The Ghost of Tomorrow

Patricius Emmanuel Jafes Lita
Chapter #2

1. Blackout

Kota Neo Batavia

Tahun 2037,

Nick Dyson terhempaskan dari kasurnya, keringat bercucuran dari dahinya menyentuh wajah dan bibirnya. Usahanya menarik udara ke dalam paru-parunya hampir tidak berguna. Dia melihat sekeliling untuk mencari ponselnya untuk menerangi kamarnya yang diselimuti kegelapan. Di ponselnya, dia melihat pukul berapa ini.

02:49

Dia mencoba menyalakan Air Conditioner-nya tapi tidak berfungsi. Semua peralatan listriknya mati.

Sialan. Pemadaman listrik lagi.

Hanya berbekal cahaya dari senter ponselnya, dia menelusuri kegelapan apartemennya, berusaha mencari tombol generator listrik cadangan. Berbeda dengan kasurnya, ubin lantai apartemennya terasa dingin di kulit kakinya. Dia berjalan ke ruang tengah, tempat mesin itu ditaruhnya.

Setelah mengutak-atik mesin itu, akhirnya listrik di tempat tinggalnya kembali menyala. Pendingin ruangan mulai bekerja lagi. Dengan lampu yang menyala dan udara yang mulai segar, dia memutuskan untuk membuat kopi panas untuk menemaninya. Di jam segini, sudah tidak berguna lagi untuknya kembali tidur, karena pasti dia akan terlambat untuk bangun di pagi hari.

Secangkir kopi digenggamnya, Nick melihat ke luar jendela apartemennya. Tempat tinggalnya itu berada di lantai enam, jadi dia bisa mendapat pemandangan yang cukup menakjubkan dari balik panel kaca itu.

Di bawah, lampu-lampu dari mobil dan motor yang melesat lincah adalah satu-satunya yang menerangi jalan. Bangunan-bangunan lain juga ikut terpengaruh pemadaman listrik itu, dan beberapa jendela sudah terlihat menyala, kemungkinan dengan generator cadangan mereka sendiri.

Jam-jam pagi buta seperti ini adalah jam yang indah; dunia masih sepi, atau setidaknya tidak seramai biasanya. Kendaraan-kendaraan bermotor bukanlah suara bising, melainkan silauan cahaya yang menemani kesendiriannya. Udara di pagi hari—meskipun dari dalam ruangan ber-AC—juga terasa berbeda, entah kenapa.

Sekilas, dia mengingat lagi mimpinya. Bukan, itu bukan sekedar mimpi. Kejadian itu, cincin raksasa di langit, kemunculan ratusan sayap dan kedatangan makhluk-makhluk itu untuk pertama kalinya, dan tentunya kematian keluarganya. Semuanya nyata. Itu semua bukan hanya ada di dalam halusinasinya.

Semenjak kemunculan makhluk-makhluk itu, hidupnya menjadi sengsara. Hidup semua orang menjadi sengsara. Manusia terpaksa memasuki masa peperangan terhadap para makhluk yang sekarang disebut "ghost" karena kemampuan mereka untuk meniru wujud fisik sekaligus ingatan dari orang yang sudah mati.

Namun, untungnya, masa peperangan itu telah mendekati akhirnya, dan kini manusia sudah mulai membangun ulang peradabannya kembali. Bangunan-bangunan pencakar langit di kejauhan, disatukan dengan warna khas dari langit malam hari, dan sinar rembulan yang bersinar tinggi di angkasa, menciptakan suatu atmosfer yang tak akan pernah bisa digantikan.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengaburkan khayalannya. Aneh. Siapa yang mengetuk pintunya di jam sepagi ini?

Suara ketukan itu kembali terdengar, sekarang diiringi dengan suara seorang perempuan dari luar ruangan apartemennya.

"Permisi!!"

Nick menaruh cangkir kopinya di atas meja, lalu mengambil sebuah definitor dari laci meja itu. Dengan perlahan dia berjalan perlahan ke arah pintu dan membuka lubang intipnya.

Gelap. Lampu di luar juga padam. Tapi ada sebuah siluette dari perempuan yang terlihat samar-samar, membentuk profil buram di pikirannya. Sebuah profil yang tidak dia kenali.

"Siapa? Ada yang bisa aku bantu?" ucapnya dari balik pintu itu.

"Iya, umm, aku tidak tahu ini lantai berapa dan kamar nomor berapa. Listriknya mati jadi aku terpaksa naik tangga," ujar suara perempuan itu.

Dari balik lubang intip itu, dia masih tidak bisa melihat wajah perempuan itu. Yang terlihat hanyalah figur berbentuk seperti manusia di tengah lorong yang hitam pekat.

Nick menyiapkan definitor-nya, lalu menodongkan senjata itu ke arah pintu. Dengan perlahan, dia membuka penghalang antara dia dan orang asing tersebut. Begitu pintu itu terbuka, cahaya dari senter yang ada di laras senjata itu menerangi lorong depan rumahnya dan menusuk pandangan perempuan itu.

"Tenang, tidak usah takut ... cuma pemeriksaan saja," ucap Nick. Sebuah tombol di sisi kanan senjata itu dia tekan. Sensor di dalam definitor itu mulai bekerja, mencari tahu spesies apakah perempuan di depannya ini—Homo Sapien atau ghost.

Sebuah layar analog kecil di senjata itu menyala.

R: Human.

Mendapat hasil itu, Nick langsung meletakkan senjatanya kembali ke dalam apartemennya. Dia dengan cepat mengembalikan perhatiannya ke arah perempuan itu. Usianya masih muda, tidak jauh berbeda dari dirinya sendiri. Kulit wajahnya putih dan matanya yang berwarna coklat indah memantulkan cahaya lampu dari ruangannya. Rambutnya yang diikat terlihat basah oleh keringat, yang berarti perempuan ini sudah lama kepanasan di dalam lorong bangunan ini.

Namun tiba-tiba, perempuan itu menampar wajah Nick.

Lihat selengkapnya