Atika menatap layar di depannya berulangkali. Ia sudah beberapa kali mengetikkan sepuluh digit nomor ujian SBMPTN-nya dan nama lengkapnya, menekan enter, berharap kali ini mendapat hasil yang berbeda. Siapa tahu sebelumnya ia salah memasukkan data.
Ia menunggu loading jaringan yang sepertinya sedang sibuk. Diam-diam berdoa dalam hatinya. "Please kali ini berbeda. Sekali ini saja ..."
Nihil.
Tulisan yang tertera di layar tidak berubah, masih sama dengan percobaan sebelumnya dan sepuluh percobaan terdahulu. Ia tidak lulus SBMPTN.
Atika menggigit bibir bawahnya. Ia gugup. Tidak percaya hal ini akan terjadi padanya. Atika tahu, tiap tahunnya lebih banyak calon mahasiswa baru yang tertolak dari perguruan tinggi negeri daripada yang diterima. Namun ia tidak percaya bahwa dirinya termasuk salah satu dari mereka yang tertolak itu.
"Gimana ini?" Desis Atika pada dirinya sendiri. Ia berhak untuk panik, tidak ada cadangan universitas untuknya tahun ini setelah ia dengan jumawa menolak usulan ayahnya untuk mendaftar ke beberapa universitas swasta.
"Ok, Papa setuju kamu berniat untuk masuk ke universitas negeri. Tapi jangan minta Papa untuk mendaftarkan kamu ke ujian masuk gelombang ke sekian di universitas swasta. Uang papa dan mama tidak sebanyak itu," demikian pesan ayah Atika ketika mendengar anaknya tidak mau mengikuti ujian masuk di universitas swasta.
Kala itu Atika mengiyakan saja peringatan ayahnya. Ia yakin akan lolos SNMPTN. Tak dinyana, yang terjadi kebalikannya.
"Baiklah." Atika berdiri dari kursinya. Ia harus berani mengakui kegagalannya dan mengatakan pada kedua orangtua yang menunggunya di bawah. Ya, tadi ia mengatakan kepada mereka bahwa ia ingin melihat pengumuman kelulusan ini sendiri,di kamarnya. Kini ia akan memberitahukan hasilnya pada mereka. Meskipun yang akan disampaikannya adalah berita duka.
***
"Jadi kamu tidak lulus SBMPTN?" Tanya ayah Atika sekali lagi.
Atika mengangguk perlahan, "Iya Pah."
Ayah Atika terlihat menahan diri untuk tidak mengatakan apapun yang hendak ia katakan. Sementara ibu Atika tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tepatnya sedih yang bercampur kaget.
"Lalu, apa rencanamu ke depan?" Tanya ayah Atika pelan setelah berhasil menelan kekagetannya.
"Tika masih pikir-pikir Pah."
"Kamu ingat bukan," ayah Atika memberi jeda sebentar, "bahwa Papa dan Mama tidak punya uang untuk memasukkanmu ke universitas swasta?"
Atika mengangguk. Ia tahu keuangan keluarganya sedang tidak memungkinkan. Baru-baru ini perusahaan tempat ayahnya bekerja sedang gonjang-ganjing dan kabar pemecatan karyawan menjadi rumor yang tinggal menunggu waktunya.
"Iya Pah," jawab Atika.
"Baik, kalau begitu kamu bisa istirahat dulu." Ayah Atika menyuruh anaknya kembali ke kamar.
"Mama mau bicara apa?" Atika menoleh pada mamanya. Wanita tua itu masih terlihat sedih dan bingung.
"Ah, tidak." Mama Atika menggelengkan kepalanya, "kamu bisa istirahat seperti kata Papa."
"Baik Ma, Pah. Tika ke atas dulu." Pamit Atika.
Segera setelah melangkahkan kakinya, Atika berbalik menatap kedua orangtuanya, "Tika janji, Tika tidak akan membuat malu Papa dan Mama, Tika janji." Setelah itu Atika berjalan cepat ke kamarnya di lantai 2.
Atika sendiri tidak tahu mengapa ia berkata demikian. Yang ia tahu, ia telah mengecewakan kedua orangtuanya dan ia tidak ingin membuatnya mendapat banyak masalah. Ia tidak ingin mengacaukan semuanya.
***