Restoran Mood And Food, Seoul.
2020.
Akhir pekan yang tidak terlalu ramai pengunjung. Ini aneh bagi sebagian koki yang bertugas. Termasuk Dae Hyeon yang sejak tadi tak melakukan apapun. Bahkan menyentuh pisau saja, belum dirinya lakukan.
Padahal jika hari biasanya, semua pesanan pengunjung terasa sangat memuakan baginya. Karena betapa tidak, lusinan menu yang sama harus ia persiapkan dalam waktu yang singkat pula. Tanpa henti, dan terus berulang.
Hari ini berlalu begitu saja. Tanpa kerusuhan dan tekanan berarti. Dae Hyeon dan kawan-kawan bisa mengakhiri jam operasional dan segera pulang. Tetapi lebih dari itu, petang ini Dae Hyeon punya janji temu dengan kekasihnya. Katanya, ada sesuatu yang ingin gadis itu katakan.
***
Kafe Zona Mood.
Seorang gadis cantik duduk tegak di hadapan De Hyeon. Keduanya dipisahkan oleh meja berdiameter lebar dan panjang yang membentang. Si gadis sesekali berdeham, atau meneguk minumannya penuh kecanggungan.
Kafe yang terletak diatas restoran tempatnya bekerja adalah tempat paling cocok untuk melakukan percakapan santai seperti ini, pikir Dae Hyeon awalnya. Tetapi pemuda itu langsung terdiam begitu mendengar kalimat yang terlontar dari kekasihnya kemudian.
“ Apa kau bilang? Kau ingin putus dariku?” Dae Hyeon menatap tidak percaya, gadis di hadapannya menunduk dalam. Ada sesuatu yang masih sosok itu tahan untuk tidak diungkapkan sekarang.
“ Maafkan aku, sepertinya hubungan kita takan berjalan dengan baik, Oppa[1] , ” Gadis itu mulai terisak. Suaranya yang lemah lembut tak membuat hati pemuda itu luluh lantak. Dan pada akhirnya, Dae Hyeon ikut bersedih. Matanya berkaca-kaca menahan gejolak emosi yang tetiba merambati hatinya.
“ Min Ji-ya[2] , apa karena kita jarang berkencan akhir-akhir ini?” Dae Hyeon akhirnya membuka suara setelah lama bungkam, mungkin ini terlalu mengejutkan baginya. Karena selama ini hubungan keduanya dikenal intim dan manis oleh orang di sekeliling mereka. Bagaimana ada api kalau asap saja, tidak ada? Pikir Dae Hyeon putus asa.
“ Bukan karena itu,” Gadis yang dipanggil Minji itu menengadahkan wajah tak berdayanya ke arah Dae Hyeon.
“ Lantas kenapa?” Dae Hyeon mendadak sangat kecewa. Kendati demikian, pemuda itu berusaha untuk tidak tersulut amarahnya sendiri. Kini ia mulai menghela napas ringan. Mengajak kekasihnya berbicara secara perlahan-lahan. Tanpa melibatkan perasaan yang terlampau emosional.
“ Kau tahu? Selama satu bulan lebih aku mengalami hal yang aneh. Setiap hari rasanya seperti ada yang mengikutiku kemanapun,” Minji mulai mengemukakan alasan dibalik wacana perpisahan mereka itu.