The Game After Married

Mustofa P
Chapter #14

Prahara Bu Susi

Di dalam layar sentuh tersimpan deret-deret obrolan kolom hijau bercentang biru. Sebuah pesan daring di grup WhatsApp beranggotakan seorang diri. Ditambahnya pesan kolom hijau yang berisi pesan jadwal hari ini. Mulai dari sarapan, berkumpul dengan guru-guru di ruang guru, tiba sekolah maksimal pukul 06.45 pagi, memberi utang Bu Susi, dan sebagainya, hingga menjelang tidur nanti malam. Agenda-agenda kecil itu bersusun rapi ke bawah. Bila ingin memanjat pesan, maka akan menemukan pola pesan yang sama. Sekadar jadwal kegiatan pribadi yang telah tercentang berhasil dan sebagian tak sempat dikerjakan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan sepagi ini pun diberi tanda centang, sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian diri seharian. Saban hari dia berusaha menghindari kesia-siaan. Meskipun terlihat aneh dan asing, konsep menjadwal kegiatan ini didapatkan dari junjungan nabinya, yang mana setiap pagi memikirkan kegiatan sehari-hari dan bertawakal kepada Tuhan dalam mengerjakannya. Namun, bagi guru yang lain ini terlalu ekstrim.

"Nah ini dia si introvert parah baru kumpul di ruang guru," celetuk salah satu ibu guru. Sebagaimana orang-orang pada umumnya, ada orang yang suka, ada yang tak suka.

"Eh, Bu. Kan kerjanya Pak Bagas memang bukan di sini? Kalau ada rapat atau ada perlu, baru dia ke sini," sahut guru seberang kursi.

"Pak Bagas mau usut kasus yang kemarin kan?" Imbuhnya.

"Saya ada perlu yang lain, Bu," jawabnya.

Sudah pukul sembilan pagi, waktunya guru dan murid istirahat. Bagas tersenyum ramah menanggapi sapaan ibu-ibu itu, sambil menuju tempat duduk, samping kursi rekan konselingnya. Bapak guru konseling yang mendekati pensiun itu tak ikut celetukan dua ibu tadi.

Minimal tiga kali dalam seminggu dia ke ruang guru dan sesekali ke kantin, tak ada keanehan sebenarnya. Namun, dugaan orang-orang kalau Bagas tergolong kaum introvert memang benar, tetapi dia bukan pemalu. Dia berani menyampaikan pendapat di depan publik termasuk akhir-akhir ini. Pencegahan nikah dini yang sering dialami siswa-siswinya, dengan pencerahan adanya konflik keluarga yang harus diantisipasi. Tentu selain ekonomi dan keterburuan punya anak, dengan mertua perlu diantisipasi apabila tinggal serumah.

Mengenai celetukan, Bagas hanya perlu mengendalikan emosi diri. Dia rasa sudah cukup dengan memahami pendapat semua orang. Tak perlu mendebat, pemikiran orang tak bisa dikendalikan. Setelah bersalaman dengan rekan konselingnya itu, Bagas mengajak bicara seniornya, "Bagaimana, ada berita baru, Pak?"

"Ya, kalau kemarin ada. Bu bendahara kehilangan uang. Makanya mulai sekarang diajukan CCTV saja untuk ruang guru. Kalau tetap memakai tradisi saling percaya, kalau ada kehilangan lagi ‘kan cuma saling tuduh akhirnya," tanggap guru konseling senior.

Bagas mengangguk saja, sambil mengusap layar sentuh. Tampak tak tertarik mencari siapa pelakunya, sedangkan di lubuk hati berbeda. Cahaya dari impuls saraf di otaknya melompat-lompat antar jaringan, mencari arsip-arsip informasi kehilangan uang guru di SMK. Begitu suka saraf-sarafnya akan pemecahan kode dan segala misteri. Langsung saja dia mengantongi satu nama guru yang dicurigai semua orang. Tetapi bisa jadi kali ini pelakunya orang lain atau memang dari dulu bukanlah Bu Susi saja.

Guru-guru berdatangan menuju kursinya masing-masing, termasuk ibu-ibu ahli swafoto pagi hari. Ibu-ibu ini berderet masuk. Sempat menyapa Bagas yang turut dihormatinya, lantaran sering menjadi fotografer dadakan. Sebagai salah satu teman guru yang suka datang lebih awal ketimbang murid, sehingga perlu diabadikan momen pagi hari itu. Termasuk Raya turut mengangkat tangan tanda menyapa. Raya tak lanjut berdiskusi dengan Bagas mengenai klandestinnya. Ada sosok yang muncul masuk ruangan dengan cepat, bak pemangsa yang menyambar tubuh Raya. Bu Susi segera menarik wanita yang dianggap anak sendiri itu menuju kursi mereka berdua.

"Dia yang dicurigai," bisik senior saat mendekat ke telinga Bagas.

Memang sesuai dugaan Bagas, yang diduga orang-orang adalah Bu Susi. Hanya saja tak ada bukti sehingga orang-orang tak berani menegur. Selain itu, Bu Susi punya kekuatan tak kasat mata yang membuat para guru bergidik: pandai menyebar berita. Bila membuat Bu Susi terusik, orang yang bersangkutan akan diumbar rahasianya. Meskipun rasa tak nyaman dekat dirinya, supel dan cekatannya Bu Susi membuat orang-orang tetap membutuhkannya.

Tak hanya Raya yang suaminya diberitakan impoten, ibu mertua yang beringas, dan sosok Mbah Siti yang berhasil memerangi teror 02.30 dini hari, tetapi juga latar belakang Bagas. Bagaimana Bagas kecil ketakutan saat rentenir datang, menjadi pendiam seperti sekarang, dan alasan istri serumah dengan mertua. Padahal semua orang mengeluhkan konflik dengan mertua, istri Bagas malah serumah. Suami tinggal di Jember kota sedangkan istri rela di pelosok desa dekat pantai. Itu yang diherankan Bu Susi dan dia terus mencari tahu informasi tentang Bagas. Namun, Bagas menutup rapat keadaannya sekarang dan rencana masa depannya. Pikir Bagas, jika terus berurusan dengan Bu Susi maka dia akan menjadi Raya berikutnya. Sebagai tameng alibi atau semacamnya. Tentu Bagas memikirkan klandestinnya sendiri yang tak akan diketahui Bu Susi.

Dengan kekuatan itu, Bu Susi dengan siapa saja bisa akrab. Saking akrabnya dengan seluruh guru dan khawatir dijajakan berita negatif, secara leluasa dirinya meminjam uang kepada yang diakrabi. Sebagaimana hari ini, Bagas memberi pinjaman kepada pemilik kekuatan gibah nomor satu itu. Sebetulnya tak masalah sering pinjam, yang penting kembali. Namun, Bagas harap uang yang kembali bukan hasil berpanjangtangan.

Bak pemangsa yang siap menyergap buruan, setelah mendudukkan Raya, Bu Susi tiba di depan Bagas. Sejurus kemudian, senior guru konseling di sampingnya beranjak hendak ke kantin. "Aku ke kantin dulu. Jaga dompetmu," ucapnya.

"Bagaimana, ada uangnya?" Tanya Bu Susi yang menggantikan posisi duduk Bagas, sedangkan Bagas menepi ke dinding.

"Ada, Bu. Ini," Bagas menyodorkan amplop putih yang disambut senyum riang.

Transaksi itu disorot banyak mata. Bagas menyadari hal itu. Berdasarkan analisisnya, seni meminjam dari Bu Susi dikira alibi agar tak dicurigai sebagai maling kemarin. Terlalu rumit mengintrogasinya sekarang. Terlalu kompleks membuktikan bahwa dirinya sebagai tersangka. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Lihat selengkapnya