Bagas dan ustaz yang meruqyah saling mengerti maksud dari mimpi menikahi orang tak dikenal sewaktu sakit. Hanya saja mereka diam ketika ditanyai Raya perihal takwilnya, bahkan condong mengalihkan pembicaraan.
"Begitu ya, semoga Allah memberikan isyarat terbaik kepada bapak mertuanya. Itu saja yang saya tahu, khawatir keliru menafsirkan lebih jauh. Oh iya, maaf. Baru ingat. Selain Mbak Raya, sepertinya Mas Dito perlu dibersihkan juga dari pengaruh-pengaruh negatif," kata Ustaz waktu itu.
Adanya mimpi itu atau bahkan tak pernah bermimpi sekalipun, pusara tempat ayah mertua bersemayam telah ditakdirkan. Napas yang hilang tak bisa diurungkan, mustahil dimajukan. Adanya kematian pun, ada hikmahnya. Gundukan pusara orang baik itu membuka hati Marni sedikit demi sedikit. Setidaknya itu yang dirasakan Raya melihat perubahan perlakuan ibu mertua terhadap dirinya. Penyebab lain mulai luluh hati kemungkinan dari surat resmi pemeriksaan kesuburan Dito. Entah apa rencana Marni kedepannya setelah membaca surat itu. Raya bertanya-tanya, apakah Marni akan terus memaksa Dito mencari istri baru agar punya keturunan sesuai mau Marni, ataukah tak mengapa menduda asal Dito lepas dari Raya?
***
"Sampai kapan rumah tanggamu begini terus, Nduk?" Tanya ibu Raya iba.
"Apa yang mau kamu lakukan kedepannya? Laki-laki walaupun sudah tua, masih bisa cari istri lagi. Kalau perempuan, jika memang hubungan tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebaiknya segera ambil keputusan. Mumpung masih muda. Sebelum berujung penyesalan," ucap ayahnya menimpali.
Raya memikirkan dalam-dalam usulan itu. Sewaktu usia pernikahan masih belia, dia cenderung menentang nasihat-nasihat. Hati lebih condong mendengarkan Marni, si mertuanya. Kini dia ingin mendengar suara hati ayah dan ibunya. Hanya Raya satu-satunya anak yang tersisa di keluarga, yang diharapkan memiliki anak dari rahimnya. Namun, pernikahan lebih dari 10 tahun- nyaris 20 tahun- setahu dia dilalui atas dasar sayang. Sayang jika itu harus diakhiri. Pasti Dito pun sayang jika mengkhianati.
"Ingat rencana Dito sewaktu di Madiun?" Tanya ibu Raya seakan tahu isi pikiran putrinya.
Raya dengan cepat mencari arsip-arsip memori Idul Fitri saban tahun. Termasuk yang paling parah, ketika liburan hari raya di Madiun. Belum sehari mereka berkunjung ke sanak saudara di Madiun, Dito kudu pulang. Alasan apel di Kodim. Mana ada apel di masa cuti bersama hari lebaran begini? Pikir Raya. Dito sepertinya sudah merencanakan sesuatu dengan seseorang. Beberapa jam sebelum kepulangan pagi hari, Raya memperhatikan Dito yang sibuk telponan. Istri selalu peka gelagat tak beres suami. Terlebih setelah Dito meminta izin kepada ayahnya. Ayah Raya memintanya duduk bersama mereka, hendak menyampaikan sesuatu.
"Masmu mau pulang, ada apel katanya besok. Jadi tidak bisa lama-lama di sini. Rencananya mau naik bus jam 11 malam ini. Kamu tetap pulang sama Bapak dua hari lagi," ucap Bapak.
Ini bukan sekali dua kali terjadi. Acapkali bepergian jauh dan sudah berpamitan ke Marni, ada saja alasan dari Marni supaya Dito pulang cepat. Kalau bukan Marni yang menyuruh pulang siapa lagi. Nahkoda yang terkapar akan dikte badai tentu saja menurut kemana dia akan berlayar. Namun berbeda dengan penumpangnya.
"Aku ikut. Aku juga pulang malam ini juga," sahut Raya alih-alih mengangguk pasrah.
"Tapi, Nduk, sudahlah biarkan Masmu pulang sendiri," sanggah ayahnya.
"Pokoknya ikut," Raya marah. Sedangkan Dito gusar. Wajah bingung Dito nyaris tak bisa disembunyikan. Ketahuan rupanya, batin Dito.
Saking bersikerasnya, Raya beranjak masuk kamar. Tak mau dengar panggilan ayahnya. Ini di rumah orang lagi, rumah warisan yang ditinggali paman Raya. Ayahnya urung mengejar ke depan pintu kamar yang sengaja dibuka, malu kalau jadi ribut. Selang dua menit kemudian, tas Raya sudah siap berisikan baju dan peralatan mandi.
"Ini sudah cukup. Sisanya aku titipkan ke Niken. Niken bisa pulang dengan Bapak sama Ibu."
Selama perjalanan pulang, Dito tak banyak berbicara. Sesekali Dito memeriksa ponsel mungil di sakunya. Barangkali ada pesan singkat masuk. Suara telepon seluler itu disenyapkan di perjalanan. Hanya ada mode getar. Dipikirnya Raya tak akan memperhatikan, malah kebalik. Setiap gerakan tangan bahkan dilirik serinci mungkin. Sampai ada pesan dari satu nomor tanpa nama dibaca oleh Dito. Tak terlihat isi pesannya, tetapi dia teringat satu nama perempuan, yang memang ingin dijodohkan dengan Dito oleh Marni. Mungkin maksud Marni, supaya Dito punya anak dengan selingkuhannya nanti.
Sesampainya di rumah, tak ada yang namanya pertemuan dengan seseorang. Dito benar-benar memakai seragam tentara dan apel di markasnya. Kecurigaan Raya tetap tak menghilang sampai Dito yang mengakui sendiri bahwa ibunya mencuri kesempatan agar Dito bertemu perempuan yang direkomendasikan.
Arsip ingatan Raya selesai sampai disitu dan kembali ke dalam laci memori. Mata Raya tertuju pada bibir ibunya yang tadi sempat mengingatkan momen pulang cepat dengan Dito waktu itu. Namun, Raya segera membalas dengan senyuman optimis.
"Saya punya rencana untuk berkunjung ke rumah saudara. Bapak dan Ibu ikut kami ke Kalimantan. Barangkali di sana ada cara menghilangkan pengaruh buruk mertua di dalam diri Dito untuk selamanya. Ustaz yang meruqyah Raya juga menyarankan agar Dito dibersihkan juga. Kelemahan mertua adalah Kalimantan. Dia akan mengira dukun di sana lebih kuat. Aku tidak peduli jika dicap main dukun, padahal tidak akan melakukan hal itu di sana."