The Game After Married

Mustofa P
Chapter #9

Rahasia Bagas

Rahasia Bagas

Hujan lebat mengusir kerumunan siswa di lapangan dan beberapa tempat terbuka. Tampaknya hujan reda akan cukup lama. Ada yang menghubungkan hujan dengan kenangan kesedihan, dan tidak sedikit yang melakukannya. Sendu yang diundang ingatannya sendiri baik sewaktu jalan maupun rebahan. Kadang kenangan rumit juga muncul dipacu orang lain atau kejadian sekitar. Seperti yang dialami Bagas hari ini.

Ruang konseling yang memiliki dua meja di dalamnya terpisah lantaran disekat dinding kalsibot. Satu unit dekat pintu tempat Bagas dan satunya lagi rekan kerja yang jarang duduk di sana. Rekan sesama guru konseling itu lebih sibuk bercengkrama di kantin atau kantor guru, tetapi dua guru konseling ini saling melengkapi. Tak ada perseteruan dan nyaman dengan prinsip masing-masing. Bagas pun nyaman sering berada di ruang konseling dan melakukan inisiatif terhadap fenomena terjadi, termasuk edukasi pernikahan kepada siswanya. Tak bisa mencegah keinginan orang tua mereka khususnya untuk siswi nikah dini, tetapi setidaknya bisa mengedukasi. Keluhan keluarga tak hanya ekonomi, ada pula masalah mertua atau gabungan keduanya. Sebagaimana yang dialami Bagas, diuji ekonomi dan istri serumah dengan ibunya.

Saat hujan lebat itu, seorang perempuan alumni duduk meminta nasihat Bagas. Sebagaimana keahliannya yang bisa menduga perasaan apa yang berkecamuk dalam pikiran alumni itu, Bagas menjelaskan serinci mungkin. Orang yang baru mengenalnya akan mengira sok tahu. Namun, orang yang lama berada di dekatnya merasa dimengerti isi pikiran tanpa banyak mengungkapkan.

"Ya, seperti itulah, Pak, kira-kira. Saya tidak bisa mengungkapkan secara jelas karena menumpuk di pikiran. Tetapi penjelasan Pak Bagas sudah runtut dan memang itu yang saya alami dan rasakan. Tertekan," ucap alumni yang sudah menikah itu.

"Jadi solusi yang kamu pahami saat ini adalah pindah rumah dan tidak serumah dengan mertua?"

"Iya, tapi bingung, Pak. Masa pindah ke rumah saya? Nanti suami merasa tertekan seperti saya jika serumah dengan bapak saya," ucap alumni gusar.

"Ingat untuk hirup napas panjang ya. Itu bisa mengurangi stres dan hembuskan perlahan. Hirup napas panjang, ditambah hirupan pendek, lalu tahan beberapa detik. Hempaskan perlahan," terang Bagas sambil memperagakan dengan dada yang membusung dan gerakan tangannya berisyarat tahan. Alumni itu kembali menghirup udara bahkan memejamkan mata, menahan udara di dalam dada beberapa saat sebelum dihembuskan perlahan.

"Bagaimana, sudah tenang?" Tanya Bagas.

"Saya tidak punya pilihan selain berumah tangga setelah lulus sekolah, Pak. Saya juga tidak tahu mau curhat ke siapa. Mau curhat ke Psikolog, mahal. Buat makan saja agak seret."

Bagas hanya tersenyum sambil duduk bersandar. Dia menatap mata alumni itu bukan karena tertarik. Dia ingin memahami apa yang sedang dipikirkannya.

"Maaf, kalau Pak Bagas sendiri, mengalami hal yang sama seperti saya tidak? Pasti Pak Bagas punya rumah sendiri kan ya?"

"Iya, saya mengalaminya. Saya masih mengalami hal yang sama sampai sekarang. Maksudnya, istri tinggal serumah dengan Ibu. Bahkan istri yang minta supaya tetap satu rumah saja dengan Ibu, karena Ibu sekarang seorang diri. Bapak saya sudah tiada. Saya juga mengalami kesulitan ekonomi walaupun sekarang sudah membaik sejak diterima jadi guru negeri. Sebelum menikah, rasanya belum bisa berbuat banyak untuk Ibu dan Bapak."

Hujan masih turun dengan lebat yang menggenang lantaran lambat diserap pori-pori tanah. Bagas larung dalam genangan kenangan sendiri yang lebat turun dalam ceritanya kepada alumni. Sampai suasana sendu merembes ke dinding ruangan konseling.

***

## Mak,

Sampai saat ini anakmu berjuang. Sampai kini masih gagal membebaskan engkau dari lilitan utang. Padahal bara semangatku menimba ilmu telah dikobarkan sebesar unggun sedari dulu. Hingga akhirnya lulus dan diterima kerja. Bergaji mentereng. Puas menikmati uang peluh sendiri. Semua demi membahagiakan Emak dan Bapak. Tak peduli dipanggil sandwich generation. Saat stres kerja, pikiran kehilangan arah, aku cukup ingat wajah-wajah tersenyum kalian. Namun sayangnya, kerja dan gaji ini tak membebaskan engkau dari lilitan itu, Mak.

Emak adalah pembohong itu bukan mitos. Dusta yang tak akan pernah terkuak itu, akan selamanya tertutupi senyumanmu. Ya, akan terbungkus rapi apabila sewaktu remaja, aku tak melihat dua orang memaki-makimu. Aku tak pernah lihat bapak memaki, mengumpat seperti mereka. Para penagih yang menurutku durjana dan bajingan. Kini diksi makian yang dipilih oleh lintah darat itu adalah cara tajam membuka pintu jahanam. Masih sama, engkau lagi-lagi dimaki. Meskipun oleh orang berbeda.

Lihat selengkapnya