Roda empat melaju ke arah selatan menjauhi pusat kota Jember. Hendak menyaksikan riak-riak lautan yang berduyun-duyun berlabuh ke bibir pantai. Dua kendaraan beriringan menempuh 40 kilometer menuju tepian pulau. Alam pagi ini mendukung, dengan sinar hangat yang menerpa daratan tanpa disaring awan. Awan belum berarak-arak sebagaimana adegan menuju siang di Jember hari kemarin. Kendaraan posisi pertama yang lebih luas tempat duduknya itu disupiri oleh Dito. Hanya saja Marni tetap geram lantaran Rayalah yang berada di kursi depan, mendampingi putra tentara kebanggaannya. Sedangkan dirinya bersama suami dan Niken, si cucu angkatnya. Tiga cucu lain duduk di kursi belakang. Tak ada alasan kuat yang bisa membuatnya duduk depan kecuali mabuk darat.
"Duduk di kursi depan saja, Bu. Biar tidak mabuk. AC depan juga dimatikan saja," ucap Raya sopan dan ramah. Senyuman Raya yang tampak tulus membuat Dito turut membujuk Marni pindah kursi. Di separuh perjalanan, mobil terhenti. Raya membukakan pintu agar Marni pindah, padahal Marni jarang mabuk. Bukannya senang ditawari duduk di depan, dengkus Marni terdengar oleh Raya beserta lirikan tajamnya saat keluar pintu. Baiklah, satu-kosong, pikir Marni.
Angin pun belum sekencang siang kemarin, terik tak menyengat kulit ketika mereka tiba di daerah Wuluhan. Sejam lamanya, dua kendaraan yang ditumpangi keluarga Marni tiba di parkiran area wisata Pasir Putih Malikan. Baru saja digunjing kalau angin belum berhembus kuat, tiba-tiba angin sepoi-sepoi menerpa tubuh mereka.
Setibanya di bibir pantai, Raya tampak saling melempar senyum dengan Marni. Tumben mereka rukun, pikir Dito. Jauh di lubuk hati, keduanya sedang adu strategi mendapatkan hati Dito. Sedangkan Dito bersitatap pula dengan Raya barang sebentar sebelum melangkah perlahan beriringan. Mata kedua pasangan ini merapah mencari tempat yang tepat untuk foto bersama. Jari keduanya saling bertaut. Sementara dari arah belakang, Marni yang semula di sisi suami mendadak maju dengan langkah cepat. Setibanya di depan tangan bertaut itu, Marni menyerobot, memisahkan tautan Raya. Jadilah Marni diapit sepasang suami istri yang tak disukai dengan segala adegan harmonis olehnya. Raya mengerti dan dia beringsut mendekati bapak mertua. Dia menaruh takzim kepada bapak dan mengajaknya berbincang sambil melihat-lihat alam.
Selang beberapa menit menyisir pantai, sambil saling mencari siasat jitu perebutan poin. Setelah Raya, dan tanpa diduga Marni juga, menemukan spot tempat foto yang tepat, rombongan dua mobil itu memasang kuda-kuda untuk foto keluarga. Tak disadari oleh Dito, Marni menyerobot lagi untuk bersanding dengan Dito menggantikan Raya. Dua menantu perempuan berada di sebelah kirinya, dan deretan setelah para menantu ada Niken. Jadilah Raya menepi paling kiri setelah bapak mertua, Dito paling kanan digandeng ibu tercinta, dan anak-anak di depan. Baiklah, tak mengapa Dito bersanding dengan Marni di foto. Masih wajar cara rebutan perhatiannya, pikir Raya.
Tanding mental kali ini jadi seri: satu sama, pikir Marni. Setelah dikalahkan oleh paksaan pindah tempat duduk di mobil, kini kudu menang. Sejatinya Marni tak ingin kulit kuning langsat menantunya itu bersaing dengan kulitnya. Walaupun kulit dan rambut Raya terbalut pakaian tertutup sejak lama, tetap Marni risih. Terlebih pakaian mahal yang dikenakan menantu, terlalu mengusik ketenangannya. Setiap melirik pakaian Raya, Marni tak ingin Dito hanya menuruti kemauan Raya termasuk koleksi pakaian berjenama. Dia ibunya, Dito miliknya, yang berasal dari rahimnya kudu lebih memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Seharusnya seperti itu, karena setahu Marni dari ceramah ustaz, harta anak adalah harta orang tua juga.
***
Acara selanjutnya basah-basahan dengan air laut. Hanya anak-anak saja yang mandi di bibir pantai, orang-orang dewasa menggelar tikar. Niken sebagai cucu Marni yang paling besar, menjaga lima cucu Marni yang lain. Pasir Malikan masih bersih dari sampah-sampah plastik, putih menguning tanpa limbah, masih selaras dengan namanya si Pasir Putih. Hantaman ombak yang bersusulan enggan menghempaskan tubuh anak-anak yang mandi apalagi sampai terjungkal. Tubuh anak-anak yang diterpa buih-buih, malah makin riang. Ketenangan air asin itu lantaran daratan bibir pantai menjorok ke dalam, membuat tubuh anak-anak dihantam ombak ramah yang tak pernah garang.
Langit biru ditemani tarian awan mungil turut menikmati merdunya tabuh gelombang di bibir pantai. Menyaksikan anak-anak berlarian dan orang-orang dewasa yang tampak sama mungilnya terlihat dari atas sana. Angin sepoi-sepoi membantu awan yang menari kian banyak berdatangan. Sedangkan di daratan, angin sepoi yang melambaikan nyiur juga cocok untuk menyulut bara api, mengepulkan asap dan mematangkan ikan-ikan di atas bara.
Sedari awal dua rombongan mobil yang berbeda itu suka bergerombol sesuai dengan kelompok sewaktu berangkat. Begitu pula acara gelar tikar untuk makan siang. Bakar-bakar ikan ada di area tikar ipar Dito. Sebagian besar orang-orang dewasanya bergerombol di sana, enam orang jumlahnya. Sedangkan Dito dan Raya sudah membawa bakul nasi dengan lauk pauk matang dari rumah. Marni dan suami sudah menyendok nasi dari wadahnya lebih dulu. Daripada ikut susah mengipasi ikan bakar di kelompok tikar sebelah.
"Aku makan di sini saja daripada capek ikut mengipasi ikan bakar. Biar baju juga aman dari bau asap. Ini semua beli kan, Dito? Nah, begini nih. Lebih baik beli. Lebih praktis gak pakai lama masaknya. Kalau masak sendiri, duh. Jam berapa nanti kita sampai," ucap Marni sambil memungut lauk ikan irisan tuna dan dua tempe goreng.
Dito hanya memperlihatkan gerahamnya pertanda tawa yang ditahan. Dia tahu ibunya tak suka jika Raya yang masak. Terlalu higienis. Saking menjaga kebersihan, semua makanan yang dimasak menantu paling menyebalkan itu akan selesai dalam waktu lama. Pekerjaan memasak Raya tak ada perubahan. Selama bertahun-tahun menjalin pernikahan, dia memasak dengan amat pelan. Persis seperti siput, kata Marni.