Ledakan tawa menggema saat aku menceritakan kisah bagaimana pada akhirnya mendapat izin untuk tinggal di kos.
"Parah, kan? Aku tuh, udah dua puluh tahun. Sebentar lagi dua puluh satu, mau lulus kuliah. Masa begini-begini aja?" keluhku pada sahabat-sahabatku.
"Sayang itu namanya, Rain," sahut Azzah santai.
"Sayang sih, sayang. Tapi ... nggak begini juga. Masa mau kos aja harus deket rumah kakak dan atas persetujuan kakakku juga?"
"Raina sayang, kamu tuh nggak ada bersyukurnya. Hidupmu tuh enak, mulus banget. Nggak pernah yang namanya ngalamin up and down kayak kita," sahut Indah, lalu menyeruput jus alpukat yang dibeli di samping kampus tadi.
Terkadang, aku menertawakan diri sendiri. Enak? Mulus? Ya, seperti itulah anggapan orang-orang tentangku. Mereka bilang, hidupku sempurna, hidupku enak, serba berkecukupan. Semua yang ku butuhkan selalu ada dan serba ada. Bah! Macam toserba aja!
Mereka hanya tahu, aku bisa dengan gampangnya membeli tas branded di mal, mentraktir teman saat makan di luar, dan membeli skin care dari brand ternama.
Namun, pernahkah mereka membayangkan gimana rasanya menjalani hidup kayak aku? Gimana rasa kesal dan nggak enaknya? Mereka yang mengatakan hidupku enak dan sempurna ... kayaknya nggak pernah merasakan punya dua kakak laki-laki yang super duper protektif. Juga ... nggak pernah merasakan ditelepon mami setiap keluar rumah dan nongkrong bersama teman.
Apakah mereka pernah membayangkan, diantar jemput dan ditunggu papi selama latihan paduan suara atau rapat organisasi di kampus hingga tengah malam? Atau diikuti supir saat berjalan-jalan di mal? Aku yakin beribu-ribu persen, kalau mereka nggak pernah merasakan semua hal yang aku alami selama ini.
"Kenapa nggak coba bilang mau kos di sini aja? Tuh, ada dua kamar kosong di bawah," kata Indah kemudian.
"Nah, bener! Mami kamu kan udah kenal Indah. Malah lebih gampang kan, izinnya?" tanya Ella.
Mendengar saran sahabat-sahabatku, aku kayak punya harapan lagi. Kenapa aku nggak pernah memikirkan hal ini? Satu kos dengan Indah yang nggak lain adalah sahabatku. Selain itu, mami udah mengenal Indah cukup baik. Pernah bertemu dan sudah saling menyimpan nomor ponsel. Harusnya cukup jadi poin plus.
"Nanti deh, aku coba. Semoga aja deal."
"Semoga ya, Rain. Bosen, nongkrongnya di kamar Indah mulu."
"Asem, ya! Kalau bosen, sana pulang!" seru Indah pura-pura marah akan ucapan Azzah.
"Woy!" seru seseorang mengagetkan kami.
"Mau ke mana, Dit?" tanyaku saat melihat Dita, sahabatku yang lain berdiri di depan pintu seraya menggendong carrier.
"Mau muncak," jawab Dita.