Grha Sabha Pramana atau sering disebut GSP UGM selalu ramai saat sore hari. Mereka yang datang ke sini rata-rata pengin jogging, bersepeda, juga melakukan olahraga yang lain. Banyak juga yang cuma duduk-duduk di pinggir sambil cuci mata.
"Cut!" seru Indah seraya melempar kunci motor padaku. Hampir aja mengenai betisku. "Sorry, Cut."
Jari telunjuk dan ibu jariku membentuk huruf O, tanda bukan jadi masalah buatku. Aku menunduk, mengambil kunci motor Indah dan memasukkan ke tasku.
"Kamu udah izin ke mami kan, Cut?" tanya Indah.
"Udah kok. Aman. Tapi, siap-siap aja sih hape kalian. Takutnya mami random nelepon salah satu dari kalian," tuturku.
Indah, Azzah, dan Ella nggak berkomentar. Berteman selama lebih dari tiga tahun membuatku yakin, mereka udah kebal sama telepon dari mami yang menanyakan posisiku.
"Yuk! Keburu magrib nanti." Ella langsung memulai lari, diikuti Indah. Sementara aku dan Azzah menyusul di belakang.
"Ganteng ya Cut?" bisik Azzah saat kami melewati beberapa mahasiswa yang sedang melakukan pemanasan.
"Mau bilang ke Fajri sendiri, apa aku yang bilang nih?"
Azzah meringis mendengar nama pacarnya disebut. "Deketin gih! Lumayan tuh, kan kamu lagi jomlo!"
Aku menghela napas. "Gila! Aku baru putus kemarin ya! Lagian capek, Zah. Tiap pacaran gitu terus. Aku kurang apa ya? Kurang baik? Kurang cantik? Kurang seksi? Tapi kan, aku nggak jelek-jelek banget ya? Buat gandengan kan nggak malu-malu-in juga."
"Heh! Kurang baik gimana? Sebelum sama Oliver, kamu inget nggak diputusin sama Kak Vano dengan alasan kamu terlalu baik buat aku?!" tanya Azzah dengan suara naik satu oktaf.
Aku terdiam. Apa ya, yang salah dari aku? Kenapa selalu gagal dalam hal percintaan? Aku emang pernah beberapa kali pacaran.
Pacar pertamaku saat menduduki bangku SMA. Namanya Setya, kakak kelas di sekolah. Awalnya, hubungan kami baik-baik aja. Lama-lama, aku merasa terjebak dalam hubungan yang nggak sehat. Toxic relationship kalau kata orang. Dia melarangku main, nge-band, dan bahkan dia marah saat melihatku duduk bersama teman cowok di sekolah. Kalau ketahuan main band, ngamuk! Padahal posisiku setiap hari berangkat dan pulang sekolah bersama supir. Dia pun tahu itu.
Herannya, aku sayang banget sama dia. Padahal kalau dipikir-pikir, kok aku bodoh banget ya? Mau-maunya di atur begitu. Lalu, aku bisa bernapas lega saat Setya kuliah dan pindah ke Bandung. Kami jadi jarang bertemu, berakhir putus karena Setya yang selalu penuh rasa curiga. Aku bertahan dalam hubungan toxic itu selama tiga tahun lamanya.
Namun, bukannya terbebas sepenuhnya, Setya masih sering menghubungiku setelah kami putus. Dia berusaha meraih hatiku kembali dan berjanji akan berubah. Bahkan, mama, papa, dan kedua adiknya juga rajin menanyakan kabar padaku. Seperti ... berusaha mengikatku biar aku nggak pergi.
Dan Setya secara tiba-tiba membawa keluarganya datang ke rumah. Keluarganya bermaksud untuk melamarku, tetapi papi belum bisa menerima lamarannya karena aku masih mengenyam pendidikan. Papi pengin, aku harus lulus kuliah dulu.
Dengan kedatangan keluarganya ke rumah waktu itu, apalagi dengan mamanya yang—well, memberiku sebuah kalung emas berbandul heart, aku pikir Setya benar-benar udah berubah. Pada akhirnya aku memaafkan kesalahannya di masa lalu dan mencoba lagi memulai semuanya dari awal.
Ternyata, hubungan manis kami nggak bertahan lama. Karena Mas Revan memberi tahu kalau Setya punya pacar yang lain di Bandung. Semua gagal. Aku bilang ke dia, kalau udah nggak bisa melanjutkan semua. Udah cukup lima tahun, total waktu yang ku habiskan untuk orang seperti Setya. Aku udah lelah. Walaupun Setya menahanku untuk nggak pergi, tetapi aku benar-benar nggak bisa lagi. Akhirnya, kami memilih jalan masing-masing agar nggak semakin saling menyakiti. Setya, adalah patah hati pertamaku. Butuh waktu agak lama buatku untuk menyembuhkan luka.
Setelah benar-benar putus dengan Setya dan selesai dengan diriku sendiri, aku mulai mencoba membuka hati dengan cowok-cowok di kampus. Beberapa kali pacaran, dari yang satu fakultas, satu jurusan, sampai fakultas lain. Punya banyak gebetan, tetapi belum sempat jadian udah kandas di tengah jalan. Coba dekat sama cowok dari kalanhan biasa aja sampai kalangan tajir melintir, nggak ada yang berhasil.
Gila sih! Kesannya kok aku kayak doyan gonta-ganti pasangan. Padahal, aku kalau udah sayang sama orang, bakal bucin parah! Aku akan bersikap loyal dan royal. Nggak perduli dia orang biasa atau orang berada. Tapi, kenapa ya, mereka selalu mencampakan aku dengan mudahnya? Seolah-olah, aku ini nggak berharga dan nggak layak untuk diperjuangkan.
"Aku masih nggak nyangka lho, Kak Vano putusin kamu dengan alasan receh begitu. Padahal, aku lihat kamu paling cocok pas pacaran sama Kak Vano. Aku, Indah, Dita, sama Ella seneng banget lihat kalian bareng. Keliatan cocok gitu. Pas!"
"Cocok nggak menjamin bakal terus bareng bareng, kan?" Aku tersenyum kecut. "Kapan ya, aku bisa dapet pacar yang bisa lama gitu jalin hubungan? Kaya kamu sama Fajri."
Azzah dan Fajri memulai hubungan dari awal kuliah. Berawal dari bertemu di organisasi kampus, dan bertahan sampai sekarang. Meskipun mereka sering berantem—putus nyambung, tapi mereka bisa bertahan lho! Hubungan mereka manis, dan jujur berhasil bikin aku envy.
Azzah menepuk bahuku. "Sabar, nanti juga bakal ada yang serius sama kamu. Waktunya belum aja."
"Udah tumpah-tumpah nih stok sabarnya!" sahutku dengan bibir mengerucut.
"Kamu juga terlalu polos, Rain. Kata Kak Vano ada benernya juga. Kamu itu terlalu baik, Rain. Makannya banyak yang manfaatin kamu."
Aku menghela napas. "Polos, baik, lemot, apalagi?"
Azzah tertawa. "Aku nggak tahu ya, itu kelemahan atau kelebihan kamu sih?"