The Game After Married

Mustofa P
Chapter #19

Damai dan Badai

"Rumah tangga itu akan diuji empat hal. Ujian ekonomi, pasangan, anak-anak, atau mertua beserta keluarganya. Seorang syekh pernah ditanya kenapa bertahan dengan istri yang cerewet dan suka memerintah dirinya? Syekh itu menjawab, 'Setiap keluarga punya ujiannya masing-masing, dan aku diuji dengan keadaan istriku ini.' Itu berarti, suka atau tidak, masing-masing dari kita akan menghadapinya kelak atau kita adalah ujian bagi orang-orang tua kita," ujar Bagas berpidato.

Seiring berjalannya waktu, siswa SMK mengerti alasan sosialisasi pernikahan yang diadakan dua bulan sekali ini. Maraknya angka pernikahan usai lulus sekolah jadi tantangan tersendiri untuk dicegah. Dimulai dari edukasi kehidupan rumah tangga di sekolah. Sesuatu yang membekukan mimpi dengan nikah dini, apabila bukan bunting, semestinya bisa dihindari. Jika tak bisa, minimal sebagai bekal berumahtangga. Bagas sudah merebut hati orang-orang sekitarnya, siswa-siswanya akan kangen masa-masa ini. Masa berkonsultasi secara pribadi akan digantikan guru konseling yang lain nantinya. Bagas pindah sekolah, terhitung hari ini. Kepala sekolah mengizinkan- bahkan menyuruh- adanya sosialisasi terakhir sekaligus tanda pamitnya.

"Ada banyak cerita tentang bagaimana perempuan termasuk alumni kita menghadapi mertua. Tidak sedikit yang hampir mengalami depresi apabila satu atap dengan mertua, tetapi banyak juga yang mampu bangkit dan menemukan solusi. Menemukan keharmonisan. Pesan Bapak untuk siswa, laki-laki harus menganggap sama kedudukannya dengan perempuan. Punya derajat yang sama. Tidak perlu malu kalau mencuci baju istri ketika istri sakit. Tidak perlu malu memasak untuk keluarga, apalagi yang jurusan tata boga. Apapun pilihan kalian di masa depan, lakukanlah dengan penuh tanggung jawab dan hargailah pasangan. Terima kasih."

Tepuk tangan riuh memenuhi aula selama 30 detik. Kepala sekolah maju dan mengambil alih posisi Bagas. Dipanggilnya kembali Bagas yang hendak berinsut untuk menemaninya berdiri di sana.

"Anak-anak, hari ini adalah hari terakhir Pak Bagas bekerja di sini. Sangat disayangkan Pak Bagas pindah sekolah yang lebih dekat dengan rumah ibunya. Ya, mau bagaimana lagi? Ini adalah harapan Pak Bagas sedari dulu. Setiap hari bisa bertemu dengan istri anak-anaknya pula. Mari kita mendoakan yang terbaik untuk Pak Bagas semoga menemukan keluarga baru di sekolahnya nanti. Sering-seringlah berkunjung, Pak Bagas, karena gerbang sekolah terbuka untuk Pak Bagas. Anak-anak mari kita berdoa bersama-sama dengan saya dan bapak ibu guru."

"Mohon jangan berdesakan ketika keluar aula, ya, budayakan antri. Kalau untuk bapak ibu guru, jangan keluar aula dulu, kita foto bersama-sama," himbau kepala sekolah kepada seluruh audiens usai doa penutupan.

Sesi foto-foto berlangsung meriah dan heboh, versi guru-guru sendiri. Termasuk ibu-ibu komplotan masuk pagi, tak cukup mengabadikan perpisahan dengan orang yang dihormatinya. Tak cukup dari satu angle. Sementara Lana, diam di barisan kursi murid-murid. Bagas menyadari hal itu dan memberi isyarat kemari kepadanya. Lana memeluk tubuh berisi gurunya itu.

"Terima kasih ya, Pak. Berkat bantuan Bapak, saya jadi punya tujuan jangka panjang mewujudkan mimpi. Saya akan berusaha keras mewujudkannya, mencari teman-teman baik yang mendukung impian saya tercapai. Doakan saya, Pak. Doakan menjadi orang sukses," ucap Lana kepada Bagas.

Bagas mengelus kepala Lana ketika punggung tangannya dicium takzim. Lanaberingsut pergi. Barisan anak antri keluar aula sudah selesai. Semua beredar ke kelas masing-masing. Begitu pula Lana yang berjalan cepat menuju pintu keluar. 

"Klandestin," sapa Bagas kepada Raya yang mengobrol dengan Bu Susi. "Bagaimana, sudah selesai semua?"

"Kalau ke Kalimantan, sudah. Lancar seratus persen. Juga sempat nyabis soalnya. Masih tinggal satu kegiatan besar lagi yang belum selesai," sahut Raya.

"Oh, jadi bersekongkol nih? Sengaja HP-nya Dito ditinggal rupanya. Bu Susi tidak diberitahu. Padahal bestie-nya, saudaranya. Raya sudah saya anggap anak sendiri kok tidak kabar-kabar," timpal Bu Susi sambil merangkul pundak Raya, "Apa rencana selanjutnya?"

"Betul, kan, Bu, kalau setiap orang ada sisi terangnya? Seperti halnya roda, kadang sisi gelap yang menguasai. Kadang sisi terang yang mengatur hidupnya. Bagi saya, Bu Raya sudah berhasil mengobati luka batinnya sendiri. Selamat ya Bu, bisa ke Kalimantan dengan lancar," ucap Bagas mengalihkan topik pembicaraan.

"Selamat juga untuk Pak Bagas bisa berkumpul dengan keluarga lagi, dengan anak-anaknya lagi," kata Raya sambil menelungkupkan telapak tangannya di depan dada.

"Raya, aku masih ada perlu sama Bagas. Jadi tidak apa-apa ditinggal duluan," ucap Bu Susi mempersilakan Raya pergi lebih dulu. 

"Ini cuma segitu adanya. Tinggal separuh belum bisa bayar," kata Bu Susi sambil menyodorkan amplop putih.

"Ini sudah cukup, yang setengah juta buat Bu Susi saja."

Bu Susi tersenyum dan haru. Sekaligus raut wajahnya bercampur keraguan. Bagas memahami ada kalimat yang hendak terucap, tetapi lidah Bu Susi kelu. Pita suara seolah kelesa mengolah getaran udara menjadi makna. 

"Katakan saja, Bu. Lagipula ini hari terakhir saya. Tidak akan tersebar kemana-mana," kata Bagas menangkap keinginan Bu Susi berkata-kata.

Lihat selengkapnya