The Gift

Ayu Anisa Urahma
Chapter #10

Kembali Menyapa

"Raina."

Sapaan dari suara yang cukup ku kenal membuatku berhenti mengetik. Aku menoleh, mendapati Kak Vano yang berdiri di sebelahku dengan membawa beberapa jurnal.

"Hai, Rain." Suara bass itu kembali menyapa gendang telingaku. Kali ini, senyum tipis menghiasi wajah Kak Vano. Terlihat seperti ... senang bisa menyapaku kembali. 

"Eh, Kak Vano. Hai." Aku menjawab sapaannya dengan sopan walaupun terdengar kikuk. Gimana nggak canggung, disapa mantan pacar secara tiba-tiba begini?

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Kak Vano seraya menunjuk kursi di sebelahku yang masih kosong.

Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Sumpah, rasanya aneh saat Kak Vano menyapaku terlebih dahulu beberapa saat yang lalu. Mengingat kami pernah menjalin hubungan sebelumnya. Yang ternyata kandas di tengah jalan karena dia bilang: 'Kamu terlalu baik buat aku.'

Well, saat Kak Vano bilang begitu, aku sedikit nggak terima. Kalau aku terlalu baik, bukankah harusnya dia mempertahankan hubungan kami sekuat tenaga? Menjagaku biar nggak pergi dari sisinya? Bukannya menjadikan hal itu untuk memutus hubungan. Dan ... langsung menggandeng kekasih baru yang mana temanku di paduan suara kampus, Mia. Kalau diingat, sakit rasanya. Tapi, ya sudahlah. Semua udah berlalu. Aku pun udah berdamai dengan kisah kami. Dan aku bukan tipe yang memusuhi mantan pacar setelah putus. So, yeah! Kalau dia ingin berteman denganku, why not?

Anyway, aku sampai lupa. Selamat ya, kemarin lulus ujian kompre.” Kak Vano menyodorkan tangan untuk menjabat tanganku.

Aku tersenyum, lalu membalas jabat tangannya. “Makasih banyak, Kak.”

Kak Vano tersenyum, lalu membuka laptopnya. Kayaknya dia juga mau mengerjakan skripsinya di sini, di sampingku. Aku nggak mau ambil pusing. Suasana hening di antara kami karena sibuk dengan laptop masing-masing, sampai akhirnya ….

"Wah, kayaknya aku bakal kesalip nih sidang skripsinya." Kak Vano mencondongkan tubuhnya ke arahku untuk melihat layar laptopku. Lengan kami nyaris menempel. Dan hal itu sedikit membuatku nggak nyaman.

"Udah males sama drama skripsi dan dosen pembimbingnya. Jadi pengin ngebut aja biar bisa cepet wisuda," sahutku berusaha sesantai mungkin.

"Dosbingmu Pak Arif kan ya?" 

Dari mana dia tahu soal dosen pembimbingku? "Iya."

"Beliau sibuk banget kan? Temen-temenku pada curhat, katanya jadwal bimbingan sama beliau sering batal."

"Betul. Emang susah mau ketemu buat bimbingan di kampus." Dia tahu soal dosen pembimbingku pasti dari temannya. Kok aku ngerasa, jadi bahan omongan di kalangan pertemanan kakak tingkat ya?

"Kok kamu bisa cepet gini ngerjainnya?"

Aku hanya bisa memberi respons berupa senyum tipis, seraya merangkai kalimat yang akan terucap. "Soalnya aku emang pepet terus sih. Beliau ada seminar di luar, aku berusaha samper aja."

"Raina emang nggak pernah berubah ya?"

"Ya?"

"Aku masih ingat soal target kamu. Lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun." 

Ini ... Kak Vano nggak lagi berusaha buat deketin aku lagi, kan? "Iya. Kayak target awal. Kuliah cuma mau 3,5 tahun aja."

"Dan kayaknya target kamu bakal kesampaian," ucap Kak Vano seraya tetap menatap wajahku. "Semangat ya, Rain! Semoga nanti kita bisa wisuda bareng."

Lihat selengkapnya