Setiap bahtera yang mengarungi samudera akan menjumpai rintangan. Seperti halnya penumpang yang rewel, kendala bahan pangan, layar, bahkan badai yang menerjang. Di situlah peran nahkoda yang mengatur segalanya. Namun, ada nahkoda yang mabuk terombang-ambing ombak-ombak besar. Terkapar tak berdaya, terserang dikte ombak-ombak yang seolah memiliki segalanya. Bahkan merasa berkuasa atas bahtera itu sendiri. Penumpang kelimpungan mencari cara agar ombak berhenti membuat karam. Biarkan nakhoda terkapar, asal penumpang punya nyali menantang sekumpulan gelombang dan angin itu. Segenap siasat dikerahkan agar tak terjungkir. Bila perlu, penumpang akan teriak menantang. Ombak-ombak yang tak punya perasaan atas perjuangan para penumpang di bahtera itu tetap mengamuk. Bahkan ombak meminta angin dari langit dan petir lebih ganas menyambar-nyambar. Berharap satu pecutan saja dari petir itu, dapat menghancurkan kapal berkeping-keping. Permainan antara bahtera dan ombak tak selalu dimenangkan badai, melainkan perjuangan yang menumpangi bahtera perlu diperhitungkan. Ada Dzat Maha Kuasa memberi kemenangan. Hingga ekspansi ombak dan angin berhenti dengan sendirinya dan waktunya akan tiba. Lambat laun, penumpang yang menang tak lagi menyalahkan angin. Tak lagi menyalahkan ombak dan nahkodanya. Ketika nakhoda kembali bangkit, tak mabuk dikte yang mengombang-ambingkan dirinya lagi. Setiap kesedihan pasti berlalu, setiap kesenangan akan tiba.
***
"Dito, pulang, Nak. Pokoknya pulang," pinta Marni dari seberang telepon.
Dito sampai menepikan mobilnya demi mengangkat panggilan genting Marni. Raya kesal tetapi memilih setenang mungkin di hadapan Dito. Ada apa lagi gerangan? Pikir Raya. Setahu dia, perjalanan ini atas persetujuan Marni. Dito yang pamit sekaligus minta doa keselamatan dan kerelaan jauh-jauh hari. Ketika hari keberangkatan, malah disuruh pulang.
"Ini sudah di tengah jalan, Bu. Sudah nanggung. Jarak ke Surabaya lebih dekat dari jarak ke Jember-nya. Ada apa sebenarnya, Bu? Bicara saja di telepon," bujuk Dito supaya Marni terus terang saja.
Raya terus memaksa Marni mengungkap alasan kuat kenapa mereka harus urung ke dokter fertilitas. Dia memberikan isyarat kepada Dito. Baik raut muka maupun tangannya. Tangan melambai dari atas ke bawah, dengan telapak menengadah. Terus dipancing agar jujur apa mau Marni.
"Tidak akan, Bu. Kami tidak akan panik kalau itu memang genting. Aku dan Raya bakal setenang mungkin balik ke rumah. Asal diberi tahu sepenting apa. Kalau cuma gas bocor kan, ada orang di situ," ucap Dito yakin ditambah dukungan angguk-angguk dari Raya.
"Bapakmu pingsan di kamar mandi. Sebentar lagi mau dibawa ke rumah sakit," jawab Marni singkat.
Raya terkejut. Rupanya sedang terjadi sesuatu kepada bapak mertua. Memang akhir-akhir ini wajah mertua terlihat lesu. Wajar lantaran pensiunan dan hanya memiliki kesibukan lihat sawah yang dikerjakan buruh tani. Tak ada semangat seperti dulu sewaktu masih menjabat kepala sekolah. Rasa sayang dan takzim Raya sama besarnya dengan perasaannya kepada ayah kandung. Raya segera mengangguk setelah Dito memberi isyarat harus jawab apa.
"Iya, Bu. Kami balik sekarang. Butuh waktu sekitar tiga jam sampai di Jember. Tunggu, ya. Tenang, aku gak ngebut. Aku akan hati-hati," sahut Dito menutup percakapan. Sejurus kemudian, kendaraan yang ditumpangi balik arah. Mencari jalan tol.
***
Sesampainya di rumah sakit, ayah Dito sudah siuman. Area wajah pucat dan bibir layu. Kata dokter, ayahnya terkena serangan jantung.
"Kata dokter, bapakmu kena komplikasi. Darah tinggi, sakit jantungnya kumat, asam lambung naik, gula darah ikut naik. Lengkap pokoknya," ucap Marni geleng-geleng, "Tapi bukan diabetes, cuma naik saja gula darahnya."
Raya yang berada di sisi kiri ranjang mertua menahan tangis. Dia benar-benar khawatir selama perjalanan takut ada apa-apa dengan bapak mertua. Digenggamnya tangan kiri Bapak. Hendak mendengarkan apa yang ingin dikatakan.
"Semalam aku mimpi, Nduk. Aku mimpi menikah lagi dengan orang yang tidak Bapak kenal sebelumnya. Tahu wajahnya tapi tidak kenal namanya. Tahu-tahu sudah di pelaminan," ucap Bapak dengan susah payah berniat melawak.
Raya pun mengubah mimik sedih dan menerbitkan senyum. Bapak mertua sudah tahu segala penyakit yang disampaikan Marni. Jauh sebelum pingsan di kamar mandi, makanya dia berusaha melawak. Mimpi itu menyenangkan baginya. Walaupun tak tahu takwilnya.
"Bapak istirahat dulu. Mungkin kecapekan ke sawah terus. Yang penting Bapak segera sehat lagi, tapi tidak usah nikah lagi," tanggap Raya setengah berbisik yang dibalas sama-sama tertawa.
Marni yang menyaksikan hal itu menarik lengan Dito keluar ruangan. Setibanya di luar, dia berkata, "Raya itu sebegitu perhatiannya ke bapakmu. Coba dia juga begitu sama Ibu. Kalau ke Ibu malah kasar omongannya."
"Doakan Raya ya, Bu, sebentar lagi bisa berubah. Lebih santun, perhatian, dan kembali mengirim uang ke Ibu. Seperti dulu lagi. Dari Dito dapat, dari Raya juga dapat. Sekarang Ibu juga perlu lebih sabar lagi, lebih menghargai lagi dari sebelumnya. Pasti bisa mempercepat Raya berubah," sahut Dito.
"Sudah tidak kurang-kurang ibumu ini mendoakan. Iya, kenapa ya sekarang tidak pernah tuh kirim-kirim uang lagi? Cuma sembako saja," sindir Marni untuk Raya yang tak mungkin dengar secara jelas.
Bapak mertua sedang berusaha memejamkan mata sesuai saran menantu kesayangan. Sedangkan Dito dan Marni beredar entah kemana. Menyisakan Raya yang menjaga di ruangan. Sementara Raya kepikiran dengan takwil mimpi Bapak. Hanya satu nama yang ada di benak, yang bisa menganalisis mimpi. Kata Bu Susi saat cerita, paman dari orang yang terlintas di benaknya pernah tertipu kiai gadungan. Pura-pura punya karomah menakwil mimpi, rupanya baca kitab tafsir mimpi. Ditekanlah nomor telepon atas nama sahabatnya itu.
"Pak Bagas ada waktu luang?"