The Ghost of Tomorrow

Patricius Emmanuel Jafes Lita
Chapter #4

3. Ghost

Pria itu langsung menerjang Jerry, menimpanya dengan berat badannya sendiri. Definitor-nya terjatuh ke lantai sebelum Jerry sempat menembaknya. Dengan kukunya, dia mencakar dan menarik rahang Jerry. Usahanya untuk menarik dirinya dari cengkraman pria itu sia-sia, dia jauh lebih berat dan lebih kuat. Kukunya kini berpindah ke arah pipi Jerry, dan makin lama serangannya makin mengarah ke matanya.

Untungnya, Nick ada di situ. Suara tembakan dan peluru yang melesat ke arah bahu pria itu menulikan mereka bertiga untuk sesaat. Pria itu terdorong oleh tembakan Nick, membebaskan Jerry dari cengkramannya. Lalu, seperti binatang buas, dia membuka mulutnya dan berteriak sekuat tenaganya. Suaranya melengking, menyakiti telinga Nick dan Jerry, dan memberinya cukup waktu untuk kabur ke arah pintu belakang.

Jerry langsung menyalakan interkomnya dan melapor ke Kapten Franco.

"Kapten, ada ghost yang kabur lewat pintu belakang!"

Seketika itu juga, sebuah suara lain terdengar dari atas. Bunyi dan getaran dari langkah-langkah kaki yang berlari, lalu diikuti dengan suara tembakan definitor.

Kapten Franco membalas pesan Jerry.

"Oke. Aku akan mengatasinya. Kalian bantu Max di atas!!"

Nick dan Jerry menuruti perintahnya. Mereka menaiki tangga ke arah lantai dua rumah itu. Ujung tangga itu disambut dengan lorong-lorong gelap lagi.

Namun untungnya, di tengah kegelapan itu mereka masih sempat melihat jejak sepatu berdebu yang tercap di lantai. Max. Ini pasti jejak kaki Max.

"Max, ada berapa target di lantai dua?" ucap Nick di interkom.

"Tiga. Aku telah menembak satu, sisanya lari dan sekarang sedang bersembunyi."

"Baik. Aku dan Jerry akan menemukan dua ghost itu."

"Hati-hati. Salah satu dari mereka bersenjata, dan yang satunya sangat lincah."

Nick menekan tombol lampu di lorong itu, tapi tidak ada gunanya. Setelah pengamatan yang lebih teliti, ternyata bola lampunya sudah pecah. Potongan kaca tergeletak di lantai itu; para ghost pasti merusak bola lampu mereka sendiri agar mereka bisa lebih gampang menyerang di dalam kegelapan.

"Nick, nyalakan sentermu," ucap Jerry.

Sekarang, dengan hanya bantuan sinar dari senjata mereka masing-masing, mereka berjalan melalui lorong gelap itu. Tidak perlu memakan waktu lama bagi mereka untuk menemui pintu kamar yang saling berhadapan di samping mereka. Pintu di kiri terbuka lebar, sedangkan yang kanan hanya terbuka sedikit.

Mereka menyinari kamar pertama, mengungkapkan detail dari ruangan itu dengan cahaya senjata mereka. Ruangan itu sepertinya kamar tidur untuk anak kecil. Dinding yang warna-warni dengan gambar hewan-hewan, dan kasurnya masih hangat biarpun sudah tidak rapi lagi.

Tiba-tiba, pintu kamar kedua terbuka dengan sendirinya, suara gerakan pintu tua itu mengalihkan perhatian Nick dan Jerry.

Keduanya kini bersiap untuk menyinari kamar yang sekarang terbuka lebar itu.

"Siap, Nick?"

"Ya."

"Oke ... maju!"

Keduanya dengan cepat memasuki ruangan itu, lalu menyinari isi ruangan itu dengan definitor.

R: Ghost

Di kamar itu, seorang wanita menunggu mereka dengan sebuah busur dan anak panah yang siap ditembakkan. Begitu sinar definitor itu menyentuhnya, dia membiarkan anak panahnya melesat, menusuk definitor Nick dan menggores tangannya.

Jerry tidak diam saja. Dia menekan pelatuk senjatanya berkali-kali, membolongi dada dan perut wanita itu.

Dalam sedetik, pertempuran antara kedua spesies itu selesai. Suara decitan lantai yang licin terdengar memekik saat tubuh wanita itu jatuh tak berdaya. Badannya terkapar di lantai yang sekarang belepotan dengan darahnya sendiri. Dadanya bergerak naik turun seraya dia berusaha menarik oksigen ke dalam paru-parunya yang penuh lubang. Suara napasnya yang berat mengisi ruang gelap nan sunyi itu.

Jerry bersiap menembakkan senjatanya lagi untuk segera mengakhiri penderitaan wanita itu. Dia berdiri di depan wanita itu, menempatkan sepatunya tepat di hadapan wajahnya.

Lihat selengkapnya