"Raina, kamu di mana?" tanya Mas Revan begitu aku mengangkat telepon.
"Di kos, Mas. Kenapa?"
"Mas di depan kos kamu."
Singkat, padat, dan jelas. Sudah begitu langsung menutup telepon pula! Biasanya, aku kesal saat Mas Revan memberi tahu bahwa dirinya berada di luar gerbang kos. Namun, kali ini aku membutuhkan bantuannya. Jadi, aku langsung berlari keluar kamar dan menyambut kedatangan Mas Revan dengan suka cita.
"Mas!" seruku sambil membuka gerbang dan menampilkan senyum lebar.
"Dih! Tumben Mas dateng, kamu seneng gitu. Biasa asem mukanya," kata Mas Revan begitu melihat wajahku.
"Ngapain ke sini?" tanyaku.
"Nih, martabak coklat keju kacang kesukaan kamu. Dimakan sama temen-temen ya."
Mataku berbinar saat Mas Revan menyodorkan bungkusan plastik berisi martabak manis favoritku.
"Wah! Makasih banyak, Mas! Sering-sering ya!"
"Ini juga udah sering!" serunya kesal seraya mengacak-acak rambutku.
"Oh ya, Mas.”
”Hm?”
”Mas, sebenernya Raina butuh bantuan," kataku kemudian.
"Bantuan apa?"
"Boleh minta tolong cariin info tentang Oliver? Selengkap-lengkapnya."
"Tumben," katanya seraya tersenyum sinis. "Kamu tahu sesuatu, Rain?"
"Rain nerima info soal Oliver beberapa hari yang lalu. Cuma ... nggak mau langsung memutuskan. Mau cari info dulu," kataku.
"Nanti Mas cari info ya. Sekarang kamu masuk gih! Dimakan martabaknya sama temen-temen. Tidurnya jangan kemalaman."
"Siap, Bos!" seruku seraya memberi hormat saat Mas Revan menghidupkan mesin motornya.
"Balik dulu ya!" pamit Mas Revan, lalu menutup kaca helmnya.
"Daaahhh, Mas Revan! Makasih ya martabaknya!"
Mas Revan benar-benar luar biasa. Hanya selang beberapa jam setelah dia mengantar martabak untukku, dia langsung mengirim informasi tentang Oliver. Semuanya. Tanpa ada yang terlewat. Aku aja dibuat tercengang saat membuka semua fail itu di pagi harinya. Gimana bisa Mas Revan mendapat informasi tentang Oliver sedetail ini?
Sumpah, sejek melihat bukti-bukti kebohongan Oliver yang dikirim Mas Revan, aku nggak tahan lagi. Aku langsung mengajak Oliver bertemu sore harinya, setelah jam perkuliahan selesai. Udah cukup sedih dan galaunya. Aku nggak pengin nangisin cowok kayak dia. Air mataku terlalu berharga.
"Liv," panggilku pelan.
"Kenapa, Sayang?" tanya Oliver seraya mengusap-usap belakang kepalaku.
Sayang? Cih! Untuk sekarang ini, rasanya aku mual jika Oliver memanggilku dengan sebutan sayang.
Aku nggak langsung membalas ucapan Oliver. Tapi, membuka ponsel dan menunjukkan foto yang terpampang di layar.
"Ini kapan?" tanyaku langsung. Well, aku nggak pintar untuk berbasa-basi. Mirip dengan papi.
"Kamu dapet dari mana foto ini?" tanya Oliver. Raut wajahnya berubah saat melihat fotonya di layar ponselku. Bukan foto yang aneh sebenarnya, karena menampakkan Oliver saat nongkrong di Roaster and Bear, kafe yang ada di dalam hotel dekat Malioboro.
"Ada, temen," dustaku. "Dia nggak yakin itu kamu. Jadi kirim ke aku buat tanya." Padahal, aku dapet foto ini dari Mas Revan.
"Oh," sahut Oliver setelah melirik sekilas foto itu. Sikapnya terlihat kikuk, berbeda dengan beberapa menit yang lalu. "Kemarin malem itu."
"Kok nggak bilang?" Aku menatapnya dengan tatapan menyelidik.
Aku bukan tipe pacar yang posesif. Bukan. Justru aku selalu percaya pada cowok yang jadi pacarku. Tapi untuk kali ini, aku ragu. Ya, sejak menerima info dari Indah dan juga melihat fail yang dikirim oleh Mas Revan. Aku melihat banyak foto Oliver saat nongkrong diberbagai tempat. Padahal Oliver nggak pernah bilang kalau dia suka nongkrong tengah malam.
"Itu dadakan," sahut Oliver.
"Liv, kamu nggak pernah ngomong ke aku." Oke, nada suaraku mulai berubah. Aku sedikit kecewa.
"Itu tengah malem, Rain. Dan kamu pasti udah tidur. Percuma aja aku kabarin kamu kalau hape kamu nggak aktif."