The Ghost of Tomorrow

Patricius Emmanuel Jafes Lita
Chapter #9

8. Choices

"Layla, kamu tidak boleh ada di sini!"

Sama sepertinya, wajah Layla juga penuh dengan debu dari kebakaran. Begitu juga pakaiannya yang sudah usang dan bahkan berlubang di beberapa bagian. Seorang anak kecil, di usia yang bahkan belum sampai 10 tahun, sudah harus menjalani kehidupan seperti ini ... hanya karena ayahnya menikahi wanita yang salah, dan membuat darahnya menjadi campuran antara dua spesies yang seharusnya tidak pernah bertemu.

Dia tahu yang dilakukannya ini adalah hal yang benar. Seorang pemburu, menodongkan definitor kepada seorang ghost, dan bersiap untuk menembakkan senjata itu. Jari telunjuknya meraba-raba pelatuk senjata itu dengan halus, dan untuk sepersekian detik, dia ingin langsung saja menekannya.

Namun hatinya berkata berbeda. Bahkan menodong Layla dengan definitor dan mengucapkan 'kamu tidak boleh ada di sini' saja sudah menyakiti perasaannya. Kenapa dia tidak boleh ada di sini, Nick? Kenapa? Apa karna perbuatan ayahnya dia yang harus menanggung akibatnya dan dikurung di kantor terus menerus? Lagipula, kantor NBPD sudah terbakar, kan? Jadi di mana lagi mereka akan mengurung anak ini?

Anak perempuan itu memandangnya sebentar, lalu mengambil sesuatu dari kantong celananya. Dengan jari jemarinya yang mungil, ia menyerahkan sebuah kalung, dengan sebuah liontin kecil yang bisa dibuka kepada Nick. Di dalamnya, sebuah foto seorang perempuan muda yang tersenyum penuh rasa kebahagiaan.

Melihat wajah perempuan itu, Nick paham siapa pemilik wajah itu: ghost wanita yang ada di rumah tua tempat ia menemukan Layla. Wanita yang sempat menembaknya dengan busur dan panah sebelum akhirnya nyawanya berakhir di tangan Jerry.

"Wanita ini ... apa dia ibumu?" tanya Nick

Layla menganggukkan kepalanya.

"Ya Tuhan," Nick menurunkan senjatanya, "aku sungguh minta maaf, Layla. Aku turut berduka cita." Kata-kata itu keluar sendiri dari mulutnya.

"Ibumu ... dia sudah—" Nick tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

"Di eksekusi." balas Layla.

Nick tidak menjawabnya, dia bahkan tidak mengangguk.

Layla memandang foto ibunya, sambil mencekik liontin kalung dengan tangan berdebu dan desakan urat nadi yang menggebu-gebu. Setetes air mata mengalir mengarungi pipi kanannya. Lalu tetesan kedua muncul, dan ketiga, dan seterusnya. Semua tetesan itu diikuti oleh jeritan yang berusaha ia bungkam dengan bibirnya sendiri.

Masih dengan kondisi napas yang tersengal-sengal, dia mengambil foto kecil di dalam liontinnya lalu menyerahkannya ke Nick. Foto yang sudah lungset itu ternyata dilipat berkali-kali agar bisa masuk ke dalam kalungnya yang kecil. Lembaran kertasnya juga sudah rusak di sudut-sudutnya, seakan-akan foto itu disobek dari sebuah foto lain yang lebih besar.

"Tolong, Nick ...."

Nick hanya mengambil kertas foto yang diberikan padanya itu. Dia merasakan tiap lekukan dan bekas sobekan kasar yang menyentuh tangannya. Baik bagian depan maupun bagian belakang lembarannya sudah begitu usang dan tua, mungkin bahkan lebih tua dari anak yang ada di depannya.

Tapi ada pola goresan yang aneh yang dirasakannya dari balik lembaran kertas tua itu. Matanya melirik ke arah Layla sebentar, sebelum akhirnya membalik kertas foto itu dan membaca kata-kata yang tertulis di situ dalam hati.

"Untuk Layla tercinta.

Malaikat kecilku, jagalah ibumu, dan jadilah anak yang baik, yah? Biarpun kita harus berpisah, ayah akan selalu mendoakanmu. Semoga suatu saat, kita bisa bertemu ....

-Nite Mist"

Di detik itu, semua pelajaran dari akademi musnah dari pikirannya. Jika ghost tidak memiliki hati, bagaimana bisa seseorang jatuh cinta dengan mereka, apalagi sampai menghasilkan seorang anak yang amat mereka sayangi di dunia ini, dan meninggalkan surat semanis ini bagi mereka.

Nick mengembalikan perhatiannya ke arah Layla yang sedang menghapus aliran-aliran air mata di wajahnya.

Lihat selengkapnya