"Hati-hati di jalan ya," entah sudah berapa kali Atika mendengar ibunya mengatakan kalimat itu hari ini. Bahkan sejak beberapa hari sebelum keberangkatannya pun wanita paruh baya itu nampak agak berat melepasnya. Berbeda dengan sang ayah yang nampak lebih kalem melepasnya pergi.
"Iya Ma, Atika hati-hati. Lagipula kan ada Mimi?" Saat itu mereka semua, Atika dan kedua orangtuanya serta Mimi dan ayahnya, berada di Stasiun Bandung, melepas Mimi pergi kuliah di UGM dan Atika "belajar intensif" di Yogyakarta. Ayah Mimi terlihat sama tenangnya dengan ayah Atika. Mungkin para bapak memang lebih kalem menghadapi perpisahan dengan anaknya dibanding para ibu.
"Jaga diri baik-baik ya, jangan bikin malu," pesan ayah Atika sambil menatap mata anaknya tajam.
"Ya Pah," Atika bergumam sambil berusaha menghindari kontak mata dengan ayahnya. Ayahnya seperti mengetahui sesuatu. Tapi tidak mungkin ayahnya tahu rencananya, jika ia tahu, Atika tidak mungkin diizinkan pergi begitu saja.
"Belajar yang baik agar tahun depan tidak gagal lagi," tambah ayah Atika singkat.
Kali ini Atika mengangguk mantap. Ia tidak berencana untuk gagal lagi. Tidak di kesempatan kedua kalinya.
"Maaf Ayah tidak bisa mengantarmu," Atika mendengar pesan Ayah Mimi pada putrinya.
"Iya Ayah, tidak apa-apa," jawab Mimi dengan manis.
Atika berpikir siapapun orangnya pasti akan senang memiliki anak seperti Mimi. Mimi cantik, imut, pintar, baik, perangainya halus dan mandiri. Kali ini Mimi bahkan tidak merepotkan orang tuanya untuk mengantarnya ke Yogya.
"Salam buat Budhe Nur ya, Ayah senang dia mau menjaga kamu dan Atika selama di Yogya," tambah Ayah Mimi.
Budhe Nur adalah kakak perempuan Ibu Mimi. Mimi mengatakan bahwa ia dan Atika akan tinggal di rumah budhenya tersebut, bagian dari kebohongannya bersama Atika. Atika jadi sedikit merasa tidak enak karena ikut membohongi Ayah Mimi yang baik.
"Kamu jangan terlalu merepotkan budhenya Mimi lho Tika," rupanya Ayah Atika ikut mendengarkan pesan Ayah Mimi.
"Eh, iya Pah," Atika kembali' salah tingkah, "Atika tidak akan merepotkan mereka."
"Bagus," Ayah Atika mengelus lembut kepala anaknya, "selamat jalan ya, sampai jumpa tahun depan."
Atika merasa lega. Setidaknya ayahnya sudah memberikan restu untuk pergi ke Yogya. Meskipun untuk tujuan yang berbeda dengan yang direncanakannya.
"Hati-hati di jalan ya," sekali lagi Ibu Atika mengatakan hal yang sama. Seolah-olah perempuan itu belum rela melepaskan anaknya pergi ke kota lain.
'Iya Mah."
Suara peluit kereta api berbunyi panjang. Kereta mereka sudah hampir berangkat. Cepat-cepat Atika dan Mimi mengangkat koper mereka, berpamitan untuk yang terakhir kalinya pada orang tua mereka, dan naik ke kereta api mereka. Mereka naik gerbong yang terdekat dan baru akan mencari tempat duduk ketika sudah di atas kereta.
Kereta berjalan lambat tidak lama setelah Atika dan Mimi berada di atasnya. Atika belum bergerak dari tempatnya berdiri, dipandanginya peron tempat kedua orangtuanya dan Ayah Mimi berada. Mereka melepasnya pergi tanpa tahu apa yang sebenarnya akan dilakukannya.
"Bengong?" Tegur Mimi.
"Oh iya, sorry," Atika meminta maaf walaupun sebenarnya tidak perlu.
"Kalau kamu mau berubah pikiran, masih sangat mungkin lho. Ada banyak tempat kursus bagus di Yogya. Jadi kamu tidak perlu berbohong pada orangtuamu," kata Mimi seolah tahu apa yang ada dalam pikiran sahabatnya.
Atika mengangkat bahu, "Ayo kita cari kursi kita. Kereta 3 nomor berapa?"
Mereka pun berjalan ke kursi mereka.
Kursi nomor 11 A dan B di kereta 3. Atika membanting pantatnya ke kursi miliknya yang berada di sebelah jendela. Sedangkan Mimi meletakkan barang mereka di bagasi atas.
"Aku duduk di sebelah jendela ya," kata Atika pada Mimi, lebih seperti perintah bukan permintaan.
"Terserah," Mimi mengangkat bahunya, dia tidak terlalu peduli duduk di mana. Toh mereka akan bepergian di malam hari. Tirai jendela akan tertutup selama perjalanan dan tidak ada yang bisa dilihat di balik jendela selain lampu di kejauhan.
Tut ... Tut ... Kereta api mulai berangkat setelah sebelumnya terdengar suara peluit panjang yang menandai mereka siap berangkat.
"Aku tetap pada pendirianku," kata Atika begitu Mimi duduk di sebelahnya.
"Apa?" Tanya Mimi, sekilas ia lupa sampai mana obrolan mereka sebelumnya. Pikirannya masih ada di koper yang tadi diletakkannya. Apakah koper itu aman dan tidak akan bergeser?
"Aku tetap pada pendirianku untuk bekerja setahun ini," Atika menambahkan.
"Sebagai pembantu?"
"Ya," jawab Atika mantap.
Mimi membuang napas, "jika demikian, saranku jangan setahun."
"Mengapa?"
"Kamu sendiri yang mengatakan akan mengambil kursus persiapan masuk perguruan tinggi negeri akhir tahun cutimu," Mimi mengingatkan sahabatnya.
"Oya, maaf tadi aku lupa," Atika menyadari kealfaannya, "Kalau begitu 10 bulan saja."
"Itu lebih baik. Tapi bagaimana kami akan memulai pekerjaan ini?" Tanya Mimi lagi.
"Oh itu, aku sudah melamar ke sebuah agen penyalur tenaga kerja pembantu di Yogya sana. Mereka membuka pendaftaran secara online dan syaratnya pun tidak sulit. Aku sudah melamar sebagai tenaga pembantu serabutan.