Aku merasa heran saat Mami setengah memaksaku untuk pulang. Padahal Mami tahu, akhir-akhir ini aku getol mengerjakan skripsi dan mengejar bimbingan. Bahkan, Mami sampai menawarkan diri untuk mengunjungiku di kos bersama Papi. Melihat kayaknya ada hal penting, aku langsung mencegah mereka datang. Lebih baik aku yang pulang dan kami bisa bicara di rumah. Terlebih, Tika juga sedang ada di rumah. Kami bisa bertukar cerita nanti.
"Mami kenapa sih?" tanyaku pada Tika saat sampai di rumah.
Tika mengangkat bahu. "Nggak tahu. Nggak ada ngomong apa-apa tuh sama aku."
"Kamu pulang, karena disuruh pulang atau gimana?"
"Nggak. Aku pulang karena pengin pulang aja. Udah lama nggak pulang," tutur Tika. "Kamu nggak bikin kesalahan kan, Rain?"
Aku mengerutkan kening, mencoba berpikir dan mengingat. Apakah aku melakukan kesalahan dan Mas Revan mengetahuinya? Lalu, melaporkannya pada Mami dan Papi?
Setelah memastikan aku nggak berbuat kesalahan, aku menggeleng. "Nggak ada tuh! Kemarin aja pas makan bareng Kak Vano, Mami tahu. Mas Revan juga tahu."
"Waduh, nggak tahu sih ini ada apa, Rain."
"Tik, kok perasaanku jadi nggak enak ya?" tanyaku.
"Lho, Rain? Kapan sampainya?"
Mati! Itu suara Mami!
"Eh, baru aja kok, Mi," jawabku, lalu melangkah menghampiri Mami dan mencium pipinya kanan dan kiri.
"Ganti baju dulu sana! Udah makan belum?" tanya Mami.
"Udah kok! Tadi habis bimbingan, makan penyetan di deket kampus."
"Jangan keseringan makan penyetan ah! Minyaknya itu lho, nggak bagus." kata Mami dengan kening berkerut.
"Iya, Mi. Nggak sering kok," kataku.
"Kalau pengin makan penyetan, beli aja mentahnya goreng sendiri di kos."
Astaga! Mana ada orang yang beli ayam mentahan di warung penyetan, lalu goreng sendiri di rumah? Kayaknya, yang punya pemikiran begini cuma Mami.
"Iya, Mi," sahutku berusaha mengakhiri obrolan. "Raina ganti baju terus makan dulu ya?"
Mami mengangguk. "Nanti, kalau kamu udah selesai makan, susul Mami ke kamar ya? Mami mau ngobrol sebentar sama kamu."
"Soal?" tanyaku dengan jantung berdebar.
"Ada pokoknya. Mami tunggu ya?"
Setelah Mami berlalu, aku berpandangan sejenak dengan Tika. Saat Tika mengangkat kedua bahunya, aku mendesah pasrah. Walaupun kepalaku penuh, menebak-nebak apa yang akan dibicarakan oleh Mami setelah ini.
Sengaja aku berlama-lama di kamar dan makan dengan perlahan. Jujur, Mami nggak pernah seserius ini. Tentu aja keseriusan Mami kali ini sangat-sangat membuatku nggak tenang.
Setelah selesai makan, aku melangkahkan kaki ke kamar mami tanpa tenaga. Kedua lututku terasa lemas.
"Mi," panggilku setelah mengetuk pintu kamar.
"Masuk aja, Rain. Nggak dikunci," sahut Mami dari dalam.
Ku putar kenop pintu hingga pintu terbuka. Dan Mami menyambutku dengan senyumnya yang hangat.
"Sini, Rain," kata Mami seraya menepuk kasur di sebelahnya yang kosong.