Jujur, kedatangan Tika dan Anita tadi nyatanya bisa membuatku rileks sejenak. Dengan birthday surprise, juga kado 'unik' mereka. Namun, hal itu nggak berlangsung lama. Keringat dingin kembali membanjiri tubuhku saat aku menaiki tangga menuju lantai tiga. Aku nggak sempat bertemu Azzah dan Ella pagi ini karena ruangan ujian mereka berada di lantai dua. Kami hanya bisa menyemangati lewat grup dan saling mendoakan.
Sejak pagi, aku melihat teman-teman lain ikut kerepotan naik turun dari lantai dua dan tiga demi melihatku, Ella, dan Azzah yang sedang gugup menunggu giliran dipanggil masuk ruangan dosen.
"Gimana, Rain? Bisa kan?" Mereka semua langsung mengerubungiku saat aku keluar dari ruangan ujian Manajemen Keuangan.
Aku melirik kanan kiriku, melihat suasana yang super ramai. Kebanyakan menunggu teman-teman mereka yang ujian hari ini. Well, ada sisi lain yang membuat hatiku menghangat. Banyak yang tidak saling mengenal, lalu karena menunggu teman yang sedang ujian, jadi mendadak mengobrol. Walaupun berbeda konsentrasi jurusan, nyatanya kami semua bisa membaur.
"Raina, gimana ih?" tanya Dina kesal sekaligus panik saat aku nggak menjawab pertanyaannya. Aku yakin, dia sama gugupnya karena dia ikut membantuku belajar.
"Nih, minum dulu, Rain. Biar nggak gugup." Dedi membuka tutup botol air mineral dan menyodorkannya untukku.
Aku menerima botol air mineral yang disodorkan Dedi dan langsung meneguknya. Setelah air itu membasahi tenggorokanku, aku menengadahkan kepala seraya memejamkan mata. Mengembuskan napas beberapa kali, mencoba untuk menenangkan diri. "Sumpah, rasanya blank pas udah masuk. Aku nggak tahu bisa jawab apa nggak. Pikiranku kacau. Nggak fokus," lirihku kemudian.
Dita menepuk bahuku. "Lulus kok pasti."
"Gimana Raina? Udah maju belom?" teriak Janes dengan suara cemprengnya. Cewek itu datang dari lantai dua bersama dengan Yogi dan Ryan, sahabat Fajri.
"Udah. See? Mukanya kayak orang sakit." Walaupun Dina berbisik, tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan cukup baik.
"Jangan bengek di sini, Cut!" bisik Yogi tepat di telingaku.
"Bang, aku baru nggak mood buat ngeladenin kamu ya." Aku mendesis seraya melayangkan tatapan tajam untuk Yogi.
Yogi, adalah teman cowok yang selalu ada dalam suka dan dukaku. Dia selalu ada di sampingku saat aku bahagia karena punya pacar, jadi saksi ketika aku menangis karena putus cinta. Yogi yang selalu menjagaku saat kami menjadi panitia malam keakraban Manajemen. Dengan telaten merawatku saat aku sakit dan hipotermia di dalam tenda. Dan, satu lagi. Yogi adalah fans garis keras mami! Sering mengirim salam untuk mami dan melakukan hal konyol lainnya. Namun, yah ... selama tiga tahun bersama, nggak ada getaran apa pun. Aku dan Yogi benar-benar hanya berteman. I’m very thankful of that!
"Yang udah, ya udah. Jangan dipikir lagi. Fokus aja sama ujian setelah ini. Habis ini, kamu maju apa?" tanya Janes seraya berusaha menenangkanku.
"Sumber Daya Manusia," jawabku tanpa semangat.
Janes menepuk bahuku. "Semangat. Pasti bisa kok!"
Aku tersenyum tipis. "Thank you, Nes."
"Dina sama Dedi, kalian gantian turun gih! Nemenin Ella sama Azzah. Azzah udah pucat juga mukanya, ada Fajri sih tapi. Ella temenin, takutnya berantem sama Indah di bawah," kata Janes.
Dina dan Dedi menurut. Mereka berdua bergantian mendoakan aku sebelum turun ke bawah.
"Santai dulu, Rain," bisik Anita yang sejak pagi tadi setia menungguku bersama Tika.
Aku hanya bisa mengangguk. Menerima pijitan Tika di kedua bahuku.
"Rain, ada mantanmu tuh!" bisik Ryan sambil menunjuk seseorang dengan dagunya.
Aku melirik, mengamati arah yang ditunjukkan Ryan.
"Kenapa, Yan?" tanya Yogi.
"Tuh, ada mantan terindahnya Raina."
Yogi ikut melirik, lalu mendengkus. "Oh, Kak Vano."
"Bodo amat lah, Yan!" seruku kesal.
Ryan terkekeh melihatku kesal. Sementara Yogi menepuk-nepuk bahuku.
"Udah, nggak usah kesel gitu. Fokos aja habis ini kamu berjuang lagi," pesan Yogi.
Aku mengangkat alis mendengar ucapan Yogi. "Bang Yog, bisa serius juga ya?"
Yogi berdecak. "Heh! Ngeledek aja!"
"Raina Marissa!"
Semua mata tertuju ke arahku saat namaku dipanggil oleh pengawas ujian. Perlahan aku berdiri dan berjalan pelan menuju ruangan itu.
"Semangat, Raina!"