The Game After Married

Mustofa P
Chapter #20

Epilog

Suasana pagi di SMA Negeri 01 Kencong, ketika berhasil memarkirkan motor di tempat biasanya. Bagas tak menemukan kesamaan dengan tempat kerja dulu. Tak ada komplotan ibu-ibu yang datang pagi, lalu mengabadikan riasan yang masih segar di wajahnya. Tak ada yang menghormati Bagas seperti komplotan ibu-ibu guru itu. Bagas tetap senang lantaran berhasil menjadi orang yang tak penting. Setiap keputusan ada risiko, tetapi menurut Bagas lebih banyak hikmah dan keutamaan. Bagas jadi lebih sering duduk di ruang guru. Bercanda dengan guru-guru, bebas dari kecurigaan akan adanya kehilangan uang. Selama di sana sebulan terakhir, minim adanya kejadian kehilangan. Kalau yang menikah sebelum tamat sekolah, baru satu kali. Kata guru-guru, itu sudah biasa. Serajin-rajinnya siswi sekolah, ada yang tiba-tiba menghilang. Tiba-tiba sepucuk surat undangan nikah datang, diperuntukkan wali kelas.

Sisi menyenangkan lainnya, Bagas bisa menyandang gelar presiden secara utuh di dalam rumahnya. Rakyat yang dipimpin dengan hikmah kebijaksanaan berhasil diterapkan. Status telah diakui oleh rakyat bahwa dia bisa berlaku adil. Emak, istri, anak-anak dan Mbak yang munib merasakan keadilan sosial.

Ada untungnya segera memiliki ratu. Dulu, sebelum duduk di singgasana cinta dengan ratunya, Bagas memandang ibunya adalah rezim tak tergoyahkan di kedaulatan gubuknya. Bertahun-tahun. Semenjak Bapak merenta lebih dulu, semenjak bapaknya nihil penghasilan. Tak memungkinkan bisa merantau lagi. Pemerintahan yang digantikan Emak, mampu membawa sosok kepemimpinan mengerikan. Bagas juga jadi rakyat ciut nyali. Nasihat dan aspirasi rakyatnya hirap ditelan kediktatoran sebelum reformasi. Lama sekali Emak bertahta hingga rezim pemerintahan hendak runtuh, lantaran presiden merimpuh. Era reformasi rupanya dapat dipercepat dengan adanya ratu. Istri Bagas diperlakukan sangat baik oleh Emak.

Emak sangat lembut dan sayang kepada menantu. Adanya ratu, ucapan Bagas diamini.

Sepulang kerja, dia dan istri keluar rumah menuju sebidang tanah. Tanah itu amat dekat dengan rumah Emak. Di sebidang tanah itu, suami istri ini menyaksikan para kuli berjibaku membuat pondasi. Berbeda dengan Raya yang hampir selesai, segala rencana Bagas baru dimulai.

"Pondasi buat rumah kita, surga kita. Tapi demi kantor," ucap Bagas setengah berbisik.

"Aku tidak memisahkan anak kita dengan neneknya. Kita bisa menemani masa-masa tua Emak. Bisa menafkahi Mbak, dan menghindari pertengkaran kecil."

"Iya, iya. Aku yang memulai bertengkar dengan Mbak, tapi itu cuma bagian kehidupan sehari-hari kan? Bisa saja aku yang bertengkar dengan Mas. Terima kasih, ya, sudah mewujudkan impian kita."

Pembicaraan berakhir saat toa musola mengumandangkan azan Ashar. Bagas dan istrinya berbalik badan, kembali menuju rumah Emak. Azan yang bersahut-sahutan itu membuat Bagas merasa terpanggil untuk hadir di peribadatan.

***

Diajaknya Niken oleh Raya berjalan-jalan saat toa masjid baru selesai bersahutan mengumandangkan azan. Dari pertigaan pasar Kreongan belok kiri melaju kearah pertigaan Rumah Sakit Umum Soebandi. Belok kiri lagi mengambil jalan pintas tuju warung Bakso Kabut, yang letaknya di kaki dataran tinggi Rembangan. Bakso yang pernah viral di masanya bahkan masuk acara kuliner salah satu stasiun televisi. Bakso Kabut belum ada pesaing lantaran masih lestari sedap dan kenyalnya. Niken juga menyukai tekstur Bakso Kabut itu. 

"Mau minum apa?" Tanya Raya sesampainya di depan warung.

Lihat selengkapnya