dandan, mau belajar masak, dan tinggal tak harus di rumah mertua seperti tiga anaknya yang lain.
Marni punya banyak syarat khusus untuk pasangan anak-anaknya. Semua demi kebaikan mereka di masa depan. Dia juga mensyaratkan menantu honorerlah yang jadi pasangan Dito, supaya kedepannya bisa jadi pegawai negeri. Gita pun memenuhi syarat itu. Dia sedang proses tes seleksi pegawai negeri, sudah lolos berkas juga.
Bukan sekadar paras dan keceriaan yang dibutuhkan Dito. Hal yang kurang dari Gita bagi Dito adalah keanggunan. Gadis yang penuh usaha mendekatinya itu terlalu mencolok. Seolah tergambar nantinya jalinan rumah tangga dengan kepala keluarga yang tak berfungsi kepemimpinannya. Takut mendominasi lelaki saat jalan berduaan misalnya, tak tampak jantan dilihat orang. Selain itu, wanita rambut sepundak itu sudah mengaku-ngaku ke tetangga sekitar rumah Dito bahwa mereka sudah pacaran. Tambahlah risih Dito jadinya.
Mintalah Dito pertolongan kepada Bu Susi untuk mengenalkannya dengan cewek honorer di sekolah tempat Bu Susi mengajar. Bu Susi yang memang tahu seluk beluk gadis-gadis perawan, entah bagaimana bisa menelusuri sedalam itu, dan ketemulah cewek yang cocok menurutnya. Sang perawan dari keluarga baik-baik, keturunan ayah berprofesi polisi, namanya Raya. Secara sembunyi-sembunyi Dito meminta Raya mengirimkan foto dan data diri melalui kantor pos, tetapi tak pernah terlaksana. Tak menyerah di situ. Merasa ada kesempatan ketemuan langsung, yang dipertemukan oleh Bu Susi, Dito menembak Raya secara empat mata bahwa dirinya ingin memiliki hubungan yang serius. Muka Dito memerah hendak menangis usai mendengar jawaban ambigu Raya yang bilang tak mau. Namun, selang beberapa waktu, diulanginya jawaban Raya bahwa yang dimaksud tak mau adalah tak mau menolak. Mitos menolak lamaran lelaki kali ketiga masih sedikit mempengaruhi sisi kecemasan Raya sebagai seorang perempuan. Sedangkan Dito belum tahu alasan Raya langsung menerimanya.
Petualangan Dito mencari cinta akan segera utuh menjadi cerita rumah tangga. Gita gigit jari. Marni merana. Pasalnya, kadung menjanjikan ini dan itu kepada Gita dan yakin keberhasilan mendekati seratus persen, ternyata diam-diam Dito mencari dewi Sintanya sendiri. Tak mengapa, kata Marni. Dia akan melihat dulu calon menantu dan mencari penyebab Gita kalah saing itu. Marni yakin Gita perempuan penurut, sedangkan Raya belum dia ketahui. Sebelum janur kuning melengkung, posisi Gita belum di ujung tanduk.
“Tenang dulu, Ibu akan usahakan kamu jadi pilihan satu-satunya buat Dito.” Marni menenangkan calon andalannya dari seberang telepon. “Sekarang aku setujui dulu apa maunya anakku, sisanya akan kucari alasan tidak setuju.”
Perilaku Marni berubah tak seramah sebelumnya ketika Dito pulang kerja dari Kediri di akhir pekan. Dibelikannya makanan oleh-oleh dari Kediri, memang diterima oleh Marni, tetapi tak dimakan. Ketika berpamitan ke rumah Raya, Marni melarang dengan seribu alasan. Salah satunya Marni ingin ke rumah saudara dan harus Dito yang mengantar Marni dengan mobilnya. Saudara Dito beserta iparnya, semua sibuk.
Akhir pekan berikutnya Dito pun sibuk kembali ketika pulang ke rumah. Lagi-lagi tak sempat ke rumah Raya. Sampai di minggu ketiga, Dito baru sadar Marni sengaja menyibukkan dirinya. Maka Dito mencuri waktu, saat Marni lengah, bergegaslah dia ke rumah Raya dan langsung menemui orang tua Raya. Dito bertandang sekalian melamar Raya.
Marni membisu ketika Dito duduk bersama keluarga besar, membicarakan maksudnya. Semua satu suara akan keputusan Dito hendak mempersunting pilihannya sendiri kecuali Marni. Pokoknya dia hanya menggeleng dengan segala kelebihan calon yang dielukan Dito, segala alasan ditolaknya.
"Pokoknya saya tidak setuju kalau dia tidak mau tinggal serumah denganku! Aku ini ibumu. Ingin kumpul keluarga sampai tua, melihat anak-anak rukun dan guyub dengan iparnya. Ikut merawat cucu. Itu syarat utama kamu boleh nikah," Marni memelas mengucapkannya.
"Tapi kalau Gita, kenapa Ibu tidak mempermasalahkan? Gita yang katanya kurang suka dandanlah, kurang bisa masaklah, tidak dipermasalahkan. Gita juga keberatan tinggal serumah di sini. Kenapa kalau ke perempuan lain standarnya berubah, Bu?"
"Itu karena rumah Pakdenya dekat. Kalau kamu dapat Gita kan enak, bisa sambung persaudaraan dengan tetangga. Tetangga dan semua keluargamu ini setuju kamu dengan Gita. Lagipula aku heran ya, kenapa bisa-bisanya kamu cari sendiri? Sementara Gita gadis baik-baik dan suka sama kamu. Soal standar menantu, aku ini ibumu, kan? Pasti mencarikan yang terbaik untuk anaknya. Lihat kakak-kakak dan adikmu yang sudah nikah duluan. Bahagia kan, tinggal di sini?"
"Bu, ini semua masalah hati. Dito jatuh hati dengan gadis yang lain, bukan bermaksud melawan kemauan Ibu. Diterimanya niat Dito melamar Raya, juga bukan sebuah kebetulan. Semua sudah takdir Tuhan," sela ayah Dito di tengah perdebatan.
"Kamu diam dulu, Pak! Biar Dito mengubah pikirannya dulu. Siapa tahu yang kalian anggap takdir ini hanya sebuah kesalahan ikhtiar. Kalau Dito menikah dengan Raya, belum tentu juga punya anak-anak yang sehat kalau aku tidak ikut merawat," sahut Marni muntab.
"Bu, hati-hati, doanya," sela Bapak lagi.
Marni beranjak dari kursi lalu masuk ke kamar dan menguncinya. Seolah masih remaja yang sedang kesal karena keinginannya tak dituruti. Semua orang di ruangan terdiam. Bapak terlihat gemetar, khawatir Marni mogok makan. Dua kakak Dito tak berkutik, adik perempuannya pun bungkam. Begitu pula ketiga iparnya berpangku tangan. Semuanya duduk termenung.