The Ghost of Tomorrow

Patricius Emmanuel Jafes Lita
Chapter #10

9. New Morning

Pagi itu kejadian yang sama terulang kembali. Nick terbangun di pagi buta, dikelilingi kegelapan. Tapi sekarang bukan gara-gara pemadaman listrik, dia memang sengaja mematikan lampu ruang tengahnya. Pagi ini dia tidak bangun di kasurnya. Dia terbangun di lantai ruang tengahnya. Sepertinya dia terjatuh dari sofa tempatnya tadi tidur.

Dengan perlahan, dia mengangkat tubuhnya dari lantai lalu berjinjit mengintip ke dalam kamar tidurnya sendiri. Di atas kasurnya, Layla sedang tidur sendirian dengan tenangnya. Lampu neon bercahaya hangat di sampingnya menyinari wajahnya yang tampak damai. Pemandangan ini benar-benar berbeda dari anak pemurung dan penuh kesedihan yang dia kenal kemarin malam.

Yah, baguslah kalau Layla bisa tidur nyenyak.

Nick menutup pintu kamarnya dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Layla dari tidurnya. Setelah itu, seperti biasa, dia tidak kembali tidur meskipun waktu masih menunjukkan jam 3 pagi buta.

Secangkir kopi, dan pemandangan kota yang tenang bercahaya kembali menemaninya. Pagi itu, cahayanya tidak seterang biasanya. Ternyata, kehilangan satu bangunan sudah cukup untuk mengurangi terangnya lampu-lampu kota itu.

Dia menyalakan televisi, dan menyetelnya ke arah channel Hertz Media dengan harapan sebuah wajah yang familiar muncul di layar holografik itu. Dan benar saja, sebuah reportase dari July ternyata masih sedang diputar. July berdiri di depan bekas gedung NBPD yang sudah dibatasi oleh garis polisi.

Di reportasenya, penampilan July yang bersih benar-benar tampak kontras dengan kumuhnya abu dan lumpur yang menutupi tempat kejadian itu. Kelihatannya, dia sudah membersihkan dirinya dan kembali ke tempat kejadian. Berarti reportase yang sedang dilihat Nick ini direkam setelah July memulangkannya dan Layla.

Seperti para wartawan lain, July masih sibuk melaporkan dan mewawancarai segala hal dan orang-orang yang berhubungan dengan pembobolan kemarin. Ada banyak desas-desus yang mengklaim bahwa pelakunya adalah kelompok terroris, mafia, atau tentunya ghost. Tapi semua saksi yang ditanyakan hanya bisa menyebutkan kalau kegaduhan pertama dimulai dari divisi penelitian, biarpun mereka tidak tahu bagaimana keributan itu dimulai.

Nick melepaskan napas yang panjang. Memang tidak mungkin pelakunya bisa langsung ditemukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Apalagi mengingat kondisi gedung yang sudah hancur, pasti rekaman CCTV yang ada sudah rusak semua.

Nick membalikkan badan, dan ternyata Layla telah terbangun dan berdiri di ambang pintu kamar. Dia berjalan ke dekat Layla, dan menawarkannya segelas minuman. Awalnya, Layla nampak ragu-ragu, tapi senyuman Nick membuatnya merasa aman dan lebih percaya padanya.

"Semoga kamu suka susu hangat. Aku hanya punya itu dan kopi, dan jelas kamu belum boleh minum kopi," ucap Nick sambil meneguk minuman dari gelasnya sendiri.

Layla meneguk susu hangat itu dengan hati-hati agar lidahnya tidak kepanasan. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia—untungnya— betul-betul menikmati rasa minuman itu.

"Terimakasih."

"Iya, sama-sama," balas Nick. Dia mengajak anak itu duduk di ruang tengah bersamanya, agar mereka bisa mengamati pemandangan lampu kota dari jendelanya.

Kedua mata Layla terbuka lebar, dan rahangnya menjadi lemas begitu ia melihat pemandangan yang indah itu. Belum pernah dia melihat Neo Batavia seindah ini. Selama ini, yang dia lihat dari kota itu hanyalah tempat yang dipenuhi orang-orang jahat dan penuh dengan bahaya. Tapi di balik jendela itu, kota itu jauh lebih dari sekedar orang-orang yang tinggal di dalamnya. Kota itu serasa hidup, memiliki jantung sendiri, paru-paru sendiri, dan mobil-mobil yang berlalu lintas mengalir seperti darah dari kota itu sendiri.

"Bagus, kan?" tanya Nick.

Layla menganggukkan kepalanya.

"Nikmatilah, yah. Semoga pemandangan ini bisa menghiburmu untuk sementara. Kalau kamu bosan, aku juga ada televisi, videogame, snack, dan beberapa sachet susu lagi. Selama kamu masih menginap di sini, anggaplah tempat ini seperti rumah sendiri."

Layla menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, seakan tidak percaya. Puluhan kata terlintas di benaknya untuk dia ucapkan, tapi dia belum cukup berani untuk membuka bibirnya. Dia hanya berani untuk mengucap dua bua kata.

"Terimakasih, Nick"

Layla yang nampak begitu bahagia, lagi-lagi sebuah wajah yang sangat berbeda dari wajahnya kemarin.

Mereka berdua duduk bersebalahan dan memandang kilatan mobil yang melesat dengan kencang.

"Ngomong-ngomong, kamu anaknya sopan sekali. Jarang ada anak yang sesopanmu di kota ini" sambung Nick.

Lihat selengkapnya