Tak hanya ibu Bagas, tetapi juga kakak dan para sepupunya telah sepakat menagih keputusan Bagas sendiri. Sangat bisa perempuan itu bertekuk lutut atau dibuat tak laku. Namun, Bagas tetap menggeleng. Dia beralasan, bagaimana kalau ajal datang dan mati di rumah dukun? Apa kata berita? Seorang guru bimbingan konseling ditemukan tewas di rumah ahli sihir. Berencana guna-guna perempuan, malah bernasib nahas, apa kata Tuhan?
***
Bagas juga bingung kenapa bisa seperti ini. Padahal, selama kenalan tiga bulan terakhir, pertemuan dengan perempuan itu sudah tiga kali banyaknya. Keduanya sudah sama-sama sepakat, merencanakan kehidupan rumah tangga yang seperti apa kedepannya. Barang yang dibawa untuk meminang pun, atas persetujuan si calon perempuan itu. Berangkat dengan tradisi suku jawa khas Jember: sekilo gula, sekilo kopi dan setandan pisang raja.
Bagas berangkat dengan riang bersama rombongannya ke Lumajang, bercanda dengan sahabat yang mengantarnya meminang. Tetapi Bagas pulang dengan muka tertunduk. Diamnya, ditemani tatapan kosong ke arah kaki.
Pasalnya, paman yang menjadi pengantar memutuskan cepat-cepat pulang. Si gadis ragu-ragu, katanya.
"Kamu tidak usah malu. Justru keluarga perempuan yang seharusnya malu," hibur paman yang duduk di belakang kursinya.
"Kalau kamu mau, sangat bisa kalau cuma membuat dia mengejar-ngejar kamu," sahut ibunya yang duduk di sebelah paman.
"Itu syirik, Mak," jawab Bagas singkat.
Pantang baginya sebagai guru konseling melakukan kemungkaran sebesar itu. Lagipula dia tak cinta. Hanya karena masih satu rekan kerja dan kepala sekolah tempat kerjanya yang dulu mengenalkan, jadilah keduanya bertukar proposal.
***
"Cobalah kamu nyabis, Nak. Kamu tidak pernah nyabis masalahnya. Datangilah kiai, walaupun cuma sekali seumur hidup," ujar pamannya setiba di rumah. Salah satu lelaki di keluarga yang didengar wejangannya selain ayah Bagas.
Bagas tidak menggeleng, juga tidak mengangguk untuk wejangan itu. Menurutnya, nyabis seperti meminta doa keberuntungan. Sebuah tradisi yang dibawa nenek moyang suku Madura untuk mengharap berkah ketika bertemu kiai di pesantren. Bedanya, masyarakat pandalungan nyabis kepada macam-macam kiai. Di daerah-daerah Jember, baik suku Jawa maupun Madura suka sowan kiai. Kiai tanpa punya pondok pesantren pun boleh. Misalnya guru ngaji sepuh yang taat beribadah.
Terkadang, Bagas menyaksikan sendiri orang-orang nyabis itu, melakukannya kepada siapa saja yang lumrah dipanggil kiai. Seperti yang dia ketahui, orang-orang sepulang nyabis banyak yang memperoleh secarik kertas dari kiai, untuk ditaruh di dompet. Gara-gara itu, Bagas menyebutnya dukun berkedok tokoh agama. Itulah yang membuatnya tidak pernah nyabis seumur hidup. Tak seperti paman dan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan pamannya sudah berganti-ganti kiai.
Sewaktu Bagas masih SMA, pamannya bepergian jauh ke Situbondo menemui kiai yang punya karamah. Alamat rumahnya sekitar Makam Syekh Maulana Ishaq di Pecaron. Dulu paman memiliki penyakit yang tidak diketahui secara medis. Karamah dari kiai itu adalah membaca doa-doa yang diajarkan nabi, meniupkan doa itu ke bejana berisikan air yang akan dicampur dengan air untuk mandinya paman. Doa-doa dari ayat suci yang dibacakan kiai juga mustajab. Terutama soal jodoh. Sayangnya, kiai itu sudah wafat.
Pamannya nyabis ke kiai pesantren dekat rumah setelah wafatnya kiai Situbondo itu. Namun, kiai di pesantren dekat rumahnya itu spesialis membuat laku dagangan. Sementara paman bukan pedagang. Sekitar tiga tahun kemudian, berdasarkan usul seseorang, paman pindah nyabis ke kiai yang tahu arti mimpi. Sebelas kilometer ke arah barat dari rumahnya, beda kecamatan.