The Game After Married

Mustofa P
Chapter #12

Serangan Balik

Tak ada yang terlalu berubah dari kebiasaan sehari-hari ibu guru yang datang lebih awal dari yang lain. Senantiasa dengan cerianya mengajak ibu yang lain bergabung untuk swafoto bersama. Bedanya, kali ini Bagas sudi berfoto. Dia tak sedang bergegas masuk ke ruangan konseling seperti biasa. Tak sedang menawarkan diri sebagai fotografer dadakan. Tubuhnya yang atletis dan tinggi, juga rupa yang fotogenik, membuat kumpulan foto ibu-ibu itu jadi estetik. Bukan karena ibu-ibu itu menggemari Bagas, bukan pula karena ingin tampak estetik karena ada cowok fotogenik, melainkan niatan awal ibu-ibu hanya mengabadikan momen pagi hari. Momen riasan masih segar dan bukti keistikamahan datang lebih awal yang memotivasi swafoto bersama. Itu saja. Setidaknya, sudinya Bagas ikut berfoto membuktikan bahwa dirinya tak ada gengsi. Dia hanya suka dengan kesibukan yang terjadwal. Tak suka swafoto tanpa keinginan pribadi dan menggantinya dengan jadi fotografer dadakan. Seperti halnya hari ini, berfoto bersama dengan ibu-ibu pejuang pagi sudah tercatat di agendanya.

Hari ini tak ada jadwal konseling dengan siswa. Hari ini tak ada upacara. Seluruh siswa ujian, tetapi hanya sebagian guru yang menjadi penjaga ujian akhir semester. Jadwal kegiatan Bagas hari ini setelah foto bersama adalah mempertemukan temannya, Psikolog, dengan Raya. Kebetulan Raya di Hari Senin ujian jam pertama tak sedang jadi penjaga. Waktu yang tepat, karena Bagas telah menggelontorkan dana untuk mendatangkan psikolog ini.

***

Seorang wanita penganut Yesus Kristus dengan kaki jenjang berpantofel melenggang percaya diri menuju ruang konseling. Dia wisudawati terbaik dari yang terbaik, jika diranking, Bagas ada di urutan ketiga sementara wanita yang melenggang itu urutan pertama. Tentu saja hanya segelintir orang yang tahu alasan wanita itu berkunjung ke SMK tempat Bagas bekerja: rekan sejawat guru BK, Bu Susi, dan kepala sekolah. Kepala sekolah perlu tahu maksud kedatangan wanita yang mampu mengintervensi perilaku ke arah yang lebih baik itu. Seorang dokter tanpa jarum suntik tak sedang mengetes intelektual siswa sebagaimana dua tahun terakhir disewa sekolah. Kedatangannya karena karakter ingin menghadirkan solusi sama-sama menang dari seorang Bagas, setelah berkisah tentang rahasia terbesarnya di dalam biduk rumah tangga. Istri Bagas tak punya masalah sebesar Raya lantaran mampu menjalin kerjasama dan menetapkan batasan-batasan tak tertulis di kehidupan sehari-hari. Ibu Bagas selaku mertua tak mendominasi, apatis, merasa istimewa dibandingkan orang lain dan merasa pantas diistimewakan. Berkebalikan dengan semua ciri-ciri Marni yang ingin semua anak dan menantu mengikuti program aturan hidupnya yang sempurna, genius, benar tanpa bisa disangkal. Ibu Bagas hanyalah perempuan renta yang pernah jadi diktator ulung sementara waktu, paska ayahnya berhenti kerja yang berat dan hanya melakukan pekerjaan ringan. Sedangkan Marni terus bertahta, titahnya membuat semua bertekuk lutut. Kini Raya dibantu menghadapi dan menentukan batasan-batasan kepada Marni. Di lain sisi, Raya melawan kemungkaran Marni yang bersekutu dengan pelaku klenik. Sisi lainnya, perlu dikondisikan unsur kejiwaan.

"Apakah penyakit mental suami saya bisa disembuhkan, Mbak?" Tanya Raya kepada Psikolog yang berada di seberang meja.

Bagas tak ada di ruangan konseling. Psikolog yang menguncir rambutnya ke belakang itu menempati kursi Bagas. Psikolog sudah mendapatkan informasi simtom NPD yang diidap suami Raya. Selain itu, sebelum masuk ruangan dan sesuai instruksi Bagas, Raya harus rela menjadikan Dito sebagai pasangan yang sedang mengidap penyakit NPD- sebuah penyakit mental narsistik berbahaya- dan perlu penanganan khusus. Instruksi dari Bagas, Raya kudu beralasan bahwa Dito sedang bekerja. Jadi tak bisa ikut melakukan sesi terapi mental. Psikolog terbaik menurut Bagas itu tak mempermasalahkan apabila Raya saja selaku istri yang ikut sesi terapi.

"Berdasarkan informasi dari Bagas dan saya percaya dengan Bagas bahwa gejala perilaku yang dialami suami Mbak Raya tergolong NPD tingkat sedang. Orang yang punya kepribadian NPD ringan bisa ditekan atau dihilangkan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan kalau gejala sedang ke berat, cukup susah dan perlu adanya pembiasaan tertentu untuk menekannya agar tidak terlalu tampak. Dengan terapi perilaku, diharapkan simtom NPD dalam diri suami Mbak Raya bisa berkurang, bahkan tidak muncul-muncul lagi. Kita tidak tahu sejauh mana tingkat keberhasilannya nanti," jawab Psikolog yang wajahnya teramat ramah.

Senyumnya saja bisa membawa aura positif Raya menguar. Optimis yang menjalar naik dalam dirinya merangsang keyakinan akan kemenangan. Dia tak sudi Dito tetap tak berkutik seperti 16 tahun terakhir menghadapi titah Marni. Dito harus menjadi kepala keluarga, yang mengatur masa depan bahtera mereka. Bukan mertua.

"Jadi apa saja yang harus saya lakukan Mbak, untuk menyembuhkan kepribadian suami yang sekarang sedang menyimpang ini?"

"Pertama yang harus dilakukan, utamakan untuk membentengi diri Mbak terlebih dahulu. Mbak harus menghadapi dengan perlahan. Terus melatih diri agar tidak benci, tidak tersulut emosi, dan segera meyakinkan diri bahwa Mbak Raya tidak bisa mengontrol orang lain tetapi bisa mengendalikan diri sendiri. Dengan begitu, Mbak Raya akan menjalani hidup lebih tenang, lebih sehat jasmani dan rohani, juga lebih banyak menjalin keharmonisan dengan suami."

"Oh, begitu. Berarti ada hubungannya ya Mbak, antara sehat jasmani dengan mental yang sehat? Kira-kira mental saya sehat tidak, Mbak?" Raya antusias mendengarkan solusi sampai melontarkan pertanyaan beruntun.

"Baik, saya akan jawab pertanyaan yang pertama dulu. Memang benar ada hubungan antara kesehatan mental dengan kesehatan fisik. Banyak jurnal ilmiah yang membuktikannya dari tahun ke tahun. Misalnya saja, rasa kesepian ternyata membuat orang mudah terserang influenza. Banyak beban pikiran bisa membuat asam lambung naik. Amarah yang ditahan juga bisa mengurangi sistem imun, organ dalam mudah terserang penyakit. Suatu misal klien saya sakit liver, usut punya usut ada hubungannya dengan amarah yang dipendam selama ini, bahkan cukup sulit memaafkan. Contohnya lagi penyakit yang menyerang Pak Habibie, mantan presiden ketiga, nama penyakitnya psikosomatis malignant. Jika tidak sehatnya mental Pak Habibie dibiarkan saja, tidak segera ditangani, beliau akan meninggal lebih cepat."

"Selama Mbak Raya tidak sering cemas, tidak terserang penyakit sesak napas, asam lambung tidak naik, atau penyakit lainnya karena ditimpa masalah sebegitu banyaknya, itu berarti mental Mbak Raya sehat. Mbak Raya kuat, bisa mengontrol emosi diri sendiri, itu termasuk ciri-ciri mental yang sehat," imbuhnya.

"Bagaimana membentengi diri sendiri, Mbak, supaya bisa mengalahkan superioritas pasangan?"

Lihat selengkapnya