Minggu pagi, kendaraan berdesakan menunggu lampu merah Mangli berganti hijau. Pemakai roda dua dengan mudahnya selip kanan-kiri bahkan di luar bahu aspal. Merebut posisi laju saat lampu hijau sudah menyala. Sedangkan saking panjangnya deretan roda empat, dua kali lampu hijau, kendaraan yang dikemudi Dito akhirnya terhenti di barisan depan. Selang sedetik lampu hijau menyala kali ketiga, suara klakson saling berburu untuk didengar telinga. Membangkitkan adrenalin melaju sepesat mungkin terutama pengendara roda dua. Deru mobil Dito sendiri pertanda lepas dari kemacetan.
"Rambipuji kan dekat dengan Roxy ya? Masa iya, ibunya cuma diajak satu kali nonton di sana," sindir Marni dari bangku belakang saat melintasi persimpangan Roxy.
Marni hanya sekali diajak nonton bioskop CGV di Mal Roxy. Sudah belasan tahun mal itu berdiri, herannya masuk dan duduk di kursi dingin nan empuk di CGV tak pernah terulang. Heran, padahal status di media sosial Raya dan Niken, terlihat mereka diajaknya berkali-kali ke sana. Ada bukti soal itu. Beberapa tangkapan layar yang disimpan Marni di album foto.
Mengenai posisi duduk di kursi tengah, dia sudah tak sudi merebut kursi depan apalagi sampai disuruh Raya pindah posisi. Genosida bidak-bidak tipu daya Marni tak akan berulang. Permainan antara menantu dan mertua akan berlanjut. Sudah siap Marni dengan segala siasat baru, yang diduga Raya tak bisa mengantisipasi. Kali ini Marni ikut jalan-jalan lantaran dapat kabar dari Dito bahwa mereka mau ke sebuah pusara keramat. Marni khawatir, Dito dibawa ke orang pintar. Sebab dia sudah paham gelagat dan niatan seperti ini.
"Bu, Ibu kan sering, diajak ke bioskop. Nonton di CGV sekali, ke Cinema 21 di Transmart dua, kota cinemall lima, Lippo dua kali. Jadi sudah sering kan, aku ajak nonton film," sahut Dito dengan sopan sambil mengendalikan kemudi. Gedung-gedung yang disebut tadi, satu persatu akan dilalui.
"Ya, kalau bisa jangan cuma sekali. Pulangnya dari makam nanti juga bisa," sahut Marni lagi.
Raya tak ikut campur urusan iri mertua. Sedang bosan meladeni permainan receh. Belum saatnya. Mata lebih tertarik menghitung lampu merah yang dilalui. Mata segar lantaran tidur cukup. Mata yang jeli melihat sebotol air jampi-jampi dan sering melihat penampakan. Lambat laun mata ini kembali seperti mata pada umumnya. Mengantuk, terlelap, dan bangun dengan segar seperti hari ini. Tanpa gangguan gedoran, lama sudah tak ada gangguan. Niken pun sudah rutin tidur kembali di kamarnya. Misi kali ini yang disarankan ustaz adalah pergi ke makam Mbah Siti. Ustaz pun tak tahu siapa entitas ini sebenarnya. Jika wali semestinya menutupi aurat, tak berbusana kebaya ketika bertamu di rumah orangtua Raya masa itu. Bertentangan dengan teori wali yang semestinya berhijab, teori lain mengatakan wali sejatinya hidup meskipun jasadnya sudah wafat. Jika entitas Mbah Siti itu jin, tubuhnya terlalu kuat mewujud diri dalam bentuk jasad yang bisa disentuh, dicium wanginya, dan berbicara layaknya manusia. Jika tergolong manusia, sedangkan alamat tinggalnya tertuju pada pusara. Bisa jadi Mbah Siti mengaku-ngaku, tetapi pusara Mbah Siti tertulis tanggal lahir yang sesuai dengan ucapannya.
“Putuku, ujianmu mengko luwih gedhe soko iki. Seng kuat yo, Nduk," pesan Mbah Siti itu terngiang di telinga Raya.
Setiap Raya mengingat Mbah Siti, dirinya sering muncul tiba-tiba dengan kebaya merah khas dan rambut disanggul. Beruntung gelang manik sebagai pusaka telah dimusnahkan oleh ustaz. Kini apabila Raya memikirkan sosok Mbah Siti, wujudnya tak pernah terlihat lagi meski masih bisa dirasakan kehadirannya. Sebagaimana dalam perjalanan ini. Di dalam mobil, Marni tak duduk sendirian. Ada Mbah Siti yang tak kasat mata mendampingi mereka. Hanya hawa keberadaan yang terasa, tetapi mata tak mampu melihat wujud sosok Mbah Siti di samping Marni.
"Cobalah Mbak Raya ziarah ke makam Mbah Siti untuk mendoakannya. Kita prasangka baik saja bahwa beliau memang wali. Selain nantinya berikrar di atas makam agar ikhlas melepaskan tubuh dari bantuannya, sampaikan juga, bahwa Mbak Raya menyerahkan urusan dunia hanya kepada Allah. Termasuk supaya hidayah datang kepada ibu mertua, hanya Allah yang bisa," ucap ustaz saat di depan mata Raya terpampang layar kilas balik momen ruqyah.
Selang 25 menit kemudian, mobil yang berangkat dari Rambipuji telah sampai di perbatasan. Kini melintasi jalan Bondowoso yang tergolong kota tertua di antara daerah tapal kuda. Jember sendiri masih belia. Walaupun penduduknya lebih beragam, daerah kota ke utara mayoritas dihuni suku Madura sedangkan daerah Jember ke selatan dihuni sebagian besar suku Jawa. Itulah alasan demografi Raya dan keluarganya yang kesusahan menggunakan bahasa Madura dan sangat lancar berbahasa Jawa. Usia kota Bondowoso yang penghuninya mayoritas suku Madura itu mencapai 204 tahun, selisih 50 tahun dengan Banyuwangi.
"Jember termasuk pesat ya, perkembangan kotanya," ucap Raya untuk pertama kalinya selama perjalanan. Sekadar basa-basi.
"Makanya, Bondowoso dulu sempat disebut kota pensiun, ‘kan. Usianya 204 tahun sekarang. Tapi kan sudah ada mal. Kalau Jember, masih tergolong kota baru. Tahun 1929 berdirinya, konon pecahan dari Bondowoso juga. Aku sempat baca buku sejarah Jember, iseng-iseng saja. Dulu di Jember banyak yang berbahasa Jawa, katanya. Lama-lama dominan Madura juga seperti Bondowoso," tanggap Dito senang mendengar istrinya mau basa-basi.
Dito sendiri senang sebetulnya ketika Raya bermanja-manja. Terbesit dalam hati jika kali ini manja, dia akan meladeni. Biar ibunya tahu kalau keluarga mereka harmonis, tak ada ritual perdukunan. Biar ibunya tahu Dito bisa memimpin nakhoda rumah tangga. Dito meladeni Raya sewajarnya dan dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri, bukan diperbudak seperti prasangka Marni.
"Kalian sudah ke mal Citiplaza? Ada bioskopnya juga katanya," pancing Marni yang tak mau kalah perhatian.
"Iya nanti sepulang ke makam wali, kita ke sana," sahut Dito singkat.